Denpasar (ANTARA) - Anggota Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Made Mangku Pastika mendorong Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Provinsi Bali untuk melakukan transformasi digital agar tetap dapat bertahan atau eksis di tengah ketatnya persaingan.
"Selama ini bank-bank umum cenderung mengambil pangsa pasarnya BPR, sehingga ke depan ini BPR cenderung makin berat. Kecuali mereka segera bertransformasi digital," kata Pastika saat mengadakan reses ke Kantor OJK Regional 8 Bali Nusra di Denpasar, Rabu (21/12).
Pastika menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan resesnya bertajuk Implementasi Relaksasi Kredit dalam Upaya Pemulihan Ekonomi, yang diterima oleh Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional 8 Bali Nusra Giri Tribroto didampingi jajarannya.
Ia menanggapi pentingnya BPR segera bertransformasi digital terkait dengan pernyataan dari Giri Tribroto bahwa mayoritas BPR di Bali belum siap untuk bertransformasi digital.
Baca juga: DPD: Transformasi digital jadi kunci bertahan untuk BPR di Bali
Menurut mantan Gubernur Bali dua periode ini, persaingan BPR yang akan berubah nama menjadi Bank Perekonomian Rakyat tersebut karena juga harus "berebut" pangsa pasar dengan bank-bank umum.
"Selama ini belum ada aturannya, sehingga masih sampai sekarang bank-bank umum juga cenderung mengambil pangsa pasarnya BPR," ujar Pastika yang sebelumnya juga pernah menjabat Kepala Satuan Penyidik Perbankan di Mabes Polri ini.
BPR, lanjut dia, juga dihadapkan pada persaingan dengan fintech peer to peer (P2P) lending. Untuk di Bali saja yang legal sudah tercatat sebanyak 102 unit.
"Jadi, satu-satunya jalan untuk BPR tetap hidup yakni dengan bertransformasi ke digital atau mungkin BPR-BPR bergabung agar lebih kuat . Tidak ada jalan lain. Kalau tidak mau berubah seperti itu maka BPR secara alamiah bisa mati," kata Wakil Ketua Badan Kehormatan DPD RI ini.
Di sisi lain, Mangku Pastika juga mengatakan banyak pihak yang berkepentingan dengan Bali meski wilayahnya kecil. Adanya relaksasi dan perpanjangan lagi setahun hingga Maret 2024 dinilai sangat membantu dunia usaha yang terpuruk karena pandemi COVID-19.
"Coba kalau tak ada relaksasi, hampir Rp30 triliun aset pengusaha Bali yang menjadi agunan di bank bisa disita. Saya dengar sudah banyak yang siap-siap mengambilnya," katanya.
Baca juga: Mangku Pastika dorong pengembangan teknologi-manajemen bumdes di Bali
Pastika ke depannya ingin Bali jangan hanya terkenal karena pariwisatanya, namun juga bisa berkembang dalam industri keuangan perbankan.
Sementara itu, Kepala OJK Regional 8 Bali Nusra Giri Tribroto mengawali pemaparannya mengatakan ekonomi Bali telah menunjukkan pemulihan yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi Bali sebesar 8,09 persen (yoy) pada triwulan III 2022. Pertumbuhan ini melebihi nasional yang sebesar 5,72 persen.
Sedangkan dilihat dari peta industri jasa keuangan di Bali terdapat 51 bank umum, 133 BPR, 16 perusahaan efek, 82 asuransi, 50 perusahaan pembiayaan dan lain sebagainya.
Industri jasa keuangan masih dominan berada di Bali Selatan karena hal ini mengikuti pertumbuhan ekonomi. Diharapkan banyaknya infrastruktur di Bali Utara ke depannya akan membawa pemerataan pergerakan ekonomi.
Terkait kinerja perbankan, dijelaskan pertumbuhan kredit maupun DPK (Dana Pihak Ketiga) terus naik. Demikian pula pasar modal yang naik pesat di saat pandemi.
Hingga Oktober 2022 tercatat kinerja kredit tumbuh 3,45 persen (yoy) dan DPK tumbuh 20,11 persen. Untuk risiko kredit perbankan NPL gross 4,09 persen dan LAR 33,94 persen.
Untuk restrukturisasi kredit COVID-19 mengalami penurunan. Perkembangan restrukturisasi menurun dari Rp45,80 triliun pada Desember 2020 menjadi Rp35,54 triliun atau turun sebesar 22,39 persen pada September 2022. "Penurunan ini di bawah nasional dari Rp829 triliun menjadi Rp519 triliun (turun 37 persen)," ujarnya.
Baca juga: Anggota DPD: Ketergantungan ekonomi Bali pada pariwisata itu sangat rentan
Giri menambahkan bahwa sejumlah bank-bank umum di saat pandemi COVID-19, justru produk andalannya adalah kredit usaha rakyat (KUR) sehingga menggerogoti segmen atau pangsa pasar BPR.
Selain itu, kata dia, banyak BPR yang belum siap dengan transformasi digital. Bahkan berdasarkan hasil survei, dari sampling 20 BPR, hanya satu diantaranya yang siap untuk bertransformasi digital.
"Masih banyak BPR yang untuk memberikan kredit misalnya, melakukan kajian secara manual. Oleh karena itu, kami mendorong BPR agar bertransformasi maupun bisa berkolaborasi dengan fintech P2P lending," ucapnya.
Persoalan yang dihadapkan BPR juga dari sisi akses permodalan yang terbatas dan berpatokan dari modal pemilik. Di samping tantangan internal dari sisi pengelolaan dan pola pikir tenaga eksekutifnya untuk mau mentransformasi produknya agar bisa berdaya saing.
Ia mengatakan pihak Kementerian Keuangan juga telah menyetujui satu BPR di Bali sebagai penyalur KUR senilai sekitar Rp7 miliar. "Ini yang pertama kali ada BPR (BPR Indra Candra) sebagai penyalur KUR," katanya.