Denpasar (Antaranews Bali) - Satu kali melihat (sendiri) lebih baik daripada seratus kali mendengar (dari orang lain). Itulah pepatah Tiongkok yang terkenal sejak era dinasti Han Barat.
Pepatah itu diucapkan Zhao Chong saat diperintah oleh Kaisar Xuan untuk melawan Suku Qiang dari perbatasan barat yang menyerbu Negara Han.
Kaisar Xuan sempat menanyakan kepada Zhao Chong tentang berapa pasukan tambahan yang dibutuhkan, namun Zhao Chong berkata bahwa dirinya harus ke garis depan dulu.
Zhao Chong melakukan hal itu (datang sendiri ke garis depan) untuk melihat sendiri, meneliti keadaan bumi, menyelidiki posisi pasukan musuh.
Dengan informasi tersebut, Zhao Chong menyusun rencana peperangannya dan terbukti sangat sukses, sehingga ungkapannya pun dikenal.
Ungkapan "Lebih baik melihat sendiri sekali daripada mendengar seratus kali dari orang lain" itu berarti betapa pun banyak yang didengar belum tentu dapat dipercaya dibandingkan dengan melihat.
Itulah yang dibuktikan langsung oleh sejumlah jurnalis dari berbagai media massa di Indonesia (media dari Bali) yang melakukan "media visit" ke beberapa kota pada dua provinsi di Tiongkok pada 2-11 Mei 2018.
"Sebelum ke sini, saya menilai negeri ini (Tiongkok) sangat otoriter, karena memblokir media sosial (media komunikasi), seperti whatsapp, twitter, facebook, instagram, line, youtube," ucap seorang jurnalis.
Namun, setelah mengunjungi sejumlah lokasi terkait infrastruktur, media massa, dan objek wisata pada beberapa kota di Provinsi Fujian dan Zhejiang, ia akhirnya melihat "kemandirian".
Tidak hanya itu, aspek kemandirian yang diikhtiarkan masyarakat Negeri Panda itu juga melahirkan semangat belajar dan kedisiplinan untuk mewujudkan (kemandirian) itu.
"Sebenarnya, masyarakat sini juga banyak belajar ke Barat, seperti Eropa dan Amerika, namun tidak copy paste, melainkan tetap disesuaikan kondisi lokal," kata mantan Ketua Pusat Studi Indonesia di Universitas Guangdong, Prof Cai Jincheng MA.
Ahli bahasa dan budaya Indonesia yang dikenal dengan "nama Indonesia" sebagai Prof Gunawan MA itu menjelaskan belajar pada keunggulan lain dengan tetap menyesuaikan dengan kondisi lokal itulah yang mendorong tumbuhnya kemandirian.
"Saya yakin Indonesia juga memiliki potensi untuk maju bila banyak belajar kepada negara lain dengan tetap menyesuaikan dengan keunggulan bangsa sendiri, karena bangsa Tiongkok dan Indonesia itu memiliki kemiripan," ujarnya.
Sementara itu, jurnalis lain juga melihat sendiri tentang identitas "komunis" yang selama ini melekat pada Negeri Tiongkok, ternyata komunis itu tidak bermakna "tak ber-Tuhan".
"Saya menyaksikan sendiri bahwa gereja di sini juga ada, bahkan masjid juga ada. Klenteng atau kuil dan tempat ibadah agama lain juga ada," kata jurnalis yang beragama Hindu itu.
Menanggapi hal itu, Prof Gunawan yang mengaku `cinta` Indonesia, meski lahir di Tiongkok itu, menegaskan bahwa komunis itu lebih merupakan sistem politik yang tidak berdampak langsung pada masyarakat, karena masyarakat tidak mementingkan sistem politik, melainkan adanya jaminan kesejahteraan dalam sistem itu.
"Komunis itu dapat dimaknai sebagai bebas, baik bebas beragama maupun tidak. Artinya, agama tetap boleh berkembang," ungkap ahli bahasa dan budaya Indonesia yang datang pertama kali ke Indonesia pada 1997 dan terakhir kali datang ke Indonesia (Bali) pada 2014 itu.
Namun, perkembangan agama di Tiongkok itu berada dalam koridor "privacy" (non-publik). "Jadi, pelajaran agama itu tidak ada di sekolah, atau fasilitas publik tidak menyediakan tempat ibadah secara khusus, karena agama dan pendidikan agama hanya ada di kuil, gereja, masjid," katanya.
Diplomasi Kebudayaan
"Media visit" yang dilakukan sejumlah jurnalis atas undangan Konjen RRT Denpasar untuk "melihat" Tiongkok pada 2-11 Mei 2018 itu merupakan diplomasi kebudayaan yang menguatkan pepatah "melihat lebih baik daripada mendengar" itu.
"Saya ingin meningkatkan hubungan antarmasyarakat kedua negara guna mengenalkan potensi masing-masing (people to people)," kata Konsul Jenderal RRT di Denpasar Gou Haodong dalam audiensi dengan pimpinan dan jajaran redaksi LKBN Antara Biro Bali, 17 April 2018.
Selain mengajak jurnalis media massa di Bali untuk "melihat" Tiongkok, dirinya juga ingin mengundang wartawan Tiongkok untuk "melihat" Indonesia (Bali) agar dapat mengetahui keunggulan Pulau Dewata (Indonesia) secara langsung dan bukan mendengar dari orang lain yang kadang bias atau bahkan ada "bumbu" provokatif.
Baca juga: Konjen China Denpasar ingin tingkatkan hubungan antarmasyarakat
Hyperlink : https://www.obortimes.net/language/id/berita/
Diplomasi kebudayaan yang dapat dimaknai sebagai tukar menukar informasi untuk meningkatkan saling pengertian itu bisa berbentuk hubungan antar-publik dalam berbagai aspek, seperti media visit, kerja sama pendidikan, kursus bahasa, riset/penelitian bersama, tukar menukar karya seni (kesenian), dan banyak lagi.
"Kami seperti menjadi guru bagi mahasiswa lain di kampus, kami sering mengadakan festival untuk mengenalkan budaya dari sejumlah daerah di Indonesia," kata mahasiswi program bahasa mandarin dari Universitas Huaqiao, Ida Ayu Prema Savitri, kepada awak media dari Indonesia di kampus setempat, Xiamen, Fujian (3/5).
Baca juga: Konjen China kagumi masyarakat Bali menjaga budaya
Hyperlink : https://www.obortimes.net/language/id/berita/
Senada dengan itu, General Manajer "Media Grup Fujian" Zhuang Zhisong menilai kerja sama operasional (pertukaran berita) terkait kebudayaan itu penting untuk memperkuat hubungan antar-masyarakat kedua negara, sekaligus menunjukkan "keterbukaan" Tiongkok terhadap aspirasi (kritik) dari publik lewat "demokrasi" ala Timur.
"Secara khusus, kerja sama Indonesia dengan Provinsi Fujian itu penting, karena banyak warga keturunan Tionghoa di Indonesia berasal dari provinsi ini," katanya ketika menerima perwakilan sejumlah awak media dari Bali di Fuzhou, Provinsi Fujian (5/5).
Bahkan, katanya, sebelum Tiongkok bebas (merdeka) pun, warga Fujian sudah ada di sana (Indonesia). "Karena itu, program jalur sutera maritim dengan berbagai negara, termasuk Indonesia, tidak hanya perdagangan, tetapi juga pertukaran kebudayaan," ujarnya.
Baca juga: Media Fujian dorong kerja sama kebudayaan RI-Tiongkok
Yang menarik, diplomasi kebudayaan yang perlu ditingkatkan terus itu memiliki bentuk yang unik di Provinsi Fujian, Tiongkok, yakni keberadaan "Kampung Bali" di Nansan, Kecamatan Luojiang, Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok.
"Keberadaan Kampung Bali di Nansan ini dapat mendekatkan hubungan Indonesia-Tiongkok lebih erat, karena pentas kesenian di taman budaya desa kami akan mendorong masyarakat untuk berkunjung ke Bali," kata Ketua Perhimpunan Perantau Tionghoa, Chen Jin Hoa kepada awak media dari Bali (4/5).
Baca juga: Kampung Bali Nansan pererat hubungan Indonesia-China (video)
Ikhtiar warga Kampung Bali di Nansan menggagas Taman Budaya Bali itu mendapat dukungan anggaran dari Pemerintah Tiongkok sekitar 2,5 juta yuan untuk tahap pertama pembangunan taman seluas sekitar 5.000 meter persegi.
"Keinginan warga Tiongkok keturunan itu bertujuan mengenalkan seni budaya Pulau Dewata, karena mereka juga tidak ingin melupakan asal usul mereka yang lahir di Bali," kata Ketua Kampung Bali Nansan, Se Poh.
Nantinya, pembangunan taman budaya itu akan dibentuk layaknya dekorasi khas Pulau Dewata, diantaranya desain ukiran hingga pernak-pernik yang biasanya ditemukan di Bali.
"Untuk dana saat ini tidak ada masalah, tetapi kami mencari materi sesuai dengan Bali itu yang susah agar kami tidak menyalahi adat istiadat Bali, seperti tenaga pengajar seni tari dan bahasa dari Bali," kata pria yang memiliki orang tua `berdarah` Temukus, Buleleng, Bali itu.
Oleh karena itu, ia berharap Pemerintah Provinsi Bali mungkin dapat mendukung keinginan mereka untuk mengobati kerinduan pada Bali, sekaligus mengenal budaya Bali pada generasi muda di sini. "Misalnya mengirim penari untuk mengajar di sini selama beberapa bulan. Ini juga dapat mendorong promosi pariwisata Bali," katanya.
Di kampung dengan luas lahan sekitar 2,5 kilometer persegi dan luas bangunan sekitar 15 ribu meter persegi tersebut saat ini dihuni sekitar 600 jiwa, 10 orang diantaranya merupakan orang asli Bali yang umumnya perempuan yang menikah dengan orang Tiongkok.
Saat memasuki Kampung Bali Nansan yang berada di kaki bukit Qingyuan di kota Quanzhou itu, nuansa unik terlihat dengan candi bentar khas Bali lengkap dengan "pelinggih" atau tempat pemujaan umat Hindu di kiri-kanan pintu gerbang.
"Saya senang tinggal di negara ini, karena jaminan pekerjaan, seperti saya yang kini pensiun dari departemen agrikultur (Fujian), tapi keinginan saya ke Bali untuk mengobati kerinduan itu terhalang penyakit jantung, karena itu saya ingin tarian, nyanyian, tradisi ritual, bahasa dan kuliner Bali berkembang di sini," ujar warga kampung setempat, Kwahosu (81). (*) ( https://www.obortimes.net/language/id/berita/ )
Video oleh Edy Ya'kub
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018
Pepatah itu diucapkan Zhao Chong saat diperintah oleh Kaisar Xuan untuk melawan Suku Qiang dari perbatasan barat yang menyerbu Negara Han.
Kaisar Xuan sempat menanyakan kepada Zhao Chong tentang berapa pasukan tambahan yang dibutuhkan, namun Zhao Chong berkata bahwa dirinya harus ke garis depan dulu.
Zhao Chong melakukan hal itu (datang sendiri ke garis depan) untuk melihat sendiri, meneliti keadaan bumi, menyelidiki posisi pasukan musuh.
Dengan informasi tersebut, Zhao Chong menyusun rencana peperangannya dan terbukti sangat sukses, sehingga ungkapannya pun dikenal.
Ungkapan "Lebih baik melihat sendiri sekali daripada mendengar seratus kali dari orang lain" itu berarti betapa pun banyak yang didengar belum tentu dapat dipercaya dibandingkan dengan melihat.
Itulah yang dibuktikan langsung oleh sejumlah jurnalis dari berbagai media massa di Indonesia (media dari Bali) yang melakukan "media visit" ke beberapa kota pada dua provinsi di Tiongkok pada 2-11 Mei 2018.
"Sebelum ke sini, saya menilai negeri ini (Tiongkok) sangat otoriter, karena memblokir media sosial (media komunikasi), seperti whatsapp, twitter, facebook, instagram, line, youtube," ucap seorang jurnalis.
Namun, setelah mengunjungi sejumlah lokasi terkait infrastruktur, media massa, dan objek wisata pada beberapa kota di Provinsi Fujian dan Zhejiang, ia akhirnya melihat "kemandirian".
Tidak hanya itu, aspek kemandirian yang diikhtiarkan masyarakat Negeri Panda itu juga melahirkan semangat belajar dan kedisiplinan untuk mewujudkan (kemandirian) itu.
"Sebenarnya, masyarakat sini juga banyak belajar ke Barat, seperti Eropa dan Amerika, namun tidak copy paste, melainkan tetap disesuaikan kondisi lokal," kata mantan Ketua Pusat Studi Indonesia di Universitas Guangdong, Prof Cai Jincheng MA.
Ahli bahasa dan budaya Indonesia yang dikenal dengan "nama Indonesia" sebagai Prof Gunawan MA itu menjelaskan belajar pada keunggulan lain dengan tetap menyesuaikan dengan kondisi lokal itulah yang mendorong tumbuhnya kemandirian.
"Saya yakin Indonesia juga memiliki potensi untuk maju bila banyak belajar kepada negara lain dengan tetap menyesuaikan dengan keunggulan bangsa sendiri, karena bangsa Tiongkok dan Indonesia itu memiliki kemiripan," ujarnya.
Sementara itu, jurnalis lain juga melihat sendiri tentang identitas "komunis" yang selama ini melekat pada Negeri Tiongkok, ternyata komunis itu tidak bermakna "tak ber-Tuhan".
"Saya menyaksikan sendiri bahwa gereja di sini juga ada, bahkan masjid juga ada. Klenteng atau kuil dan tempat ibadah agama lain juga ada," kata jurnalis yang beragama Hindu itu.
Menanggapi hal itu, Prof Gunawan yang mengaku `cinta` Indonesia, meski lahir di Tiongkok itu, menegaskan bahwa komunis itu lebih merupakan sistem politik yang tidak berdampak langsung pada masyarakat, karena masyarakat tidak mementingkan sistem politik, melainkan adanya jaminan kesejahteraan dalam sistem itu.
"Komunis itu dapat dimaknai sebagai bebas, baik bebas beragama maupun tidak. Artinya, agama tetap boleh berkembang," ungkap ahli bahasa dan budaya Indonesia yang datang pertama kali ke Indonesia pada 1997 dan terakhir kali datang ke Indonesia (Bali) pada 2014 itu.
Namun, perkembangan agama di Tiongkok itu berada dalam koridor "privacy" (non-publik). "Jadi, pelajaran agama itu tidak ada di sekolah, atau fasilitas publik tidak menyediakan tempat ibadah secara khusus, karena agama dan pendidikan agama hanya ada di kuil, gereja, masjid," katanya.
Diplomasi Kebudayaan
"Media visit" yang dilakukan sejumlah jurnalis atas undangan Konjen RRT Denpasar untuk "melihat" Tiongkok pada 2-11 Mei 2018 itu merupakan diplomasi kebudayaan yang menguatkan pepatah "melihat lebih baik daripada mendengar" itu.
"Saya ingin meningkatkan hubungan antarmasyarakat kedua negara guna mengenalkan potensi masing-masing (people to people)," kata Konsul Jenderal RRT di Denpasar Gou Haodong dalam audiensi dengan pimpinan dan jajaran redaksi LKBN Antara Biro Bali, 17 April 2018.
Selain mengajak jurnalis media massa di Bali untuk "melihat" Tiongkok, dirinya juga ingin mengundang wartawan Tiongkok untuk "melihat" Indonesia (Bali) agar dapat mengetahui keunggulan Pulau Dewata (Indonesia) secara langsung dan bukan mendengar dari orang lain yang kadang bias atau bahkan ada "bumbu" provokatif.
Baca juga: Konjen China Denpasar ingin tingkatkan hubungan antarmasyarakat
Hyperlink : https://www.obortimes.net/language/id/berita/
Diplomasi kebudayaan yang dapat dimaknai sebagai tukar menukar informasi untuk meningkatkan saling pengertian itu bisa berbentuk hubungan antar-publik dalam berbagai aspek, seperti media visit, kerja sama pendidikan, kursus bahasa, riset/penelitian bersama, tukar menukar karya seni (kesenian), dan banyak lagi.
"Kami seperti menjadi guru bagi mahasiswa lain di kampus, kami sering mengadakan festival untuk mengenalkan budaya dari sejumlah daerah di Indonesia," kata mahasiswi program bahasa mandarin dari Universitas Huaqiao, Ida Ayu Prema Savitri, kepada awak media dari Indonesia di kampus setempat, Xiamen, Fujian (3/5).
Baca juga: Konjen China kagumi masyarakat Bali menjaga budaya
Hyperlink : https://www.obortimes.net/language/id/berita/
Senada dengan itu, General Manajer "Media Grup Fujian" Zhuang Zhisong menilai kerja sama operasional (pertukaran berita) terkait kebudayaan itu penting untuk memperkuat hubungan antar-masyarakat kedua negara, sekaligus menunjukkan "keterbukaan" Tiongkok terhadap aspirasi (kritik) dari publik lewat "demokrasi" ala Timur.
"Secara khusus, kerja sama Indonesia dengan Provinsi Fujian itu penting, karena banyak warga keturunan Tionghoa di Indonesia berasal dari provinsi ini," katanya ketika menerima perwakilan sejumlah awak media dari Bali di Fuzhou, Provinsi Fujian (5/5).
Bahkan, katanya, sebelum Tiongkok bebas (merdeka) pun, warga Fujian sudah ada di sana (Indonesia). "Karena itu, program jalur sutera maritim dengan berbagai negara, termasuk Indonesia, tidak hanya perdagangan, tetapi juga pertukaran kebudayaan," ujarnya.
Baca juga: Media Fujian dorong kerja sama kebudayaan RI-Tiongkok
Yang menarik, diplomasi kebudayaan yang perlu ditingkatkan terus itu memiliki bentuk yang unik di Provinsi Fujian, Tiongkok, yakni keberadaan "Kampung Bali" di Nansan, Kecamatan Luojiang, Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok.
"Keberadaan Kampung Bali di Nansan ini dapat mendekatkan hubungan Indonesia-Tiongkok lebih erat, karena pentas kesenian di taman budaya desa kami akan mendorong masyarakat untuk berkunjung ke Bali," kata Ketua Perhimpunan Perantau Tionghoa, Chen Jin Hoa kepada awak media dari Bali (4/5).
Baca juga: Kampung Bali Nansan pererat hubungan Indonesia-China (video)
Ikhtiar warga Kampung Bali di Nansan menggagas Taman Budaya Bali itu mendapat dukungan anggaran dari Pemerintah Tiongkok sekitar 2,5 juta yuan untuk tahap pertama pembangunan taman seluas sekitar 5.000 meter persegi.
"Keinginan warga Tiongkok keturunan itu bertujuan mengenalkan seni budaya Pulau Dewata, karena mereka juga tidak ingin melupakan asal usul mereka yang lahir di Bali," kata Ketua Kampung Bali Nansan, Se Poh.
Nantinya, pembangunan taman budaya itu akan dibentuk layaknya dekorasi khas Pulau Dewata, diantaranya desain ukiran hingga pernak-pernik yang biasanya ditemukan di Bali.
"Untuk dana saat ini tidak ada masalah, tetapi kami mencari materi sesuai dengan Bali itu yang susah agar kami tidak menyalahi adat istiadat Bali, seperti tenaga pengajar seni tari dan bahasa dari Bali," kata pria yang memiliki orang tua `berdarah` Temukus, Buleleng, Bali itu.
Oleh karena itu, ia berharap Pemerintah Provinsi Bali mungkin dapat mendukung keinginan mereka untuk mengobati kerinduan pada Bali, sekaligus mengenal budaya Bali pada generasi muda di sini. "Misalnya mengirim penari untuk mengajar di sini selama beberapa bulan. Ini juga dapat mendorong promosi pariwisata Bali," katanya.
Di kampung dengan luas lahan sekitar 2,5 kilometer persegi dan luas bangunan sekitar 15 ribu meter persegi tersebut saat ini dihuni sekitar 600 jiwa, 10 orang diantaranya merupakan orang asli Bali yang umumnya perempuan yang menikah dengan orang Tiongkok.
Saat memasuki Kampung Bali Nansan yang berada di kaki bukit Qingyuan di kota Quanzhou itu, nuansa unik terlihat dengan candi bentar khas Bali lengkap dengan "pelinggih" atau tempat pemujaan umat Hindu di kiri-kanan pintu gerbang.
"Saya senang tinggal di negara ini, karena jaminan pekerjaan, seperti saya yang kini pensiun dari departemen agrikultur (Fujian), tapi keinginan saya ke Bali untuk mengobati kerinduan itu terhalang penyakit jantung, karena itu saya ingin tarian, nyanyian, tradisi ritual, bahasa dan kuliner Bali berkembang di sini," ujar warga kampung setempat, Kwahosu (81). (*) ( https://www.obortimes.net/language/id/berita/ )
Video oleh Edy Ya'kub
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2018