Denpasar (Antara Bali) - Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKP) Bali, I Putu Armaya SH meminta PT Pertamina harus jujur dan transparan dalam pengadaan dan penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium.
"Pertamina harus jujur dan transparan mengenai ketersediaan BBM jenis Premium. Tidak boleh dihilangkan sama sekali atau tidak dijual, walaupun sekarang konsumen sudah banyak yang beralih ke BBM jenis Pertalite dan Pertamax yang kandungan oktannya jauh lebih bagus," kata Armaya saat di konfirmasi, di Denpasar, Senin.
Menurut dia, Pertamina tidak boleh memaksa untuk konsumen membeli Pertamax atau Pertalite dengan cara sengaja menghilangkan jenis BBM Premium di pasaran.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya di Pasal 4, bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan," katanya.
Ia mengatakan jika konsumen masih menginginkan Premium harus tetap disediakan, apalagi konsumen yang tinggal di pedesaan dengan memiliki daya beli yang sangat rendah. Jadi tidak boleh SPBU sampai sama sekali tidak menyediakan Premium.
"Bila sampai SPBU di Bali tidak lagi menyediakan Premium, saya akan menuntut Pertamina secara hukum," kata Armaya, yang juga sebagai Advokat di Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Cabang Denpasar.
Ia mengatakan kebijakan Pertamina menghilangkan Premiun, artinya telah terjadi pelanggaran Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM dengan daerah terpencil (tertinggal, pedalaman, terluar) termasuk wilayah kepulauan.
Disamping itu, kata dia, SPBU di Bali diharapkan ke depan memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap konsumen, terlebih Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia.
"Saya banyak mendapatkan laporan dari konsumen masih sering ditipu saat membeli BBM di SPBU, modusnya klasik, pengurangan nilai saat membeli BBM baik nilai uang Rp50 maupun Rp100, kalau dikalikan jutaan konsumen di Bali saja, berapa kerugian konsumen tersebut. Di samping itu juga masih banyak pelayanan petugas SPBU yang belum ramah, dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan," ucapnya.
Armaya lebih lanjut mengatakan, bahkan juga ada meteran Di SPBU yang kurang jelas alias kusam dan tidak diganti sehingga saat konsumen membeli BBM konsumen tidak melihat dengan jelas nilai rupiah yang dikeluarkan.
"Kenyataan ini pelanggaran berat buat pengelola SPBU, bahkan dari aspek hukum konsumen bisa menggugat SPBU dan Pertamina jika ada pelayanan kurang maksimal, apakah meteran kurang jelas, dan yang lainnya. Tindakan itu diancam sanksi pidana penjara lima tahun dan denda Rp2 miliar sesuai Undang undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999," ucapnya.
Menurut Armaya, rata-rata pengaduan warga masyarakat terhadap SPBU di Bali sekitar 130 pengaduan setiap tahunnya.
"Padahal kenyataan di lapangan dari laporan yang disampaikan warga masyarakat kemungkinan lebih banyak. Cuma warga lebih banyak enggan untuk melaporkan kepada kami," katanya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Pertamina harus jujur dan transparan mengenai ketersediaan BBM jenis Premium. Tidak boleh dihilangkan sama sekali atau tidak dijual, walaupun sekarang konsumen sudah banyak yang beralih ke BBM jenis Pertalite dan Pertamax yang kandungan oktannya jauh lebih bagus," kata Armaya saat di konfirmasi, di Denpasar, Senin.
Menurut dia, Pertamina tidak boleh memaksa untuk konsumen membeli Pertamax atau Pertalite dengan cara sengaja menghilangkan jenis BBM Premium di pasaran.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya di Pasal 4, bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan," katanya.
Ia mengatakan jika konsumen masih menginginkan Premium harus tetap disediakan, apalagi konsumen yang tinggal di pedesaan dengan memiliki daya beli yang sangat rendah. Jadi tidak boleh SPBU sampai sama sekali tidak menyediakan Premium.
"Bila sampai SPBU di Bali tidak lagi menyediakan Premium, saya akan menuntut Pertamina secara hukum," kata Armaya, yang juga sebagai Advokat di Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Cabang Denpasar.
Ia mengatakan kebijakan Pertamina menghilangkan Premiun, artinya telah terjadi pelanggaran Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual BBM dengan daerah terpencil (tertinggal, pedalaman, terluar) termasuk wilayah kepulauan.
Disamping itu, kata dia, SPBU di Bali diharapkan ke depan memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap konsumen, terlebih Bali sebagai daerah tujuan pariwisata dunia.
"Saya banyak mendapatkan laporan dari konsumen masih sering ditipu saat membeli BBM di SPBU, modusnya klasik, pengurangan nilai saat membeli BBM baik nilai uang Rp50 maupun Rp100, kalau dikalikan jutaan konsumen di Bali saja, berapa kerugian konsumen tersebut. Di samping itu juga masih banyak pelayanan petugas SPBU yang belum ramah, dan acuh tak acuh dalam memberikan pelayanan," ucapnya.
Armaya lebih lanjut mengatakan, bahkan juga ada meteran Di SPBU yang kurang jelas alias kusam dan tidak diganti sehingga saat konsumen membeli BBM konsumen tidak melihat dengan jelas nilai rupiah yang dikeluarkan.
"Kenyataan ini pelanggaran berat buat pengelola SPBU, bahkan dari aspek hukum konsumen bisa menggugat SPBU dan Pertamina jika ada pelayanan kurang maksimal, apakah meteran kurang jelas, dan yang lainnya. Tindakan itu diancam sanksi pidana penjara lima tahun dan denda Rp2 miliar sesuai Undang undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999," ucapnya.
Menurut Armaya, rata-rata pengaduan warga masyarakat terhadap SPBU di Bali sekitar 130 pengaduan setiap tahunnya.
"Padahal kenyataan di lapangan dari laporan yang disampaikan warga masyarakat kemungkinan lebih banyak. Cuma warga lebih banyak enggan untuk melaporkan kepada kami," katanya.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017