Senandung lagu Adelle bertajuk 'Someone Like You', mengalun pada malam perhelatan pesta di sebuah resort Ubud, Gianyar, namun nadanya agak beda.

Ya, iramanya terdengar istimewa, karena tersaji dengan gaya musik keroncong. Lagu penyanyi asal Inggris itu membahana merdu sesuai langgam keroncong, menelusup pada malam terang bulan di pedesaan Ubud.

"I'll find someone like you - I wish nothing but the best for you too - Don't forget me, I begged - I'll remember, you said - Sometimes it lasts in love - But sometimes it hurts instead - Sometimes it lasts in love ... "

Menariknya, para tamu undangan pesta ini yang mayoritas wisatawan asing, justru terlihat larut. Sejumlah tamu asing lantas berdansa dengan penuh penghayatan dan sangat menikmati lagu 'Someone Like You' dengan cita rasa keroncong ini.

"Wisatawan asing yang berasal dari Australia, Amerika Serikat, Jepang, Italia, Perancis, Jerman dan masih banyak dari negara asing lain, selalu nampak antusias kalau mendengar musik keroncong yang kami bawakan di berbagai kegiatan," ujar Ramang Kristian, pendiri  Raos Seni, sebuah grup kesenian musik keroncong yang berbasis di wilayah Pantai Saba, Gianyar.

Raos Seni didirikan pada tahun 2011. Grup kesenian ini dinakhodai Ramang, dengan anggota Ambar/Dewi (vokal), Joko (flute), Nanang (cak), Wawan (biola), Supri (cello), Agus Suhariyadi (melodi), dan Agus ES (bass). Semua pemain musik ini berasal dari Solo, Jawa Tengah.

Menurut Ramang, selama ini Raos Seni banyak menerima undangan untuk tampil membawakan lagu-lagu keroncong pada acara pernikahan atau pesta yang diselenggarakan hotel, resort, atau memeriahkan kegiatan instansi pemerintahan.

Sejak awal dibentuk, grup ini selalu menjaga konsistensi untuk membawakan lagu-lagu keroncong dengan iringan alat musik yang lengkap.

"Raos Seni selalu konsisten menjaga kualitas musik keroncong. Kalau grup kesenian lain ada yang diminimalkan hingga tidak tampil dengan alat musik lengkap, tetapi tidak demikian halnya dengan Raos Seni. Syukurnya, konsistensi ini justru dihargai penikmat musik tradisional," ujarnya.

Pria berusia 46 tahun ini menceritakan dibentuknya Raos Seni berawal sebagai wadah bagi seniman musik keroncong di Bali. Pembentukan grup kesenian ini sekaligus memiliki misi untuk memancing generasi muda, supaya tergerak menggeluti musik tradisional keroncong, yang merupakan merupakan kesenian tradisional di Indonesia.

Langkah untuk memancing minat anak-anak muda, ucap Ramang, antara lain dengan membawakan lagu-lagu yang sedang hits untuk ditampilkan dalam versi keroncong. Upaya ini cukup berhasil, terbukti dalam setiap pementasan nyaris selalu ada generasi muda yang memperlihatkan antusiasme pada musik keroncong.

Misi lain yang dibidik Raos Seni adalah agar musik keroncong dapat 'go international' dan lebih banyak diterima penduduk dunia. Pengharapan ini agaknya mulai bersambut. Terbukti ketika mengakhiri penampilan pada tiap kali pementasan, tepuk tangan membahana senantiasa mengiringi ketika Raos Seni undur diri dari panggung.

Demi meningkatkan nilai profesionalisme dalam bermusik, Raos Seni sengaja berlatih lagu dari berbagai negara sebelum berpentas. Ini dikarenakan setiap pentas, audiens asing sering memesan lagu tertentu, sesuai asal negara masing-masing.

"Setiap pentas menghabiskan 2-3 jam dengan menampilkan 20-an lagu. Lagu favorit biasanya 'Over the Rainbow, My Heart Will Go On, Jali-Jali, dan lagu daerah Indonesia. Misalnya, lagu Bali Bungan Sandat dan Selem-Selem Manis pun banyak peminat," ucapnya.

Ramang yang pernah menjadi pengurus Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI) Surakarta periode 1998-2002 itu menambahkan tiap kali berpentas Raos Seni umumnya mendapat honor Rp4-5 juta.

Namun, terlepas dari sisi komersial, Raos Seni bertekad untuk terus melestarikan dan membudayakan kesenian musik keroncong sebagai genre budaya Indonesia supaya dapat terus eksis dan memiliki regenerasi. Menjaga eksistensi musik keroncong, bagi Raos Seni merupakan bagian perjuangan untuk menyelamatkannya agar tidak sampai tinggal cerita di belakang hari.

"Dahulu ketika ada tragedi bom Bali, perkembangan musik keroncong di Bali menjadi mati suri. Sejak tahun 2001, musik ini menjadi stagnan. Baru sejak tahun 2007, mulai ada tawaran-tawaran untuk manggung kembali sampai sekarang," katanya.

Meski sempat mengalami mati suri, saat itu Ramang tidak pernah terpikir untuk meninggalkan kesenian keroncong. Baginya, musik keroncong merupakan bagian dari jiwanya, karena keluarganya memang pencinta musik keroncong. Darah seniman sebagai pemusik keroncong telah mengalirinya, sehingga Ramang bertekad untuk terus menjaga kelangsungan hidup kesenian ini.

"Bagaimanapun kondisi di masyarakat, bagi Raos Seni, seni keroncong harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Ini bukan semata-mata untuk mencari rezeki, tapi sebagai wujud bakti pada negara sehingga sebagai seniman maka menjaga kehidupan musik keroncong adalah hal yang kami pertahankan sampai kapanpun," ujarnya.

Musik Para Pelaut

Mengutip beberapa sumber resmi, musik keroncong disebut-sebut sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Musik ini dibawa dan kemudian diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal dagang bangsa Portugis sejak abad ke-16 ke wilayah Nusantara.

Di Indonesia, keroncong berakulturasi dengan budaya lokal, sehingga melibatkan unsur alat musik seruling dan komponen gamelan. Pada tahun 1950-an, musik keroncong sempat berjaya di Tanah Air sebagai hiburan yang diterima segenap lapisan masyarakat.

Tokoh yang dianggap berjasa mengangkat nama musik keroncong adalah Gesang dengan karya masterpiece "Bengawan Solo". Gesang dijuluki sebagai "Buaya Keroncong" karena keaktifannya mempopulerkan musik ini ke wilayah Solo dan sekitarnya.

Tokoh lain yang memiliki keterkaitan erat dengan musik keroncong adalah penyanyi legendaris Waldjinah, yang dikenal sebagai "Ratu Keroncong". Lagu Waldjinah yang sempat melejit adalah Walang Kekek dan Yen Ing Tawang Ono Lintang.

Namun, belakangan panggung musik Indonesia lebih didominasi musik modern dan keroncong seperti hanya terpinggirkan di hati penggemarnya dan musik keroncong perlahan-lahan menjadi agak redup pamornya pada era kini.  

Meski menyadari merosotnya pamor musik keroncong, namun salah satu vokalis Raos Seni Ambar Sulistyo Kristian menyebutkan, dirinya tetap tidak akan berpindah haluan dengan menyeberang menjadi penyanyi dari genre musik lain.

Menurut Ambar yang pernah beberapa kali menjuarai perlombaan musik keroncong ini, ketertarikannya menggeluti seni keroncong karena 'background' keluarganya adalah seniman musik tradisional ini. Ayahnya, Ry Soegiyanto pernah menjabat sebagai Ketua HAMKRI, sebelum kemudian digantikan penyanyi Waldjinah.

"Ayah adalah pemain biola keroncong di Solo. Otomatis sejak kecil saya sudah biasa mendengarkan musik keroncong di lingkungan rumah. Kemudian saya belajar cara menyanyi keroncong dengan benar. Dari sinilah, jiwa bermusik keroncong itu tetap ada dan menyatu kemanapun saya pergi," ujar Ambar.

Ketika meninggalkan tanah kelahiran Solo, hingga kemudian bergabung dengan Raos Seni, Ambar lantas merasakan pengalaman yang berbeda. Khususnya saat kemudian tampil di berbagai daerah di Bali. Tuntutan sebagai pekerja seni di Bali, mengharuskan seniman menguasai banyak hal, selain bidang yang menjadi spesialisasinya.

Misalnya, Ambar yang sejak awal menyatakan diri sebagai seniman keroncong. Namun wanita ini tetap dituntut mampu menguasai genre aliran musik lain, sebagai tuntutan totalitas seorang seniman. Hal ini tentu berbeda keadaannya dengan ketika masih tinggal di Solo, di mana dia hanya khusus menyanyikan lagu beraliran keroncong saja.

"Meski ada perbedaan, tapi saya tidak menganggapnya sebagai tantangan besar. Justru membuat saya lebih banyak belajar lagi. Dan pengalaman menggetarkan ketika melihat penonton orang asing yang begitu antusias menyaksikan suguhan musik keroncong, itu hal luar biasa yang tidak tergantikan dengan apapun. Ternyata, masih banyak yang mengapresiasi musik keroncong," tuturnya. (*)

-----------------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.

Pewarta: Tri Vivi Suryani *)

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017