Gianyar (Antaranews Bali) - Bentara Budaya Bali menggelar dialog budaya memperbincangkan peran intelektual dan pandangan kebudayaan secara holistik almarhum budayawan Ida Bagus Made Dharma Palguna.
"Dalam hidupnya yang relatif singkat itu (1962-2017), almarhum Gus Palguna telah mewariskan kekayaan intelektual yang sangat sulit dan jarang dapat diberikan oleh intelektual Bali seusianya," kata Dr I Dewa Gede Palguna selaku narasumber dalam dialog bertajuk "Selampah Laku" tersebut di Bentara Budaya Bali, Ketewel, Gianyar, Jumat.
Menurut Gede Palguna yang juga sahabat almarhum budayawan Ida Bagus Made Dharma Palguna (Gus Palguna), dengan perantaraan pena tajam yang tersurat dalam tulisan-tulisannya, telah memberi terang perihal hakikat hidup manusia dalam "pertualangannya" dari dan kembali ke asal, menurut cara pandang manusia Bali-Hindu, tanpa menggurui, tanpa menghakimi.
IBM Dharma Palguna pun dinilai aktif melakukan penelitan dan kajian terhadap persoalan-persoalan yang mengemuka di masyarakat, menggambarkan kepeduliannya yang tinggi pada ketidakadilan serta ketimpangan sosial.
Gede Palguna menceritakan semasa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana, IBM Dharma Palguna merupakan sosok yang kritis dengan pemikiran-pemikiran yang lintas batas dan cemerlang. Tulisan-tulisannya di Bali Post kala itu (pertengahan 1980-an) merujuk sosok Sakuni, tidak hanya jenaka tapi juga mengandung ironi pada kenyataan sosial kultural Bali.
"Tidak heran bila skripsinya menyoal Roman 'Bumi Manusia' dan sosok Pramoedya Ananta Toer, sesuatu yang masih tabu bahkan terlarang semasa Orde Baru tersebut," ujarnya.
Ia sendiri tidak tahu mengapa Gus Palguna memilih Sakuni, figur licik dan culas dalam itihasa Mahabharata itu, sebagai "juru bicara" buah pikirannya. Karakter tokoh Sakuni "versi" Post Kampus-nya Gus Palguna lebih merupakan sosok yang merepresentasikan karakter jahil namun kritis.
Ketertarikannya pada sastra Jawa Kuno dan klasik Bali mengantar Gus Palguna melanjutkan kuliah S-2 dan S-3 hingga postdoctoral di Faculteit der Letteren, Rijksuniversiteit Leiden. Selama kelana budayanya di Belanda dan benua Eropa tersebut serta negara-negara di benua lain membuahkan banyak buku.
"Karya-karya tersebut menggambarkan penjelajahan kreatif IBM Dharma Palguna dan perenungan yang mendalam terhadap kehidupan berikut dinamika sosial budaya yang lintas zaman, serta menceminkan penghayatannya yang tinggi dan tekun pada spiritualitas," ucapnya.
Karya-karyanya bukan hanya catatan kebudayaan serta sikap kritisnya pada kenyataan sosial yang penuh paradoks akibat kehadiran globalisasi dalam masyarakat Timur, khususnya Bali, melainkan juga karya-karya berupa kumpulan puisi : Lawat-Lawat Suwung (1995) serta novel Shintany Rabbhana (2009).
Karya-karyanya yang lain diantaranya : Shiwaratri Dalam Padma Purana (1997), Ida Padanda Ngurah: Pengarang Besar Bali Abad ke-19 (1998), Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Shiwa (Ph.D Thesis, 1999), Cara Mpu Monaguna Memuja Shiwa (2000), Pedofilia dan Tindak Kekerasan Lainnya (2005), Bom Teroris dan Bom Sosial, Narasi dari Balik Harmoni Bali (2006), Dewa Manusia Raksasa (2007), Budaya Kepintaran Sampai Budaya Kekerasan Pikiran (2007), Tiga Anak Pembual dan Cerita Terpilih Lainnya (2008), Kala : Waktu dan Kematian, Pengantar Mati Cara Bali, Buku Kesatu (2008), Sumanasantaka, Pengantar Mati Cara Bali, Buku Kedua (2008), Leksikon Hindu ( 2008, 2011).
Juga buku Lumut-Lumut Watulumbang (2011), Sekar Ura (2012), Dharma Shunya, Memuja dan Meneliti Shiwa, Edisi Baru (2014); "Bhisma Parwa Jawa Kuno. Terjemahan" (2014). "Perempuan Shakti. Kumpulan Esai"(2014); "Homa Dhyatmika.. Terjemahan" (2014); "Watulumbang Watumadeg. Buku I" (2014); "Watulumbang Watumadeg. Buku II" (2014). "Shastra Wangsa, Ensiklopedia Wangsa Bali" (2015, 2018), Kamus Istilah Anatomi Mistis Hindu (2015), Manusia Tattwa (2018).
Dalam dialog tersebut juga diisi penampilan musikalisasi dan pembacaan puisi oleh Ida Ayu Dampaty dan Gus Saka dari Laboratorium Studi Teater serta Kelompok Sekali Pentas.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019
"Dalam hidupnya yang relatif singkat itu (1962-2017), almarhum Gus Palguna telah mewariskan kekayaan intelektual yang sangat sulit dan jarang dapat diberikan oleh intelektual Bali seusianya," kata Dr I Dewa Gede Palguna selaku narasumber dalam dialog bertajuk "Selampah Laku" tersebut di Bentara Budaya Bali, Ketewel, Gianyar, Jumat.
Menurut Gede Palguna yang juga sahabat almarhum budayawan Ida Bagus Made Dharma Palguna (Gus Palguna), dengan perantaraan pena tajam yang tersurat dalam tulisan-tulisannya, telah memberi terang perihal hakikat hidup manusia dalam "pertualangannya" dari dan kembali ke asal, menurut cara pandang manusia Bali-Hindu, tanpa menggurui, tanpa menghakimi.
IBM Dharma Palguna pun dinilai aktif melakukan penelitan dan kajian terhadap persoalan-persoalan yang mengemuka di masyarakat, menggambarkan kepeduliannya yang tinggi pada ketidakadilan serta ketimpangan sosial.
Gede Palguna menceritakan semasa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Udayana, IBM Dharma Palguna merupakan sosok yang kritis dengan pemikiran-pemikiran yang lintas batas dan cemerlang. Tulisan-tulisannya di Bali Post kala itu (pertengahan 1980-an) merujuk sosok Sakuni, tidak hanya jenaka tapi juga mengandung ironi pada kenyataan sosial kultural Bali.
"Tidak heran bila skripsinya menyoal Roman 'Bumi Manusia' dan sosok Pramoedya Ananta Toer, sesuatu yang masih tabu bahkan terlarang semasa Orde Baru tersebut," ujarnya.
Ia sendiri tidak tahu mengapa Gus Palguna memilih Sakuni, figur licik dan culas dalam itihasa Mahabharata itu, sebagai "juru bicara" buah pikirannya. Karakter tokoh Sakuni "versi" Post Kampus-nya Gus Palguna lebih merupakan sosok yang merepresentasikan karakter jahil namun kritis.
Ketertarikannya pada sastra Jawa Kuno dan klasik Bali mengantar Gus Palguna melanjutkan kuliah S-2 dan S-3 hingga postdoctoral di Faculteit der Letteren, Rijksuniversiteit Leiden. Selama kelana budayanya di Belanda dan benua Eropa tersebut serta negara-negara di benua lain membuahkan banyak buku.
"Karya-karya tersebut menggambarkan penjelajahan kreatif IBM Dharma Palguna dan perenungan yang mendalam terhadap kehidupan berikut dinamika sosial budaya yang lintas zaman, serta menceminkan penghayatannya yang tinggi dan tekun pada spiritualitas," ucapnya.
Karya-karyanya bukan hanya catatan kebudayaan serta sikap kritisnya pada kenyataan sosial yang penuh paradoks akibat kehadiran globalisasi dalam masyarakat Timur, khususnya Bali, melainkan juga karya-karya berupa kumpulan puisi : Lawat-Lawat Suwung (1995) serta novel Shintany Rabbhana (2009).
Karya-karyanya yang lain diantaranya : Shiwaratri Dalam Padma Purana (1997), Ida Padanda Ngurah: Pengarang Besar Bali Abad ke-19 (1998), Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Shiwa (Ph.D Thesis, 1999), Cara Mpu Monaguna Memuja Shiwa (2000), Pedofilia dan Tindak Kekerasan Lainnya (2005), Bom Teroris dan Bom Sosial, Narasi dari Balik Harmoni Bali (2006), Dewa Manusia Raksasa (2007), Budaya Kepintaran Sampai Budaya Kekerasan Pikiran (2007), Tiga Anak Pembual dan Cerita Terpilih Lainnya (2008), Kala : Waktu dan Kematian, Pengantar Mati Cara Bali, Buku Kesatu (2008), Sumanasantaka, Pengantar Mati Cara Bali, Buku Kedua (2008), Leksikon Hindu ( 2008, 2011).
Juga buku Lumut-Lumut Watulumbang (2011), Sekar Ura (2012), Dharma Shunya, Memuja dan Meneliti Shiwa, Edisi Baru (2014); "Bhisma Parwa Jawa Kuno. Terjemahan" (2014). "Perempuan Shakti. Kumpulan Esai"(2014); "Homa Dhyatmika.. Terjemahan" (2014); "Watulumbang Watumadeg. Buku I" (2014); "Watulumbang Watumadeg. Buku II" (2014). "Shastra Wangsa, Ensiklopedia Wangsa Bali" (2015, 2018), Kamus Istilah Anatomi Mistis Hindu (2015), Manusia Tattwa (2018).
Dalam dialog tersebut juga diisi penampilan musikalisasi dan pembacaan puisi oleh Ida Ayu Dampaty dan Gus Saka dari Laboratorium Studi Teater serta Kelompok Sekali Pentas.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2019