Denpasar (Antaranews Bali) - Rektor ISI Denpasar, Prof Dr I Gede Arya Sugiartha memberikan apresiasi pelaksanaan "Festival of Indonesianity in The Art/FIA" yang menghadirkan sejumlah inovasi untuk lebih mendekatkan kalangan kampus dengan masyarakat.

"Saya berbangga karena ISI Denpasar pada 2018 ini banyak sekali melakukan lompatan inovasi kinerja, salah satunya dengan kegiatan FIA tersebut," kata Prof Arya Sugiartha, di Denpasar, Rabu.

Prof Arya secara langsung membuka Festival of Indonesianity in The Art (FIA) yang digelar di Bentara Budaya Bali, Ketewel, Gianyar.

FIA tersebut merupakan rangkaian kegiatan Diseminasi Hasil Penelitian dan Penciptaan Dosen ISI Denpasar yang pada tahun-tahun sebelumnya hanya dipagelarkan di lingkungan kampus. Menurut dia, dengan kini dilaksanakan di luar kampus, dampaknya bisa dirasakan dalam lingkup yang lebih luas.

"Tidak hanya berdampak pada ISI Denpasar, juga sekaligus bagi masyarakat Bali dan kalangan seni lainnya," ucapnya menanggapi acara yang digelar oleh Lembaga Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan (LP2MPP) ISI Denpasar itu.

Terkait dengan tema sarasehan dalam FIA yang bertajuk "Empowering Taksu", bagi Prof Arya juga dinilai sangat pas karena karya dosen yang telah teruji memiliki "taksu" atau kharisma. Diharapkan taksu tersebut masih bisa melekat dan diapresiasi masyarakat secara baik.

"Taksu tidak akan jatuh dari langit, tetapi hasil dari usaha, hasil sebuah kerja keras. Taksu itu bukan pemberian, tetapi sesuatu yang diperjuangkan. Setelah taksu itu ada, harus bisa kita berdayakan dengan benar. Kalau tidak diberdayakan, maka akan hilang dan lenyap," ujarnya didampingi Humas ISI Denpasar I Gede Eko Jaya Utama SE, MM.

Sementara itu, Ketua Panitia Festival Dr Ni Luh Sustiawati MPd mengatakan festival tersebut sebagai wadah diseminasi hasil penelitian dan penciptaan seni oleh para dosen ISI Denpasar yang berjumlah 12 pemenang.

"Untuk seni pertunjukan, terdiri dari tiga karya seni tari, satu karya seni karawitan, dan satu karya seni pedalangan (drama wayang). Sedangkan untuk seni rupa dan desain, terdiri atas film dokumenter, lukisan, fashion, desain komunikasi visual, desain interior, fotografi dan kriya yang masing-masing 3-5 karya," ujarnya.

Pemenang hasil diseminasi penelitian dan penciptaan yang disajikan dalam festival tersebut diantaranya Tari Genetri karya I Gede Gunatri Putra, film dokumenter "Sesuluh" karya I Ketut Bisa, tari Kebyar Andrepati karya I Gede Oka Surya Negara, fashion show karya Anak Agung Ngurah Mayun dan pameran seni rupa.

Selanjutnya karawitan "Greeng" karya Saptono, tari Bhatari Krida karya Diah Kustiyanti, dan Wayang Kumbakarna Lina karya I Kadek Widnyana.

Festival of Indonesianity in The Art (FIA) juga diisi dengan sarasehan dengan menghadirkan tiga pembicara yakni Ni Putu Putri Suastini (penyair dan istri Gubernur Bali), Nirwan Dewanto (budayawan dari Jakarta), dan Candra Ayu Probirini (penari dan penggiat festival dari Surabaya).

Putu Putri Suastini pegiat seni modern menuturkan topik taksu memang sulit untuk dilihat namun bisa dirasakan. Terkadang seniman alam, tidak memiliki latar belakang keilmuan akademisi, namun kematangan jiwa berkesenianya di atas panggung luar biasa.

"Contoh, seniman arja, tokoh mantri buduh, almarhum Ribuwati, dengan hiasan makeup , busana sederhana, tapi ketika di atas panggung ekspresinya metaksu," ucapnya.

Artinya, lanjut dia, seniman sudah harus memperkaya batinnya. "Sebelum menari, kita harus mampu menyatukan ritual alam makro dan mikro. Demam panggung selalu ada, sedetik dua detik , artinya normal. Yang saya lakukan, sebelum tampil biasanya menyerap energi makro, doa saya sederhana , satu aliran seni yang membuat penonton bahagia," katanya.

Menurut Putri Suastini, dalam berkesenian kita tidak sibuk dalam menari, namun mengisi pelan-pelan olah bathin. Kedepannya, olahraga dan olah bathin sangat penting. "Berkesenian satu bakti dan satu rasa bersyukur," ucapnya.

Budayawan Nirwan Dewanto memberikan pandangan kehidupan berkesenian dewasa ini. Menurut dia, identitas dan kekaryaan itu berbeda, identitas di luar proses kekaryaan kreatif. "Identitas bukan tujuan utama proses kekaryaan. Seluruh perangkat kesenian itu, berada di dalam diri anda. Identitas itu tidak ada hubungan langsung dengan membuat karya seni," ucapnya.

Sementara itu, Candra Ayu Proborini menceritakan pengalamannya dalam penyelenggaraan Jember Festival Carnaval (JFC) yang saat sudah memasuki pelaksanaan yang ke-14 kali, dan sukses membawa Jember menjadi daerah yang dilirik oleh wisatawan.

JFC yang awalnya dirancang dan dilaksanakan sendiri oleh para anggotanya, saat ini sudah menjadi even utama dalam agenda tahunan Pemkab Jember berupa acara Bulan Berkunjung Jember (BBJ). (WDY)

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018