Kuta (Antaranews Bali) - Otoritas Jasa Keuangan mendorong BPR di Bali bersinergi dengan perusahaan teknologi keuangan atau "financial technology" (fintech) karena melihat perkembangan kebutuhan masyarakat saat ini yang semakin dinamis.
"Sudah ada beberapa BPR di Bali siap berkolaborasi sembari menunggu regulasi yang akan segera terbit," kata Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah dalam evaluasi kinerja BPR 2018 di Bali yang dilaksanakan di Kuta, Badung, Selasa.
Menurut dia, meski BPR sudah diperkenankan bekerja sama dengan Fintech namun kolaborasi itu belum bisa dijalankan karena regulasi saat ini tengah digodok OJK Pusat.
Dia menjelaskan beberapa keuntungan bisa didapatkan jika berkolaborasi dengan pelaku Fintech di antaranya penyaluran kredit bisa lebih cepat, dan lebih mudah dalam merebut pasar termasuk bertukar ilmu pengetahuan.
"Ke depan BPR jangan sampai kalah dengan Fintech. Salah satu syaratnya teknologi informasi dan SDM harus kuat karena itu kunci utamanya," imbuhnya.
Hizbullah menambahkan di era digitalisasi atau era revolusi industri 4.0 tidak bisa dipungkiri pelaku keuangan termasuk BPR untuk mengambil langkah inovasi atau berkolaborasi dengan Fintech yang lahir karena semakin pesatnya perkembangan teknologi.
Salah satu BPR di Bali yang sudah siap bekerja sama dengan salah satu perusahaan Fintech adalah BPR Kanti.
Direktur Utama BPR Kanti Made Arya Amitaba ditemui dalam kesempatan yang sama menyebutkan pihaknya sudah siap meluncurkan kerja sama dengan salah satu Fintech tahun 2017.
Namun karena belum ada regulasi dari OJK membuat rencana di bank yang berkantor pusat di Batubulan, Kabupaten Gianyar itu hingga sekarang masih belum bisa direalisasikan.
Nantinya regulasi itu akan mengatur terkait sumber pembiayaan yang perlu diharmonisasikan karena sumber dana dalam Fintech juga bisa berasal dari perorangan sesuai dengan sifatnya yakni "crowd funding", sedangkan aturan konvensional perbankan, sumber dana bisa berasal dari berbagai pihak atau lembaga jasa keuangan atau disebut kredit sindikasi.
Begitu juga terkait penyaluran kredit di BPR, lanjut dia, dibatasi dalam satu wilayah provinsi sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan dalam Fintech, lanjut dia, debitur bisa berasal dari sejumlah daerah di Tanah Air.
"Untuk itu sebelum peraturan OJK itu terbit, ada 'pilot project' sehingga kami tahu di lapangan seperti apa. Dengan percontohan itu ada pentahapan ketika peraturan dikeluarkan seyogyanya sudah sesuai dengan di lapangan," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Sudah ada beberapa BPR di Bali siap berkolaborasi sembari menunggu regulasi yang akan segera terbit," kata Kepala OJK Regional Bali dan Nusa Tenggara Hizbullah dalam evaluasi kinerja BPR 2018 di Bali yang dilaksanakan di Kuta, Badung, Selasa.
Menurut dia, meski BPR sudah diperkenankan bekerja sama dengan Fintech namun kolaborasi itu belum bisa dijalankan karena regulasi saat ini tengah digodok OJK Pusat.
Dia menjelaskan beberapa keuntungan bisa didapatkan jika berkolaborasi dengan pelaku Fintech di antaranya penyaluran kredit bisa lebih cepat, dan lebih mudah dalam merebut pasar termasuk bertukar ilmu pengetahuan.
"Ke depan BPR jangan sampai kalah dengan Fintech. Salah satu syaratnya teknologi informasi dan SDM harus kuat karena itu kunci utamanya," imbuhnya.
Hizbullah menambahkan di era digitalisasi atau era revolusi industri 4.0 tidak bisa dipungkiri pelaku keuangan termasuk BPR untuk mengambil langkah inovasi atau berkolaborasi dengan Fintech yang lahir karena semakin pesatnya perkembangan teknologi.
Salah satu BPR di Bali yang sudah siap bekerja sama dengan salah satu perusahaan Fintech adalah BPR Kanti.
Direktur Utama BPR Kanti Made Arya Amitaba ditemui dalam kesempatan yang sama menyebutkan pihaknya sudah siap meluncurkan kerja sama dengan salah satu Fintech tahun 2017.
Namun karena belum ada regulasi dari OJK membuat rencana di bank yang berkantor pusat di Batubulan, Kabupaten Gianyar itu hingga sekarang masih belum bisa direalisasikan.
Nantinya regulasi itu akan mengatur terkait sumber pembiayaan yang perlu diharmonisasikan karena sumber dana dalam Fintech juga bisa berasal dari perorangan sesuai dengan sifatnya yakni "crowd funding", sedangkan aturan konvensional perbankan, sumber dana bisa berasal dari berbagai pihak atau lembaga jasa keuangan atau disebut kredit sindikasi.
Begitu juga terkait penyaluran kredit di BPR, lanjut dia, dibatasi dalam satu wilayah provinsi sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan dalam Fintech, lanjut dia, debitur bisa berasal dari sejumlah daerah di Tanah Air.
"Untuk itu sebelum peraturan OJK itu terbit, ada 'pilot project' sehingga kami tahu di lapangan seperti apa. Dengan percontohan itu ada pentahapan ketika peraturan dikeluarkan seyogyanya sudah sesuai dengan di lapangan," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018