Mengarungi biduk kehidupan yang benar-benar terbanting-banting hingga batas terbawah, menjadikan seorang Wiwik Rusfendi terlecut bangkit dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk keluar dari jerat kemiskinan yang berpuluh tahun menderanya.

"Ayah saya seorang guru SD dan ibu membuka warung nasi kecil. Namun untuk menghidupi dan menyekolahkan ketiga anaknya, termasuk saya, benar-benar perjuangan berat," ujar pria kelahiran Pati, Jawa Tengah, 46 tahun silam itu.

Meski demikian, Wiwik tak patah arang dan terus bertekad melanjutkan sekolah. Sampai-sampai, ketika kuliah di Universitas Janabadra, Yogyakarta, Wiwik menjadi penyanyi kafe untuk menghidupi diri.

Saat itu, bayaran penyanyi kafe ialah Rp25 ribu sekali pentas. Bayaran ini bagi Wiwik tidak mencukupi untuk biaya kuliah, sehingga ia banting setir menjadi sopir taksi.

Kehidupan menjadi sopir taksi dijalani selama tiga tahun, sampai akhirnya ia lulus menjadi sarjana ekonomi dan kemudian memutuskan beralih pekerjaan.

Pekerjaan yang akhirnya dipilih Wiwik adalah menjadi salesman. Hal ini dikarenakan IPK yang didapatkan tergolong kurang memuaskan, sehingga ia tidak memiliki keberanian untuk melamar pekerjaan yang lebih sesuai dengan ijazahnya sebagai sarjana ekonomi.

Semasa menjadi salesman, pria ini banyak belajar mengenai strategi pemasaran. Pada titik ini, Wiwik benar-benar mengalami kemelaratan. Ketika harus berjalan menjajakan produk dan mengetuk rumah, hanya anjing yang menyambut. Tidak jarang pula, ia terdera kehausan dan kelaparan.

Tanpa menyerah, Wiwik kemudian menjajal menjadi pelaku usaha dengan berjualan buku agama dan pigura dari kuningan di wilayah Balikpapan, Kalimantan Timur. Sembari menjadi pelaku usaha, Wiwik rajin membaca buku motivasi dan sering mengikuti seminar motivasi.

"Saya pernah mengikuti saran motivator untuk membuka usaha dengan modal utang. Saran ini benar-benar saya lakukan. Dan akibatnya usaha menjadi bangkrut, karena saya cuma diajari berutang. Namun tidak diajari cara atau trik membayar utang itu," ujarnya.

Meski gagal menjalankan usaha bermodal hutang, tapi setidaknya ada hikmah yang dipetik Wiwik yang berkali-kali menjadi pembicara seminar yang diadakan instansi dan UMKM itu.

Salah seorang rekan seminar menyarankan agar mencoba usaha dengan mengimpor barang langsung dari Tiongkok, kemudian dipasarkan di Indonesia.

Meski saat itu Wiwik tidak menguasai teknik komputer dan betul-betul gagap teknologi, tetapi ia tetap kukuh dengan keyakinannya. Akhirnya ia  belajar tuntas cara mendatangkan barang dari Tiongkok secara 'learning by doing'. Tidak ada yang mengajari. Ini berawal dari keinginan ingin lepas dari kemiskinan.

"Barangkali lebih tepatnya, ada dendam sosial karena saya pernah berutang sana-sini ketika anak opname. Saya pinjam uang keliling sebesar Rp1 juta. Tidak ada yang memercayai dan tak ada yang meminjami uang. Saat itulah saya bertekad harus keluar dari jerat kemiskinan, dan ternyata mendatangkan barang dari Tiongkok adalah solusinya," katanya.


Tertipu Ratusan Juta

Ketika mengawali usaha di bidang impor, banyak kendala yang dihadapi Wiwik, di antaranya, kendala bahasa, tidak mempunyai 'link' dan minimnya modal.

Saat mulai bisa mendatangkan produk dari Tiongkok, Wiwik masih menghadapi cobaan. Ia tertipu sebesar Rp300 juta. Akan tetapi kejadian ini tidak membuatnya jera, hanya menjadikan Wiwik lebih waspada dalam berbisnis.

"Sudah berbagai macam produk saya datangkan. Seperti panci, kompor, korset wanita, pen Al-Quran, dan lainnya. Namun belakangan saya lebih fokus memasok ke pabrik. Sudah ada empat pabrik di Jawa dan Bali yang sudah saya pasok," tutur ayah satu putra ini.

Bahkan, lanjut Wiwik, tak hanya sekadar mengimpor produk dari Tiongkok saja. Dirinya pun mengekspor biji-biji plastik ke negeri Tirai Bambu itu. Dia berharap, ke depan makin banyak produk dalam negeri yang diekspor ke Tiongkok.

Dia menambahkan, selama perjalanan usaha berbisnis dengan pihak Tiongkok, tidak sedikit 'bully' atau suara miring yang diterimanya, seperti tidak nasionalis atau mematikan produk dalam negeri.

Meski demikian, Wiwik tidak gentar dan terus melaju dengan usahanya yang kini makin berkembang. Justru, perspektif yang benar adalah sebuah negara itu bisa berkembang jika perekonomiannya terbuka.

Contoh konkret, masyarakat negara Singapura itu berlomba-lomba mendatangkan produk dari luar, kemudian diekspor lagi ke negara lain. Ini justru menjadikan sebagian besar penduduk Singapura kian makmur.

Tanpa bermaksud mengeluh, Wiwik menekankan jika langkah bisnis di dalam negeri masih banyak terganjal birokrasi atau perizinan, karena satu barang atau produk itu memiliki keterkaitan perizinan dengan empat departemen, maka kendala itulah yang menjadi ganjalan sejumlah pelaku usaha untuk mengembangkan diri.

Sebagai langkah dukungan terhadap wirausaha-wirausaha muda, maka Wiwik mendirikan International Trade Agency (ITA). Gagasan pembentukan ITA sudah sejak 2012, namun akhirnya diresmikan pada awal tahun ini.

ITA merupakan lembaga pelatihan bisnis, yang kini sudah memiliki sekitar 3.000 member di berbagai kota di Indonesia. Ribuan member ini dilatih untuk bisa aktif menjadi pelaku usaha yang melakukan impor atau ekspor, dan turut mewarnai perkembangan dunia wirausaha Tanah Air.

"Jadi mulai sekarang ubah paradigma jika mengimpor itu merupakan langkah yang tidak nasionalis. Saya tetap berkeyakinan, produk impor tidak akan bisa mengalahkan produk lokal, selama pemerintah memberikan support," tegasnya. (*)

-----------
*) Penulis adalah penulis artikel lepas yang tinggal di Bali.

Pewarta: Tri Vivi Suryani *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017