Denpasar (Antara Bali) - Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA) dari berbagai daerah berencana "menyerbu" Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Selasa (25/10), guna mempermasalahkan sejumlah kejanggalan dalam dakwaan terdakwa Anand Krishna.

Ketua KPAA dr Sayoga dalam siaran persnya yang diterima di Denpasar, Senin menyebutkan, anggota komunitasnya itu berencana "menyerbu" Kejati DKI terkait informasi dari Tim Kuasa Hukum Anand Ashram dan munculnya pemberitaan sejumlah media belakangan ini.

Menurut Sayoga, informasi dari tim kuasa hukum dan pemberitaan berbagai media belakangan ini, mengungkap sejumlah kejanggalan dalam dakwaan terhadap Anand Krishna.

Anggota KPAA yang telah berkumpul di Jakarta itu berasal dari sekitar Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, Bandung, Bali (Denpasar, Singaraja, Tabanan), Yogyakarta, Solo, Semarang, Magelang, Lampung, Kalimantan, dan Riau.

KPAA, katanya, bermaksud mendesak Kajati DKI Jakarta Donny Kadnezar Irdan, SH, MH di kantornya Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, agar mengawasi dan memperdalam dakwaan dalam kasus pelecehan seksual itu.

Harapannya, Kajati DKI Jakarta itu bisa memperbaiki kinerja Jaksa Penuntut Umum Martha Berliana Tobing, SH yang menangani perkara tersebut.

Sejumlah kejanggalan dalam dakwaan tersebut, pertama terkait perintah pencabutan infus dan pemaksaan untuk mengirim Anand Krishna ke Rutan Cipinang yang menyebabkan kadar gula darah terdakwa menurun drastis menjadi 64 serta mengalami serangan "light stroke" dan "hypoglychemie" pada 48 jam berikutnya.

"Kami menilai tindakan yang dilakukan sebelum 14 Oktober lalu itu bukan saja tidak profesional dan melanggar etika korps kejaksaan untuk selalu menjalankan tugas berdasarkan Trikrama Adhyaksa, yakni Satya Adhi Wicaksana, tetapi juga merupakan pelanggaran HAM (hak azasi manusia) berat yang sangat serius," ujar Sayoga.

Kedua, beberapa saksi yang dihadirkan juga mengakui adanya penggalangan dan koordinasi dari pihak tertentu sebelum kasus ini dilaporkan ke kepolisian.

KPAA menduga keterlibatan Muhammad Djumat Abrory Djabbar dan Shinta Kencana Kheng sebagai pihak yang memfasilitasi dan mengkoordinir dukungan untuk membawa Anand Krishna ke kepolisian.

Sementara itu, Shinta Kencana Kheng, diduga terlibat pelanggaran kode etik hakim karena keberadaannya bersama Hari Sasangka selaku ketua majelis hakim saat itu, walaupun posisi dia kemudian digantikan oleh hakim lain.

Kasus dugaan pelanggaran kode etik hakim tersebut  sedang dalam penanganan Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA).

Ketiga, JPU Martha Berliana dinilai kurang cermat dalam menghadirkan saksi-saksi kredibel, dan sesuai dengan pasal yang didakwakan. Saksi yang dihadirkan seharusnya terkait juncto pasal 64 (perbuatan berulang pada satu subyek), bukan pasal 65.

Keempat, terdapat bukti fotokopi visum  pelapor tertanggal 3 Maret 2010, pukul 15.40 dari RSCM yang ditandatangani oleh dr Abd Mun’im Idris bahwa tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual dan persetubuhan. "Bahkan selaput dara pelapor korban pelecehan seksual masih utuh," ujar Sayoga.

Kelima, terkait munculnya saksi baru diluar BAP (berita acara pemeriksaan), yaitu Guntur Tompubolon. Dia memberikan keterangan dalam kasus lain yang dilaporkan ke kepolisian di Depok dan tidak terbukti, sehingga kasus tersebut dihentikan (SP3).

Namun saat pemeriksaan Guntur Tompubolon, secara subjektif hakim Hari Sasangka saat itu seolah membenarkan keterangan saksi secara sepihak. Hal ini dikuatkan dengan bukti rekaman dan transkrip yang ada pada penasihat hukum Anand Krishna.

Keenam, munculnya barang bukti baru di luar daftar barang bukti yang disita oleh pihak kepolisian, berupa sebuah kalung dan beberapa foto yang tertempel di atas selembar kertas. Pada persidangan ulang, barang bukti baru itu raib tanpa ada kejelasan.

Ketujuh, KPAA mempermasalahkan penggunaan kata-kata kotor (repulsive) terhadap terdakwa, dan pertanyaan-pertanyaan yang dinilai tidak relevan dengan dakwaan.

Pertanyaan itu baik yang diajukan kepada terdakwa maupun para saksi lainnya, khususnya tiga orang yang dihadirkan oleh JPU Martha Berliana. Ketiga saksi itu kemudian membantah apa yang dituduhkan sesuai pernyataan pelapor.

"Atas dasar tujuh hal tersebut, kami dari KPAA, meminta dengan hormat kepada Bapak Kajati DKI Jakarta untuk segera mempelajari dakwaan ini lebih lanjut, demi keadilan bagi spiritualis Anand Krishna. Demi citra Korps Adhyaksa agar tidak tercoreng oleh tingkah laku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab," demikian Sayoga.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011