Jakarta (Antara Bali) - Pakar gizi yang juga Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria menyatakan adanya masyarakat yang kekurangan gizi adalah kerugian nilai ekonomi bagi suatu negara.
"Orang kekurangan gizi sebenarnya memiliki kerugian ekonomi, semakin banyak masyarakat kurang gizi semakin banyak kehilangan nilai ekonomi," kata Arif di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa rendahnya pemenuhan gizi pada masyarakat akan berdampak pada rendahnya produktivitas penduduk itu sendiri.
Arif yang juga merupakan rektor terpilih IPB periode 2017-2022 tersebut memaparkan gambaran kurangnya gizi mulai dari anak-anak yang berpengaruh pada proses pembelajarannya di sekolah.
Dia mengumpamakan seorang anak dengan kecukupan gizi yang bagus akan berdampak pada proses belajar yang baik dan berujung pada prestasi akademik yang tinggi.
Prestasi akademik tersebut akan menular pada prestasi di dunia kerja yang menghasilkan sumber daya manusia Indonesia berkualitas. Namun, apabila yang terjadi adalah anak yang kurang gizi maka dampak yang dihasilkan ialah sebaliknya.
Arif menyatakan memang pemenuhan gizi anak ini merupakan investasi jangka panjang yang dampaknya akan didapat 15 hingga 20 tahun kemudian. "Program gizi merupakan program investasi jangka panjang," kata dia.
Dia berharap para pengambil kebijakan bisa memandang isu mengenai gizi masyarakat tidak hanya dilihat dari masalah kesehatan, tetapi juga berpandangan lebih jauh dengan melihat dari sisi ekonomi.
"Kalau gizi ditempatkan dalam isu ekonomi, para pengambil kebijakan akan peduli betul karena dampaknya riil. Selama ini kan gizi dilihat hanya dari masalah kesehatan, padahal punya dampak ekonomi yang besar," jelas Arif.
Pemerintah saat ini tengah mengampanyekan program gizi seimbang melalui slogan "Isi Piringku". Slogan pengganti "4 Sehat 5 Sempurna" ini mementingkan agar masyarakat Indonesia lebih banyak makan buah dan sayur ditambah sumber protein dari ikan serta gerak aktivitas fisik setiap harinya.
Pemerintah juga masih berjuang menurunkan angka kekerdilan pada anak di bawah lima tahun yang masih di angka 27,5 persen, sementara Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas toleransi maksimal pada 20 persen. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Orang kekurangan gizi sebenarnya memiliki kerugian ekonomi, semakin banyak masyarakat kurang gizi semakin banyak kehilangan nilai ekonomi," kata Arif di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa rendahnya pemenuhan gizi pada masyarakat akan berdampak pada rendahnya produktivitas penduduk itu sendiri.
Arif yang juga merupakan rektor terpilih IPB periode 2017-2022 tersebut memaparkan gambaran kurangnya gizi mulai dari anak-anak yang berpengaruh pada proses pembelajarannya di sekolah.
Dia mengumpamakan seorang anak dengan kecukupan gizi yang bagus akan berdampak pada proses belajar yang baik dan berujung pada prestasi akademik yang tinggi.
Prestasi akademik tersebut akan menular pada prestasi di dunia kerja yang menghasilkan sumber daya manusia Indonesia berkualitas. Namun, apabila yang terjadi adalah anak yang kurang gizi maka dampak yang dihasilkan ialah sebaliknya.
Arif menyatakan memang pemenuhan gizi anak ini merupakan investasi jangka panjang yang dampaknya akan didapat 15 hingga 20 tahun kemudian. "Program gizi merupakan program investasi jangka panjang," kata dia.
Dia berharap para pengambil kebijakan bisa memandang isu mengenai gizi masyarakat tidak hanya dilihat dari masalah kesehatan, tetapi juga berpandangan lebih jauh dengan melihat dari sisi ekonomi.
"Kalau gizi ditempatkan dalam isu ekonomi, para pengambil kebijakan akan peduli betul karena dampaknya riil. Selama ini kan gizi dilihat hanya dari masalah kesehatan, padahal punya dampak ekonomi yang besar," jelas Arif.
Pemerintah saat ini tengah mengampanyekan program gizi seimbang melalui slogan "Isi Piringku". Slogan pengganti "4 Sehat 5 Sempurna" ini mementingkan agar masyarakat Indonesia lebih banyak makan buah dan sayur ditambah sumber protein dari ikan serta gerak aktivitas fisik setiap harinya.
Pemerintah juga masih berjuang menurunkan angka kekerdilan pada anak di bawah lima tahun yang masih di angka 27,5 persen, sementara Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas toleransi maksimal pada 20 persen. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017