Denpasar (Antaranews Bali) - Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha mengharapkan para mahasiswa dan seniman jangan sampai mengembangkan seni dengan "membabi-buta" yang akhirnya dapat menghilangkan unsur identitas diri dan budaya setempat.
"Identitas kesenian kita banyak keunikan, banyak kekhasan, dan itu dikagumi oleh mancanegara. Itu tidak boleh hilang, itu saya anggap sebagai `barang mahal` yang harus dipelihara dengan baik," kata Prof Arya Sugiartha disela-sela seminar internasional bertajuk "Art, Creativity and Identity" itu di Denpasar, Selasa.
Menurut dia, tema yang diangkat dalam seminar internasional tersebut sangat relevan dengan kondisi perkembangan pesat kreativitas kesenian Bali dan Indonesia pada umumnya, agar jangan sampai kehilangan jati diri.
"Oleh sebab itu, harus dicarikan cara-cara, agar di satu sisi kreativitas tetap kuat, akan tetapi jangan menghilangkan identitas. Kreativitas jangan sampai kebablasan," ucap Prof Arya yang juga menjadi pembicara utama pada seminar oleh Program Doktoral ISI Denpasar itu.
Prof Arya mengemukakan sejumlah masukan agar identitas kesenian Bali tetap terjaga yakni para seniman harus tetap memiliki sikap profesional, memiliki keterampilan dan keahlian.
"Namun, harus tetap diingat diri sendiri, kita ini siapa dan lahir dimana? Tidak boleh dengan pengembangan seni yang `membabi buta` dan harus memiliki konsep," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, hendaknya tetap menghargai karya seni dari daerah lain, cara pandangnya juga, serta yang baik kemudia dicontoh dan digunakan memperkaya apa yang dimiliki.
"Lewat seminar ini untuk memberikan wahana diskusi bagi para mahasiswa dengan narasumber dari luar negeri yang tentu memahami aspek penting dari kesenian Indonesia," kata Prof Arya.
Sementara itu, Ketua Panitia Seminar Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan lewat seminar internasional tersebut menjadi wahana untuk lebih memahami, mendengar perkembangan baru dalam dunia kreativitas seni, terutama dalam persoalan identitas.
"Karena di zaman global ini seringkali orang mengabaikan identitasnya sendiri sehingga hampir tidak punya identitas, karena itu kami ingin mempresentasikan pikiran-pikiran pembicara dari luar, terkait persoalan bagaimana mempertahankan kreativitas, bagaimana mempertahankan identitas sehingga tidak luluh dalam budaya global," ujarnya.
Persoalan identitas pun, lanjut Prof Dibia, tidak statis. Identitas terus berkembang sesuai interaksi dari seniman. "Semakin banyak berinteraksi dengan dunia seni, maka identitas berkembang, walaupun identitas intinya akan tetap bertahan," ucapnya.
Pihaknya berharap dengan seminar itu akan terbangun sebuah kesadaran bagi mahasiswa sehingga tidak perlu khawatir dengan interaksi dunia global, sejauh memiliki identitas yang kuat.
Seminar internasional tersebut menghadirkan tiga pembicara dari luar negeri yakni Thomas Ondrusek (dari Janachek Academy of Art, Cekoslovakia), dan Margaret Coldiron PhD (Deputy Head of BA World Performance, University of Essex, London).
Selain itu, Budi Miler (Victoria College of The Art, University of Melbourne), dan Dr Tisna Sanjaya (Bandung Institute of Technology-Indonesia). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Identitas kesenian kita banyak keunikan, banyak kekhasan, dan itu dikagumi oleh mancanegara. Itu tidak boleh hilang, itu saya anggap sebagai `barang mahal` yang harus dipelihara dengan baik," kata Prof Arya Sugiartha disela-sela seminar internasional bertajuk "Art, Creativity and Identity" itu di Denpasar, Selasa.
Menurut dia, tema yang diangkat dalam seminar internasional tersebut sangat relevan dengan kondisi perkembangan pesat kreativitas kesenian Bali dan Indonesia pada umumnya, agar jangan sampai kehilangan jati diri.
"Oleh sebab itu, harus dicarikan cara-cara, agar di satu sisi kreativitas tetap kuat, akan tetapi jangan menghilangkan identitas. Kreativitas jangan sampai kebablasan," ucap Prof Arya yang juga menjadi pembicara utama pada seminar oleh Program Doktoral ISI Denpasar itu.
Prof Arya mengemukakan sejumlah masukan agar identitas kesenian Bali tetap terjaga yakni para seniman harus tetap memiliki sikap profesional, memiliki keterampilan dan keahlian.
"Namun, harus tetap diingat diri sendiri, kita ini siapa dan lahir dimana? Tidak boleh dengan pengembangan seni yang `membabi buta` dan harus memiliki konsep," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, hendaknya tetap menghargai karya seni dari daerah lain, cara pandangnya juga, serta yang baik kemudia dicontoh dan digunakan memperkaya apa yang dimiliki.
"Lewat seminar ini untuk memberikan wahana diskusi bagi para mahasiswa dengan narasumber dari luar negeri yang tentu memahami aspek penting dari kesenian Indonesia," kata Prof Arya.
Sementara itu, Ketua Panitia Seminar Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan lewat seminar internasional tersebut menjadi wahana untuk lebih memahami, mendengar perkembangan baru dalam dunia kreativitas seni, terutama dalam persoalan identitas.
"Karena di zaman global ini seringkali orang mengabaikan identitasnya sendiri sehingga hampir tidak punya identitas, karena itu kami ingin mempresentasikan pikiran-pikiran pembicara dari luar, terkait persoalan bagaimana mempertahankan kreativitas, bagaimana mempertahankan identitas sehingga tidak luluh dalam budaya global," ujarnya.
Persoalan identitas pun, lanjut Prof Dibia, tidak statis. Identitas terus berkembang sesuai interaksi dari seniman. "Semakin banyak berinteraksi dengan dunia seni, maka identitas berkembang, walaupun identitas intinya akan tetap bertahan," ucapnya.
Pihaknya berharap dengan seminar itu akan terbangun sebuah kesadaran bagi mahasiswa sehingga tidak perlu khawatir dengan interaksi dunia global, sejauh memiliki identitas yang kuat.
Seminar internasional tersebut menghadirkan tiga pembicara dari luar negeri yakni Thomas Ondrusek (dari Janachek Academy of Art, Cekoslovakia), dan Margaret Coldiron PhD (Deputy Head of BA World Performance, University of Essex, London).
Selain itu, Budi Miler (Victoria College of The Art, University of Melbourne), dan Dr Tisna Sanjaya (Bandung Institute of Technology-Indonesia). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018