"Sudah menjadi kebiasaan masyarakat sini, setelah Shalat Id dan bersilaturahim dengan tetangga mereka baru berangkat mudik," kata KH. Sya`rani Yasin, salah seorang tokoh Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Minggu.
Sya`rani Yasin mengatakan, seperti jamaknya desa pesisir lainnya, cukup banyak warga masyarakat yang berasal dari berbagai daerah merantau ke Desa Pengambengan, dengan rata-rata bekerja sebagai nelayan.
Tradisi mudik bertepatan dengan hari besar itu, katanya, sudah dilakukan turun-temurun, tidak hanya bagi perantau yang orang tuanya masih di kampung halaman, tapi juga oleh warga yang lahir dengan orang tuanya tinggal di desa tersebut.
"Di desa ini, ada banyak warga yang lahir dan besar disini, tapi saat hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha, mereka tetap mudik ke kampung halamannya. Ini tradisi yang bagus, karena silaturahim dengan saudara-saudara mereka di kampung tempat asal orang tuanya tidak terputus," kata pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Pengambengan ini.
Menurut dia, tradisi mudik bertepatan dengan hari raya ini sudah terjadi sejak awal perantau mulai berdatangan ke Desa Pengambengan yang merupakan sentra perikanan tangkap di Kabupaten Jembrana, Bali sebagai bentuk hubungan persaudaraan dengan warga "asli" yang sudah dari nenek moyangnya tinggal di desa tersebut.
Sebagai perantau yang mencari nafkah, dan banyak diantaranya yang sukses menjadi wiraswasta sektor perikanan, para perantau yang sebagian besar berasal dari Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur memilih untuk pertama kali bersilaturahim lebaran dengan tetangga tempatnya tinggal, baru kemudian berangkat ke kampung halaman.
"Percampuran latar belakang antar penduduk ini juga menciptakan tradisi termasuk bahasa yang unik. Disini sudah biasa bercakap-cakap dengan Bahasa Melayu maupun Bahasa Jawa. Jangan heran kalau ada juga kelompok kesenian kuntulan, yang merupakan kesenian Banyuwangi," katanya.
Di Desa Pengambengan, asal usul penduduknya memang didominasi masyarakat dengan nenek moyang Melayu yang terlebih dahulu datang dan tinggal di desa tersebut, serta masyarakat Jawa dengan latar budaya dan bahasa dari Kabupaten Banyuwangi. Akulturasi antara dua latar belakang ini tidak hanya dari sisi bahasa dan budaya, tapi juga semakin erat dengan perkawinan antarmereka.
Dengan terikatnya mereka dalam perkawinan, tradisi mudik lebaran setelah Shalat Ied semakin kuat, seperti yang dilakukan Yusuf, salah seorang warga Desa Pengambengan. Ia yang memiliki isteri asal Kabupaten Banyuwangi, sudah sepakat untuk terlebih dahulu bersilaturahim dengan keluarganya di Pengambengan, baru berangkat ke Jawa.
"Kebiasaan itu sudah kami lakukan setiap hari raya. Memang tidak ada kesepakatan dengan isteri saya, tapi sudah menjadi kebiasaan yang kami jalani. Mertua saya di Banyuwangi juga maklum, kalau kami sampai sana sore atau menjelang malam," katanya.
Kesepakatan yang mengalir untuk terlebih dahulu berlebaran di Desa Pengambengan, baru berangkat ke Jawa juga dilakukan Rahman Kholidi seorang warga keturunan Melayu yang mendapatkan isteri dari Kabupaten Banyuwangi. Bahkan karena ia memiliki keluarga besar di desa ini, seringkali baru bisa pulang ke Jawa satu hari setelah lebaran, atau malam hari pada lebaran hari pertama.
Karena kebiasaan mudik bertepatan dengan hari raya ini, bisa dipastikan saat Hari Raya Idul Fitri, kampung-kampung yang didominasi warga asal Kabupaten Banyuwangi sepi menjelang siang hari.
Sesaat setelah bersilaturahim dengan tetangganya, mereka berombongan mudik dengan rata-rata mengendarai sepeda motor. Karena jumlahnya yang lumayan banyak, Pelabuhan Gilimanuk kembali dipenuhi pemudik yang rata-rata berasal dari Kabupaten Jembrana, untuk pulang ke daerah-daerah terdekat di Jawa Timur.
Balasan penghargaan
Keputusan untuk terlebih dahulu merayakan Idul Fitri di Desa Pengambengan dibanding mudik, mendapatkan balasan penghargaan bagi warga lokal, dengan mendatangi mereka di Banyuwangi. Ya, sudah menjadi kebiasaan juga, sejumlah warga Pengambengan khususnya anak muda berdatangan ke Kabupaten Banyuwangi, untuk bersilaturahim dengan tetangganya yang mudik serta keluarganya disana.
"Kami biasanya berangkat berombongan juga dari sini. Di Banyuwangi, selain silaturahim juga sekalian rekreasi. Bagi anak muda sambil mencari jodoh," kata Akim, salah seorang warga sambil tertawa. Menurut Akim, saat di Banyuwangi, ia mendatangi hampir seluruh warga yang ia kenal di Pengambengan, yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten tersebut. Seringkali, katanya, ia berada di Banyuwangi sampai tiga hari agar bisa mendatangi seluruh kawannya.
Tergantung hasil tangkapan ikan
Dengan berprofesi sebagian besar sebagai nelayan, arus mudik warga Desa Pengambengan menuju Kabupaten Banyuwangi juga dipengaruhi oleh hasil tangkapan ikan. Semakin banyak hasil tangkap, berarti semakin lama mereka berada di kampung halamannya, sementara saat sepi hasil tangkap mereka dengan cepat kembali, atau bahkan banyak yang memutuskan untuk tidak mudik.
"Tahun ini sepanjang bulan puasa hasil tangkap lumayan banyak. Alhamdulillah, banyak warga sini yang asal Kabupaten Banyuwangi bisa mudik," kata KH. Sya`rani Yasin. Sebagai tokoh yang dianggap paling sepuh, ia mengaku, bisa merasakan kesedihan warga saat tidak bisa mudik, padahal jarak Kabupaten Jembrana dengan Kabupaten Banyuwangi tidak terlalu jauh.
Memang menjelang dan sepanjang bulan puasa tahun ini, hasil tangkap yang hampir satu tahun paceklik, mendadak melimpah dengan jenis ikan tongkol. Meskipun tidak bisa mendapatkan ikan hingga puluhan ton seperti beberapa tahun lalu, hasil tangkapan yang sedikit itu juga diimbangi dengan harga ikan yang melonjak.
"Pada awal-awal puasa harga ikan tongkol sempat mencapai Rp10 ribu perkilogram. Karena semakin banyak yang dapat ikan, harganya juga anjlok tapi lumayan nelayan bisa berlebaran," kata Rahman Dardiri, salah seorang pedagang ikan yang membeli langsung dari nelayan.
Rasa pesimistis karena paceklik panjang sempat dirasakan nelayan di Desa Pengambengan, dan perasaan gundah semakin besar mendekati bulan Ramadhan. Bagi mereka, harapan untuk bisa berlebaran termasuk mudik ke kampung halamannya bisa tercapai apabila laut memberikan hasil tangkap yang melimpah.
"Menjelang puasa saya pesimis bisa pulang kampung, ternyata sekarang ada ikan. Kami sudah sepakat dengan bos perahu untuk membagi langsung penjualan ikan agar bisa berlebaran," kata Samsuri, salah seorang nelayan asal Kabupaten Banyuwangi, saat bercakap-cakap pada bulan Ramadhan lalu.
Pada situasi normal dengan hasil tangkap yang banyak, pembagian hasil penjualan ikan antara bos perahu dengan anak buahnya dilakukan saat bulan purnama dimana perahu sementara libur menunggu bulan gelap.
Sistem dan waktu pembagian ini mengikuti pembayaran dari pembeli seperti pabrik-pabrik yang melakukan pembayaran menjelang bulan purnama. Namun saat hasil tangkap sedikit, apalagi setelah paceklik panjang dan menjelang hari raya, untuk sesaat sistem pembagian hasil itu berubah dengan ikan dibayar langsung dan uang segera dibagikan.
Rezeki yang diperoleh tiap nelayan menjelang Hari Raya Idul Fitri saat ini bisa mencapai Rp2 juta hingga Rp4 juta, yang menjadi bekal mereka pulang kampung. Karena jarak yang dekat, bahkan saat mereka hanya memiliki uang ratusan ribu rupiah, tetap nekat pulang kampung agar bertemu dengan keluarganya disana.
"Yang penting cukup untuk beli bahan bakar sepeda motor dan ongkos penyeberangan serta sedikit uang saku, sudah bisa pulang ke Jawa," kata Samsuri.
Tradisi pulang kampung bertepatan dengan hari raya, menjadi tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun di Desa Pengambengan. Saat itu, Pelabuhan Gilimanuk kembali dipadati pemudik dengan sepeda motor, yang saat ditanya dipastikan berasal dari Pengambengan atau desa-desa pesisir di sekitarnya. Selama sekitar satu minggu mereka berada di Jawa, sebelum kembali datang ke Pengambengan untuk kembali melanjutkan rutinitas bekerja sebagai nelayan.
Tidak hanya pekerjaan dan perjodohan, keberadaan masyarakat perantau di Desa Pengambengan juga menciptakan budaya tersendiri yang selaras dengan budaya yang sudah ada, yang mereka bawa dan lestarikan di desa pesisir ini.
Kelompok kesenian kuntulan maupun jaranan, yang merupakan kesenian khas Kabupaten Banyuwangi menjadi contoh kekayaan budaya masyarakat Desa Pengambengan. Saat berada di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pengambengan, bukan hal yang asing apabila banyak terdengar orang- orang bercakap-cakap menggunakan bahasa using asal Banyuwangi yang kerap dipadukan dengan bahasa Melayu.
Demikian juga halnya saat kegiatan-kegiatan keramaian yang melibatkan masyarakat, kelompok kesenian kuntulan atau jaranan juga sering tampil, yang dalam beberapa kesempatan berdampingan dengan kesenian gambus yang merupakan hasil budaya masyarakat lokal.
Beberapa jenis kesenian itu biasanya tampil bergantian saat acara petik laut, yang merupakan tradisi ritual masyarakat nelayan sebagai bentuk ucapan syukur dan doa atas rezeki hasil tangkap yang mereka peroleh.
Dalam hal alat tangkap, masyarakat nelayan di Desa Pengambengan terbagi menjadi dua jenis, yaitu yang menggunakan perahu selerek dengan anak buah mencapai puluhan orang, serta yang menggunakan sampan yang dijalankan satu atau dua orang nelayan. Sentuhan budaya Kabupaten Banyuwangi juga terlihat dari perahu selerek, yang bentuk maupun ornamennya banyak kesamaan dengan perahu sejenis dari Banyuwangi. Sentuhan jenis alat tangkap ini terjadi karena seringkali nelayan dari pesisir Banyuwangi sandar di Pengambengan, demikian juga sebaliknya tergantung arah ikan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018