Denpasar (Antaranews Bali) - Pandangan Fraksi PDIP DPRD Bali menyikapi Ranperda tentang Desa Adat bahwa di dalam naskah Raperda tersebut perlu disosialisasikan kepada warga karena ada istilah-istilah bahasa yang perlu diketahui masyarakat.

Dalam Pandangan Fraksi PDIP pada sidang paripurna DPRD Bali dibacakan Wayan Sutena menyebutkan dari ketentuan umum sampai dengan pasal per pasal, misalnya dalam Pasal 3, banyak ditemui penggunaan istilah seperti "Bendesa, giliksaguluk/kebersamaan, parasparos/musyawarah" dan lainnya.

"Kami percaya, gubernur pastilah sudah berdiskusi dengan para ahlinya mengenai peristilahan tersebut. Namun karena istilah-istilah tersebut juga sudah lumrah dipakai di masyarakat seperti 'bendesa, sagilik-saguluk, salunglung sabayantaka, paras paras sarpanaya', maka jika ini dimaksudkan untuk meluruskan kekeliruan istilah tersebut maka diperlukan sosialisasi dan diseminasi lebih jauh, karena istilalah-istilah itu juga sudah dipakai dan dimuat dalam peraturan lain yang bersesuaian, seperti dalam awig-awig," ujarnya.

Ia mengatakan demikian juga misalnya pada Pasal 20 yang menyebutkan bahwa materi muatan awig-awig tersurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi: a) sukreta tata Parahyangan; b). sukreta tata Pawongan; c) sukreta tata Pelemahan Desa Adat. Istilah-istilah tersebut selain dipergunakan dalam awig-awig dipergunakan juga pada saat pembinaan lomba desa adat misalnya, sebagai sukerta tata Parhyangan, sukerta tata Pawongan dan sukerta tata Pelemahan.

Istilah Parhyangan sendiri adalah koreksi dari istilah Parahyangan oleh akademisi di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN).

"Saran kami, sama dengan butir 1 di atas, jika ini dimaksudkan sebagai koreksi atas kekeliruan sebelumnya, maka dipadukan sosiaiisasi dan diseminasi lebih lanjut. karena ini bukan hanya persoalan redaksional semata, tetapi juga terminologi yang perlu pemahaman dan kejelasan bagi masyarakat," ucapnya.

Lebih lanjut Wayan Sutena mengatakan pada tingkat kecamatan, tingkat kabupaten dan baru terakhir di tingkat provinsi. Karena konsep "Desa Kala Patra, Desa Mawa Cara, Bali Mawa Cara dan Negara Mawa Tata",  tidaklah mesti dipertentangkan atau saling mengkooptasi satu dengan yang lainnya. Tetapi justru harus makin saling memperkuat independensi dan otonomi dari desa adat dimaksud.

"Kami menyarankan, semestinya pasal-pasal mengenai 'perlindungan atau proteksi” terhadap kebijakan desa adat yang harus diperbanyak dan diperjelas lagi, agar kasus-kasus semacam 'OTT' atau yang sejenis seperti yang dulu pernah terjadi, dapat dihindari," katanya.

Selanjutnya, kata dia, pada Pasal 59 ayat (5) disebutkan bahwa  setiap pengalihan dan perubahan status "Pedruwen Desa Adat" wajib mendapat persetujuan Paruman Desa Adat. Mengingat kondisi dan situasi tiap-tiap Desa Adat yang sangat berbeda-beda.

"Kami menyarankan ayat (5) pada Pasal 59 ini dapat dipertimbangkan untuk ditambahkan, menjadi setiap pengalihan dan perubahan status Peduwen Desa Adat wajib mendapat persetujuan Paruman Desa Adat. dengan tetap mendapat pertimbangan dari PHDI Bali, MDA (Majelis Desa Adat) dan Gubernur Bali. Bukan untuk memperpanjang rangkaian proses birokrasi, tetapi semata-mata agar pengambilan keputusan mendapat pertimbangan yang lebih matang tentang 'pengalihan' dimaksud, belajar dari beberapa kasus yang pernah ada," ujarnya.(*)


 

Pewarta: I Komang Suparta

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019