Nusa Dua (Antara Bali) - Jika benar pekerja lapangan PT Bukaka yang sedang melaksanakan perbaikan Jembatan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, turut menjadi korban tewas, maka akan menyulitkan Tim ITS yang melakukan penyelidikan penyebab teknis runtuhnya jembatan tersebut.
"Informasi yang kami terima seperti itu. Pekerja yang sedang menangani perbaikan jembatan itu tewas semua. Kalau informasi itu benar, maka akan kurang lengkap informasi yang bisa dihimpun," kata Dr Ir Gunawan Adji MT, konsultan dan ahli teknik yang juga Ketua Harian Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS), Selasa.
Ditemui seusai mengikuti kegiatan Kementerian BUMN di Nusa Dua, dia yang memberikan penjelasan bersama Bendahara IKA ITS Ir Farid Wadji M, MT, menyatakan bahwa informasi dari saksi mata pekerja di lapangan menjadi kunci pengungkapan apa yang sebenarnya terjadi.
Tim yang terdiri atas tiga ahli beton dari ITS Surabaya, dipimpin Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD, berangkat ke Tenggarong guna menyelidiki penyebab teknis runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara di Tenggarong, Senin (28/11).
Gunawan Adji yang adalah Presiden Komisaris PT Virama Karya (Persero) dan Farid Wadji selaku Direktur Operasi BUMN itu, berharap Tim ITS masih bisa mendapatkan informasi dasar dari pihak pelaksana proyek dari PT Bukaka itu.
Mereka sependapat bahwa runtuhnya jembatan sepanjang 710 meter dengan bentang bebas (area menggantung) 270 meter itu, akibat kesalahan para pelaksana yang kemungkinan melakukan pekerjaan itu tanpa didasari data dan informasi yang lengkap, selain tidak diterapkannya prosedur yang benar.
"Ketika pekerjaan dimulai, baik itu tahap persiapan, apalagi pelaksanaan, seharusnya jembatan itu ditutup. Tidak boleh ada beban dan getaran. SOP (sistem operasional prosedur) nya seperti itu. Ini Kabarnya SOP-nya belum turun," kata Farid.
Padahal, menurut Gunawan Adji, dari informasi yang diperolehnya pekerjaan yang dipersiapkan/dilaksanakan oleh PT Bukaka tersebut terkait pengembalian posisi jembatan ke tempat semula, dengan penanganan teknis sistem dongkrak.
Menurut dia, pekerjaan itu tergolong rawan, sehingga diperlukan informasi dasar yang lengkap dari pihak pelaksana konstruksi pembangunnya, yakni PT Hutama Karya, selain penerapan SOP dengan ketat.
"Itu kan semacam Golden Gate di San Fransisco (Amerika Serikat). Kalau satu tali (bentang baja) saja putus, bisa runtuh. Apalagi saat itu masih ada mobil yang melewati jembatan. Getaran kendaraan bisa mengganggu keseimbangan," ucapnya.
Terkait pelaksana konstruksi PT Hutama Karya, baik Gunawan Adji maupun Farid sependapat, bahwa perusahaan BUMN itu sudah "aman", karena usia jembatan sudah melebihi 10 tahun. "Artinya dari sisi pelaksana konstruksi tidak ada alasan untuk disalahkan. Pengoperasian jembatan itu sudah teruji dalam sepuluh tahun," kata Farid.
Gunawan Adji menambahkan, bahwa seringnya jembatan tersebut ditabrak tongkang batu bara dan kapal lainnya, juga memberikan pengaruh besar terhadap kekuatan dan kestabilan konstruksi. "Artinya ada sebab lain yang turut mempengaruhi kondisi jembatan dari sisi konstruksi," ucapnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Informasi yang kami terima seperti itu. Pekerja yang sedang menangani perbaikan jembatan itu tewas semua. Kalau informasi itu benar, maka akan kurang lengkap informasi yang bisa dihimpun," kata Dr Ir Gunawan Adji MT, konsultan dan ahli teknik yang juga Ketua Harian Ikatan Alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (IKA ITS), Selasa.
Ditemui seusai mengikuti kegiatan Kementerian BUMN di Nusa Dua, dia yang memberikan penjelasan bersama Bendahara IKA ITS Ir Farid Wadji M, MT, menyatakan bahwa informasi dari saksi mata pekerja di lapangan menjadi kunci pengungkapan apa yang sebenarnya terjadi.
Tim yang terdiri atas tiga ahli beton dari ITS Surabaya, dipimpin Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD, berangkat ke Tenggarong guna menyelidiki penyebab teknis runtuhnya Jembatan Kutai Kartanegara di Tenggarong, Senin (28/11).
Gunawan Adji yang adalah Presiden Komisaris PT Virama Karya (Persero) dan Farid Wadji selaku Direktur Operasi BUMN itu, berharap Tim ITS masih bisa mendapatkan informasi dasar dari pihak pelaksana proyek dari PT Bukaka itu.
Mereka sependapat bahwa runtuhnya jembatan sepanjang 710 meter dengan bentang bebas (area menggantung) 270 meter itu, akibat kesalahan para pelaksana yang kemungkinan melakukan pekerjaan itu tanpa didasari data dan informasi yang lengkap, selain tidak diterapkannya prosedur yang benar.
"Ketika pekerjaan dimulai, baik itu tahap persiapan, apalagi pelaksanaan, seharusnya jembatan itu ditutup. Tidak boleh ada beban dan getaran. SOP (sistem operasional prosedur) nya seperti itu. Ini Kabarnya SOP-nya belum turun," kata Farid.
Padahal, menurut Gunawan Adji, dari informasi yang diperolehnya pekerjaan yang dipersiapkan/dilaksanakan oleh PT Bukaka tersebut terkait pengembalian posisi jembatan ke tempat semula, dengan penanganan teknis sistem dongkrak.
Menurut dia, pekerjaan itu tergolong rawan, sehingga diperlukan informasi dasar yang lengkap dari pihak pelaksana konstruksi pembangunnya, yakni PT Hutama Karya, selain penerapan SOP dengan ketat.
"Itu kan semacam Golden Gate di San Fransisco (Amerika Serikat). Kalau satu tali (bentang baja) saja putus, bisa runtuh. Apalagi saat itu masih ada mobil yang melewati jembatan. Getaran kendaraan bisa mengganggu keseimbangan," ucapnya.
Terkait pelaksana konstruksi PT Hutama Karya, baik Gunawan Adji maupun Farid sependapat, bahwa perusahaan BUMN itu sudah "aman", karena usia jembatan sudah melebihi 10 tahun. "Artinya dari sisi pelaksana konstruksi tidak ada alasan untuk disalahkan. Pengoperasian jembatan itu sudah teruji dalam sepuluh tahun," kata Farid.
Gunawan Adji menambahkan, bahwa seringnya jembatan tersebut ditabrak tongkang batu bara dan kapal lainnya, juga memberikan pengaruh besar terhadap kekuatan dan kestabilan konstruksi. "Artinya ada sebab lain yang turut mempengaruhi kondisi jembatan dari sisi konstruksi," ucapnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011