Kata pluralisme juga banyak digunakan menyebutkan banyaknya ras, bangsa, agama, dan sebagainya, yang harus tinggal bersama sebagai kelompok masyarakat. Pluralisme adalah sebuah sistem nilai yang memandang eksistensi kemajemukan secara optimistis, sekaligus menerimanya sebagai suatu kenyataan yang harus dihargai. Karena tak dapat dimungkiri, bahwa tempat hunian umat manusia memang satu, namun telah menjadi sunnatullah, bahwa para penghuninya terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi, budaya, dan agama.
Selain itu juga, keragaman dan kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Untuk memperkuat paham pluralisme sebagai jawaban atas fenomena kemajemukan tersebut, perlu digali dasar dan landasannya dalam agama, khususnya di Indonesia.
Mengapa Indonesia, hal ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, serta memiliki pelbagai kemajemukan budaya, agama, dan beranekaragamnya aliran kepercayaan di dalamnya.
Islam memandang masalah pluralitas agama ini menjadi tampak jelas sekali melalui penjabaran dasar-dasar teoretis yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Untuk menjamin normalnya perputaran dan perjalanan tersebut, syariat Islam telah meletakkan ketentuan dasar untuk memahami pluralisme agama dengan segala kompleksitas di dalamnya.
Melihat fenomena seperti ini, maka alat yang dipakai untuk menafsirkan, memaknai, dan mengolah teks-teks agama (Alquran dan Hadits), adalah dengan menggunakan metode hermeneutika. Karena jika hanya menggunakan metodologi pemahaman teks (tafsir) yang biasa dipakai pada umumnya, bisa jadi ditemukan adanya kesulitan dalam menemukan titik temu kerangka-kerangka teologis keagamaan.
Menurut Komaruddin Hidayat, hermeneutika ingin memerankan dirinya sebagai sebuah seni dan metode menafsirkan terhadap "realitas lain yang absen", terutama yang mengarah pada konteks sosial, baik karena sudah terlalu dalam waktu maupun karena jarak yang jauh, dimana realitas itu kemudian hadir pada manusia dengan diwakili oleh teks.
Dengan nada yang secara eksplisit sama, Carl Braaten, mengatakan, bahwa hermeneutika berfungsi untuk menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon (cakrawala) yang mengelilingi teks-teks suci keagamaan. Horizon yang dimaksud adalah; horizon teks, pengarang, dan pembaca. Karena dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut, diharapkan adanya suatu ikhtiar pemahaman dan penafsiran, menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi, atau pembiakan makna teks dimana selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya, muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha menerbitkan kembali makna yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami atau, dengan hermeneutika memperhatikan tiga komponen tersebut sebagai landasan dalam upaya penafsiran melalui kerja teks, konteks, yang mewujud upaya kontekstualisasi.
Pluralisme, secara etimologi berasal dari akar kata "plural","plurality" dan "pluralistic". Dalam kamus Oxford Learner Pocket Dictionary, pluralisme didefinisikan: mengenai lebih dari satu atau banyak (for referring to more than one). Sejalan dengan pengertian di atas, Krisnanda Wijaya Mukti, mendefinisikan pluralisme, sebagai pemahaman atau kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris.
Dalam filsafat Anaxagoras, khususnya Leucippus dan Democritus yang mewakili era klasik, dan William James, yang mewakili era modern, menggunakan istilah "pluralistic" dalam pengertian teknis pluralisme yang diartikan sebagai sebuah doktrin metafisika yang realitasnya terdiri dari banyak realitas. Sementara itu Eva Sadia Saad, mendefinisikan pluralisme agama, sebagai sebuah rekonsiliasi kepercayaan-kepercayaan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan adanya suatu upaya untuk mengakomodasi kehidupan multi-religius yang damai dan harmonis. Namun kenyataannya, toleransi agama yang menjadi spirit pluralisme masih belum dimiliki kelompok minoritas.
Selanjutnya Peter Byne, menjelaskan, bahwa pluralisme agama meliputi tiga hal: Pertama, semua tradisi agama sama-sama menghormati transenden tunggal, yang disebut realitas suci (Sacred Reality); Kedua, semua tradisi agama besar saling menghormati cara beribadah masing-masing demi keselamatan manusia; Ketiga, semua tradisi dipandang sebagai ajaran suci yang bisa berubah, terbatas dan historis. Namun Robert T. Lehe, mengkritisi teori Byne. Menurutnya, memang benar bahwa semua agama menghormati transenden tunggal, tetapi setiap agama memiliki konsep kesucian dan keselamatan berbeda.
William James, menyarankan agar penganut agama mengevaluasi kebenaran sebuah agama dengan pemikiran kritis, bermoral, dan filosofis. Berdasarkan pada argumen ini, Paul F. Knitter, mengusulkan tiga kriteria yang perlu dipertanyakan dalam menentukan nilai kebenaran agama: Pertama, secara personal. Apakah wahyu agama atau tokoh agama menjangkau hati manusia? Apakah wahyu atau tokoh agama menyentuh perasaan seseorang dan alam bawah sadarnya? Kedua, secara intelektual. Apakah wahyu dan tokoh agama memuaskan pengembangan pemikiran? Ketiga, secara praktis. Apakah pesan wahyu atau tokoh agama memberikan kesehatan psikologis bagi individu-individu, menyehatkan akal, dan bertujuan membebaskan; Keempat, Apakah agama mendorong semua orang untuk hidup sejahtera, bebas, dan mengintegrasikan individu-individu dan bangsa-bangsa menjadi suatu komunitas yang dan bangsa-bangsa menjadi suatu komunitas yang lebih besar.
Pendapat Knitter ini dibantah oleh Cohn Sherbok. Menurutnya, jawaban-jawaban atas pertanyaan Knitter terlalu problematik, subjektif, dan personal. Cohn, mencontohkan kehidupan dan ajaran Yesus hanya berlaku bagi spiritual Kristen, tidak berlaku untuk Yahudi. Begitu juga Budha, hanya bermanfaat bagi penganut Budha, tidak untuk Muslim. Sistem hukum Islam tidak bermanfaat untuk Hindu. Singkatnya, pertanyaan-pertanyaan teologis Knitter dalam analogi Cohn, tidak memberikan jawaban objektif dan cenderung konyol (absurd).
Sejalan dengan Peter Byne, John Hick, dalam teori pluralisme agamanya "Transformation from Self-Centered to Reality-Centeredness", berargumen, bahwa agama-agama di dunia berbeda hanya karena adanya perbedaan tradisi, historis, spiritual dan respons penganutnya terhadap realitas yang absolut. Realitas absolut ini sebenarnya hanya satu, namun dipahami berbeda oleh setiap agama berdasarkan tradisi masing-masing.
Menurut Hick, Yahudi memahami realitas sebagai Yahweh, Kristen memahami realitas sebagai Tuhan Bapa, Muslim memahami realitas sebagai Allah, dan seluruh tradisi agama lainnya memahami realitas dengan cara mereka sendiri. Perbedaan realitas menjadi salah, jika dipahami secara literalist. Namun, semua itu bisa benar, jika dipahami secara metaphor. John Hick, menambahkan bahwa tradisi-tradisi agama dunia hanyalah merupakan respons manusia terhadap kebaikan dalam suatu agama (the Real). Sebaliknya sesuatu yang tidak baik dapat dianggap di luar agama. Adapun istilah metafor dan mitos agama hanyalah bentuk cerita di dalam tradisi agama.
Meskipun pendekatan pluralis John Hick ini terdengar menarik, tetapi pendekatan ini menghadapi berbagai problem. Adalah Amir Dastmalchian, yang membantah teoti Hick. Teori pluralisme Hick dianggapnya sebagai argumentasi yang ambigu, karena penafsirannya terhadap agama-agama dunia menggunakan interpretasi rasional dan bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Dastmalchian, menambahkan, bahwa Muslim meyakini Islam bukanlah sebuah tradisi atau mitos, tetapi narasi yang benar-benar berasal dari wahyu Allah (firman Allah) yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi Muhammad SAW dan bukan merupakan kata-kata atau metafora.
Muhammad Legenhausen, juga menolak pendapat John Hick, dengan alasan, bahwa sintesis doktrinal Hick direkayasa dan cenderung dipaksakan. Kegagalan mendasar teori pluralisme Hick adalah adanya pernyataan yang berbunyi, bahwa tanggung jawab manusia kepada Tuhan cukup dengan berperilaku baik dengan sesama manusia, atau diistilahkan dengan the Ultimate Reality. Sementara Islam sebagai agama wahyu memerintahkan manusia untuk tidak saja berbuat baik kepada manusia, tetapi juga berisi tentang bagaimana manusia beribadah dan mengabdi kepada Allah. Richard Amesbury, juga mengkritisi argument pluralisme John Hick, yang mengatakan, bahwa kepercayaan kepada Tuhan setiap agama tidak kontradiktif satu sama lainnya, padahal agama memiliki keyakinan interpretasi pengorbanan (salvation), dan pengalaman agama yang berbeda-beda.
Dalam memahami makna pluralisme, saya setuju dengan pendapat yang diuraikan oleh Diana L. Eck. Menurutnya, ada tiga point penting yang terkandung dalam pluralisme: Pertama, pluralisme adalah, sebuah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme meniscayakan munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, tidak hanya berbicara pada tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis, setiap manusia harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritual dan tradisi masing-masing. Tradisi dari suatu agama atau keyakinan berbeda-berbeda, tetapi dalam tataran sosial, dibutuhkan suatu keterlibatan aktif di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan.
Kedua, Pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Jika dalam toleransi lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain, tetapi pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah usaha dan upaya memahami yang komunitas lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif (constructive understanding). Artinya, karena perbedaan dan keragaman adalah hal nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama di antara berbagai komitmen (encounter commitments). Setiap agama dan ideologi mempunyai komitmen masing-masing, namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut, dicarikan komitmen bersama, yaitu kemanusiaan dengan tetap mempertahankan keragaman dan perbedaan di dalamnya.
Dari ketiga poin ini di atas, maka permasalahan tentang pluralisme sedikit bisa terjawab. Menurut saya, Pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama, tetapi pluralisme merupakan paham yang secara eksplisit mendorong agar keragaman tersebut dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dengan pemahaman yang menyeluruh, baik, tepat, terhadap yang lain. Karena jika semua agama itu serupa dan benar, maka posisi dimensi pluralitas agama menjadi tidak jelas.
Ketika seseorang menghormati agama yang diyakini oleh orang lain, itu tidak berarti dia menyamakan semua agama. Selanjutnya pluralisme sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan ide persatuan dan universalisme yang didasarkan pada rasionalisme dan humanisme. Karena jika ditinjau dari akar pluralisme Islam, teks-teks suci (Al-Qur'an dan Hadits)dan tradisi tafsir Muslim sekalipun, terdapat perbedaan dalam berbagai perspektif; zahir (shari'ah), batin (tasawuf), realistis, metaphor, qot'i maupun dzanni. Hal ini dapat dijadikan alasan untuk menjustifikasi perbedaan, kemajemukan, dan pluralisme itu sendiri.
Pluralisme juga mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, sekaligus mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar saling menghormati, menghargai, dan memiliki usaha bersama dalam menciptakan perdamaian. Apalagi dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (siapa pun) yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu" (QS. Al-Mumtahanah: 8), sehingga pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan secara positif, sekaligus optimistis, dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullah) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dikatakan secara positif, karena pluralisme mengandung pengertian agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi, sedangkan secara optimistis, karena kemajemukan agama sesungguhnya merupakan sebuah potensi agar setiap umat berlomba-lomba menciptakan kebaikan di muka bumi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pluralisme tidaklah sama dengan inklusivisme apalagi relativisme, karena pluralisme sesungguhnya menawarkan sesuatu yang baru, yaitu semakin memperjelas dan meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama di dunia. Bila dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain atau selalu ada dimensi kesamaan substansi dan nilai dalam setiap agama, begitu juga dengan relativisme, yang menepikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama di antara pelbagai komunitas masyarakat, tetapi dalam pluralisme justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Maka berdasarkan pada analisis di atas, pluralisme dianggap sebuah lompatan praxis dari sekadar inkulisvisme ataupun relativisme dalam pemahaman keagamaan, sehingga pada akhirnya, pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu sendiri. (*)
Oleh karena itu, dalam memahami pluralisme agama, umat Islam harus mempelajari dan mengkaji Al-Qur'an secara sempurna agar tidak terjadi perselisihan. Hal ini harus dilakukan, karena pluralisme merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi seorang hamba yang rendah hati (humble) dan menolak sikap-sikap yang berlebihan dalam beragama, sehingga nantinya akan menciptakan toleransi antar umat beragama dalam masyarakat yang majemuk seperti di Negara kita tercinta.
----------
*) Penulis adalah dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
Selain itu juga, keragaman dan kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Untuk memperkuat paham pluralisme sebagai jawaban atas fenomena kemajemukan tersebut, perlu digali dasar dan landasannya dalam agama, khususnya di Indonesia.
Mengapa Indonesia, hal ini didasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, serta memiliki pelbagai kemajemukan budaya, agama, dan beranekaragamnya aliran kepercayaan di dalamnya.
Islam memandang masalah pluralitas agama ini menjadi tampak jelas sekali melalui penjabaran dasar-dasar teoretis yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Untuk menjamin normalnya perputaran dan perjalanan tersebut, syariat Islam telah meletakkan ketentuan dasar untuk memahami pluralisme agama dengan segala kompleksitas di dalamnya.
Melihat fenomena seperti ini, maka alat yang dipakai untuk menafsirkan, memaknai, dan mengolah teks-teks agama (Alquran dan Hadits), adalah dengan menggunakan metode hermeneutika. Karena jika hanya menggunakan metodologi pemahaman teks (tafsir) yang biasa dipakai pada umumnya, bisa jadi ditemukan adanya kesulitan dalam menemukan titik temu kerangka-kerangka teologis keagamaan.
Menurut Komaruddin Hidayat, hermeneutika ingin memerankan dirinya sebagai sebuah seni dan metode menafsirkan terhadap "realitas lain yang absen", terutama yang mengarah pada konteks sosial, baik karena sudah terlalu dalam waktu maupun karena jarak yang jauh, dimana realitas itu kemudian hadir pada manusia dengan diwakili oleh teks.
Dengan nada yang secara eksplisit sama, Carl Braaten, mengatakan, bahwa hermeneutika berfungsi untuk menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon (cakrawala) yang mengelilingi teks-teks suci keagamaan. Horizon yang dimaksud adalah; horizon teks, pengarang, dan pembaca. Karena dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut, diharapkan adanya suatu ikhtiar pemahaman dan penafsiran, menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi, atau pembiakan makna teks dimana selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya, muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha menerbitkan kembali makna yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami atau, dengan hermeneutika memperhatikan tiga komponen tersebut sebagai landasan dalam upaya penafsiran melalui kerja teks, konteks, yang mewujud upaya kontekstualisasi.
Pluralisme, secara etimologi berasal dari akar kata "plural","plurality" dan "pluralistic". Dalam kamus Oxford Learner Pocket Dictionary, pluralisme didefinisikan: mengenai lebih dari satu atau banyak (for referring to more than one). Sejalan dengan pengertian di atas, Krisnanda Wijaya Mukti, mendefinisikan pluralisme, sebagai pemahaman atau kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris.
Dalam filsafat Anaxagoras, khususnya Leucippus dan Democritus yang mewakili era klasik, dan William James, yang mewakili era modern, menggunakan istilah "pluralistic" dalam pengertian teknis pluralisme yang diartikan sebagai sebuah doktrin metafisika yang realitasnya terdiri dari banyak realitas. Sementara itu Eva Sadia Saad, mendefinisikan pluralisme agama, sebagai sebuah rekonsiliasi kepercayaan-kepercayaan yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan adanya suatu upaya untuk mengakomodasi kehidupan multi-religius yang damai dan harmonis. Namun kenyataannya, toleransi agama yang menjadi spirit pluralisme masih belum dimiliki kelompok minoritas.
Selanjutnya Peter Byne, menjelaskan, bahwa pluralisme agama meliputi tiga hal: Pertama, semua tradisi agama sama-sama menghormati transenden tunggal, yang disebut realitas suci (Sacred Reality); Kedua, semua tradisi agama besar saling menghormati cara beribadah masing-masing demi keselamatan manusia; Ketiga, semua tradisi dipandang sebagai ajaran suci yang bisa berubah, terbatas dan historis. Namun Robert T. Lehe, mengkritisi teori Byne. Menurutnya, memang benar bahwa semua agama menghormati transenden tunggal, tetapi setiap agama memiliki konsep kesucian dan keselamatan berbeda.
William James, menyarankan agar penganut agama mengevaluasi kebenaran sebuah agama dengan pemikiran kritis, bermoral, dan filosofis. Berdasarkan pada argumen ini, Paul F. Knitter, mengusulkan tiga kriteria yang perlu dipertanyakan dalam menentukan nilai kebenaran agama: Pertama, secara personal. Apakah wahyu agama atau tokoh agama menjangkau hati manusia? Apakah wahyu atau tokoh agama menyentuh perasaan seseorang dan alam bawah sadarnya? Kedua, secara intelektual. Apakah wahyu dan tokoh agama memuaskan pengembangan pemikiran? Ketiga, secara praktis. Apakah pesan wahyu atau tokoh agama memberikan kesehatan psikologis bagi individu-individu, menyehatkan akal, dan bertujuan membebaskan; Keempat, Apakah agama mendorong semua orang untuk hidup sejahtera, bebas, dan mengintegrasikan individu-individu dan bangsa-bangsa menjadi suatu komunitas yang dan bangsa-bangsa menjadi suatu komunitas yang lebih besar.
Pendapat Knitter ini dibantah oleh Cohn Sherbok. Menurutnya, jawaban-jawaban atas pertanyaan Knitter terlalu problematik, subjektif, dan personal. Cohn, mencontohkan kehidupan dan ajaran Yesus hanya berlaku bagi spiritual Kristen, tidak berlaku untuk Yahudi. Begitu juga Budha, hanya bermanfaat bagi penganut Budha, tidak untuk Muslim. Sistem hukum Islam tidak bermanfaat untuk Hindu. Singkatnya, pertanyaan-pertanyaan teologis Knitter dalam analogi Cohn, tidak memberikan jawaban objektif dan cenderung konyol (absurd).
Sejalan dengan Peter Byne, John Hick, dalam teori pluralisme agamanya "Transformation from Self-Centered to Reality-Centeredness", berargumen, bahwa agama-agama di dunia berbeda hanya karena adanya perbedaan tradisi, historis, spiritual dan respons penganutnya terhadap realitas yang absolut. Realitas absolut ini sebenarnya hanya satu, namun dipahami berbeda oleh setiap agama berdasarkan tradisi masing-masing.
Menurut Hick, Yahudi memahami realitas sebagai Yahweh, Kristen memahami realitas sebagai Tuhan Bapa, Muslim memahami realitas sebagai Allah, dan seluruh tradisi agama lainnya memahami realitas dengan cara mereka sendiri. Perbedaan realitas menjadi salah, jika dipahami secara literalist. Namun, semua itu bisa benar, jika dipahami secara metaphor. John Hick, menambahkan bahwa tradisi-tradisi agama dunia hanyalah merupakan respons manusia terhadap kebaikan dalam suatu agama (the Real). Sebaliknya sesuatu yang tidak baik dapat dianggap di luar agama. Adapun istilah metafor dan mitos agama hanyalah bentuk cerita di dalam tradisi agama.
Meskipun pendekatan pluralis John Hick ini terdengar menarik, tetapi pendekatan ini menghadapi berbagai problem. Adalah Amir Dastmalchian, yang membantah teoti Hick. Teori pluralisme Hick dianggapnya sebagai argumentasi yang ambigu, karena penafsirannya terhadap agama-agama dunia menggunakan interpretasi rasional dan bertentangan dengan eksistensi Tuhan. Dastmalchian, menambahkan, bahwa Muslim meyakini Islam bukanlah sebuah tradisi atau mitos, tetapi narasi yang benar-benar berasal dari wahyu Allah (firman Allah) yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi Muhammad SAW dan bukan merupakan kata-kata atau metafora.
Muhammad Legenhausen, juga menolak pendapat John Hick, dengan alasan, bahwa sintesis doktrinal Hick direkayasa dan cenderung dipaksakan. Kegagalan mendasar teori pluralisme Hick adalah adanya pernyataan yang berbunyi, bahwa tanggung jawab manusia kepada Tuhan cukup dengan berperilaku baik dengan sesama manusia, atau diistilahkan dengan the Ultimate Reality. Sementara Islam sebagai agama wahyu memerintahkan manusia untuk tidak saja berbuat baik kepada manusia, tetapi juga berisi tentang bagaimana manusia beribadah dan mengabdi kepada Allah. Richard Amesbury, juga mengkritisi argument pluralisme John Hick, yang mengatakan, bahwa kepercayaan kepada Tuhan setiap agama tidak kontradiktif satu sama lainnya, padahal agama memiliki keyakinan interpretasi pengorbanan (salvation), dan pengalaman agama yang berbeda-beda.
Dalam memahami makna pluralisme, saya setuju dengan pendapat yang diuraikan oleh Diana L. Eck. Menurutnya, ada tiga point penting yang terkandung dalam pluralisme: Pertama, pluralisme adalah, sebuah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme meniscayakan munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, tidak hanya berbicara pada tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis, setiap manusia harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritual dan tradisi masing-masing. Tradisi dari suatu agama atau keyakinan berbeda-berbeda, tetapi dalam tataran sosial, dibutuhkan suatu keterlibatan aktif di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan.
Kedua, Pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Jika dalam toleransi lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain, tetapi pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah usaha dan upaya memahami yang komunitas lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif (constructive understanding). Artinya, karena perbedaan dan keragaman adalah hal nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama di antara berbagai komitmen (encounter commitments). Setiap agama dan ideologi mempunyai komitmen masing-masing, namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut, dicarikan komitmen bersama, yaitu kemanusiaan dengan tetap mempertahankan keragaman dan perbedaan di dalamnya.
Dari ketiga poin ini di atas, maka permasalahan tentang pluralisme sedikit bisa terjawab. Menurut saya, Pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama, tetapi pluralisme merupakan paham yang secara eksplisit mendorong agar keragaman tersebut dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi dengan pemahaman yang menyeluruh, baik, tepat, terhadap yang lain. Karena jika semua agama itu serupa dan benar, maka posisi dimensi pluralitas agama menjadi tidak jelas.
Ketika seseorang menghormati agama yang diyakini oleh orang lain, itu tidak berarti dia menyamakan semua agama. Selanjutnya pluralisme sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan ide persatuan dan universalisme yang didasarkan pada rasionalisme dan humanisme. Karena jika ditinjau dari akar pluralisme Islam, teks-teks suci (Al-Qur'an dan Hadits)dan tradisi tafsir Muslim sekalipun, terdapat perbedaan dalam berbagai perspektif; zahir (shari'ah), batin (tasawuf), realistis, metaphor, qot'i maupun dzanni. Hal ini dapat dijadikan alasan untuk menjustifikasi perbedaan, kemajemukan, dan pluralisme itu sendiri.
Pluralisme juga mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, sekaligus mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar saling menghormati, menghargai, dan memiliki usaha bersama dalam menciptakan perdamaian. Apalagi dalam Al-Qur'an dikatakan bahwa "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (siapa pun) yang tidak memerangi kamu dalam urusan agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu" (QS. Al-Mumtahanah: 8), sehingga pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan secara positif, sekaligus optimistis, dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullah) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.
Dikatakan secara positif, karena pluralisme mengandung pengertian agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi, sedangkan secara optimistis, karena kemajemukan agama sesungguhnya merupakan sebuah potensi agar setiap umat berlomba-lomba menciptakan kebaikan di muka bumi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pluralisme tidaklah sama dengan inklusivisme apalagi relativisme, karena pluralisme sesungguhnya menawarkan sesuatu yang baru, yaitu semakin memperjelas dan meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama di dunia. Bila dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain atau selalu ada dimensi kesamaan substansi dan nilai dalam setiap agama, begitu juga dengan relativisme, yang menepikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama di antara pelbagai komunitas masyarakat, tetapi dalam pluralisme justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Maka berdasarkan pada analisis di atas, pluralisme dianggap sebuah lompatan praxis dari sekadar inkulisvisme ataupun relativisme dalam pemahaman keagamaan, sehingga pada akhirnya, pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu sendiri. (*)
Oleh karena itu, dalam memahami pluralisme agama, umat Islam harus mempelajari dan mengkaji Al-Qur'an secara sempurna agar tidak terjadi perselisihan. Hal ini harus dilakukan, karena pluralisme merupakan salah satu persyaratan untuk menjadi seorang hamba yang rendah hati (humble) dan menolak sikap-sikap yang berlebihan dalam beragama, sehingga nantinya akan menciptakan toleransi antar umat beragama dalam masyarakat yang majemuk seperti di Negara kita tercinta.
----------
*) Penulis adalah dosen Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019