Denpasar (Antaranews Bali) - Komunitas Kretek menyatakan industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu pilar yang mendukung kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional karena dikelola oleh petani Indonesia.
"Industri hasil tembakau bukan saja selaras dengan agenda prioritas Nawa Cita dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG's), tetapi juga sportif dan strategis untuk mencapai keduanya," kata Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo di Denpasar, Jumat.
Pada 13-15 September 2018, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Pasifik terkait pengendalian tembakau ke-12 (APACT) di Nusa Dua, Bali, sementara itu Komunitas Kretek mengadakan pertemuan di Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali pada 13 September 2018.
Senada dengan Aditia, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad mengatakan mayoritas lahan tembakau dan cengkih dimiliki dan dibudidayakan sepenuhnya oleh rakyat sehingga menunjukkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi masyarakat.
Tembakau dan cengkih, kata dia, merupakan sektor hulu dari industri hasil tembakau (IHT) yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Bali.
Melalui keterangan persnya, para penggemar kretek itu menyebutkan bahwa 93 persen produk IHT adalah kretek dan sisanya adalah cerutu, farmasi, produk makanan, kosmetik dan lainnya.
Dari hulu hingga hilir, kata dia, industri itu menyerap 6,1 juta tenaga kerja.
"Artinya, IHT telah membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan, menekan pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan. Tak hanya itu, IHT adalah sektor perekonomian yang paling tahan krisis," ucapnya.
Bahkan, kata Azami, IHT memberikan kontribusi bagi pendapatan dalam negeri, khususnya dari sektor penerimaan pajak.
Berdasarkan data dari Direktorat Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan disebutkan dalam postur APBN 2018, cukai hasil tembakau diproyeksikan berkontribusi sebesar Rp148,2 triliun, menduduki posisi ketiga terbesar setelah pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Jumlah itu diharapkan mendukung penerimaan pajak 2018 yang ditargetkan mencapai Rp1.618,1 triliun.
Terkait dengan Konferensi Asia Pasifik terkait pengendalian tembakau ke-12 (APACT) di Nusa Dua, Bali, itu, Komunitas Kretek menyampaikan pernyataan sikap, diantaranya mendorong pemerintah untuk melakukan perlindungan dan memaksimalkan potensi IHT.
Selain itu, menolak segala bentuk intervensi asing yang bertujuan mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan IHT.
Dalam konferensi yang bertajuk "Pengendalian Tembakau untuk Pembangunan yang Berkelanjutan guna Memastikan Generasi yang Sehat" itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise berharap Indonesia bisa segera mengaksesi FCTC agar anak-anak Indonesia bisa terlindungi dari dampak buruk tembakau.
"Indonesia belum mengaksesi FCTC. Saya berharap kedepan akan diaksesi karena Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak," kata Yohana dalam pidato kuncinya pada Konferensi APACT ke-12 di Nusa Dua (13/9).
FCTC merupakan konvensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi rokok dan paparan asap rokok.
FCTC diprakarsai negara-negara berkembang anggota WHO seperti dari Amerika Latin, India, Thailand serta Indonesia dan disepakati pada 2003. Meski ikut memprakarsai, Indonesia masih belum meratifikasi atau mengaksesi FCTC.
Sementara itu Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan pihaknya akan mengusahakan ratifikasi tersebut. "Nanti sama pemerintah. Saya tidak bisa jawab. Pasti akan kita usahakan," katanya.
Menkes mengatakan pemerintah bersama masyarakat sipil di Indonesia berkomitmen untuk mengurangi konsumsi tembakau antara lain melalui kawasan tanpa rokok.
"Kematian usia muda akibat penyakit tidak menular, yang salah satu faktornya adalah merokok, semakin tinggi," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
"Industri hasil tembakau bukan saja selaras dengan agenda prioritas Nawa Cita dan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG's), tetapi juga sportif dan strategis untuk mencapai keduanya," kata Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo di Denpasar, Jumat.
Pada 13-15 September 2018, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Asia Pasifik terkait pengendalian tembakau ke-12 (APACT) di Nusa Dua, Bali, sementara itu Komunitas Kretek mengadakan pertemuan di Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali pada 13 September 2018.
Senada dengan Aditia, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad mengatakan mayoritas lahan tembakau dan cengkih dimiliki dan dibudidayakan sepenuhnya oleh rakyat sehingga menunjukkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi masyarakat.
Tembakau dan cengkih, kata dia, merupakan sektor hulu dari industri hasil tembakau (IHT) yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Bali.
Melalui keterangan persnya, para penggemar kretek itu menyebutkan bahwa 93 persen produk IHT adalah kretek dan sisanya adalah cerutu, farmasi, produk makanan, kosmetik dan lainnya.
Dari hulu hingga hilir, kata dia, industri itu menyerap 6,1 juta tenaga kerja.
"Artinya, IHT telah membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan, menekan pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan. Tak hanya itu, IHT adalah sektor perekonomian yang paling tahan krisis," ucapnya.
Bahkan, kata Azami, IHT memberikan kontribusi bagi pendapatan dalam negeri, khususnya dari sektor penerimaan pajak.
Berdasarkan data dari Direktorat Penyusunan APBN Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan disebutkan dalam postur APBN 2018, cukai hasil tembakau diproyeksikan berkontribusi sebesar Rp148,2 triliun, menduduki posisi ketiga terbesar setelah pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Jumlah itu diharapkan mendukung penerimaan pajak 2018 yang ditargetkan mencapai Rp1.618,1 triliun.
Terkait dengan Konferensi Asia Pasifik terkait pengendalian tembakau ke-12 (APACT) di Nusa Dua, Bali, itu, Komunitas Kretek menyampaikan pernyataan sikap, diantaranya mendorong pemerintah untuk melakukan perlindungan dan memaksimalkan potensi IHT.
Selain itu, menolak segala bentuk intervensi asing yang bertujuan mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan IHT.
Dalam konferensi yang bertajuk "Pengendalian Tembakau untuk Pembangunan yang Berkelanjutan guna Memastikan Generasi yang Sehat" itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise berharap Indonesia bisa segera mengaksesi FCTC agar anak-anak Indonesia bisa terlindungi dari dampak buruk tembakau.
"Indonesia belum mengaksesi FCTC. Saya berharap kedepan akan diaksesi karena Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak," kata Yohana dalam pidato kuncinya pada Konferensi APACT ke-12 di Nusa Dua (13/9).
FCTC merupakan konvensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi rokok dan paparan asap rokok.
FCTC diprakarsai negara-negara berkembang anggota WHO seperti dari Amerika Latin, India, Thailand serta Indonesia dan disepakati pada 2003. Meski ikut memprakarsai, Indonesia masih belum meratifikasi atau mengaksesi FCTC.
Sementara itu Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menyatakan pihaknya akan mengusahakan ratifikasi tersebut. "Nanti sama pemerintah. Saya tidak bisa jawab. Pasti akan kita usahakan," katanya.
Menkes mengatakan pemerintah bersama masyarakat sipil di Indonesia berkomitmen untuk mengurangi konsumsi tembakau antara lain melalui kawasan tanpa rokok.
"Kematian usia muda akibat penyakit tidak menular, yang salah satu faktornya adalah merokok, semakin tinggi," katanya. (ed)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018