Denpasar (Antara Bali) - Gubernur Bali Made Mangku Pastika meminta Rancangan Peraturan Daerah tentang Bendega (Nelayan) yang merupakan inisiatif DPRD provinsi setempat dikaji lebih mendalam.
"Berkenaan dengan Ranperda tentang Bendega tentunya masih perlu bersama-sama kita lakukan pembahasan secara lebih mendalam. Kita kaji kembali bersama-sama," kata Pastika saat menyampaikan Pendapat Gubernur mengenai Ranperda Provinsi Bali tentang Bendega, di Denpasar, Senin.
Dia mengemukakan, Undang-Undang Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam sesuai urusan yang menjadi kewenangan provinsi.
"Untuk itu, seyogyanya subtansi materi muatan yang diatur dalam ranperda hendaknya mengacu pada undang-undang dimaksud, dengan tetap mengadopsi nilai-nilai luhur kearifan lokal di bidang perikanan," ujar Pastika.
Di samping itu, dalam rapat paripurna tersebut, dia juga menyampaikan beberapa masukan bagi penyempurnaan aspek substansi dan aspek legal drafting Raperda Bendega.
Diantaranya perlunya dilakukan pengkajian kembali terhadap keberadaan dan jumlah populasi bendega (nelayan) yang berkaitan dengan implementasi konsep Tri Hita Karana (tiga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan lingkungan) serta pengertian bendega.
"Pengertian bendega itu apakah nelayan ataukah lembaga. Kalau nelayan, ini sebagian besar di Bali justru bukan beragama Hindu," ujarnya.
Hal itu, lanjut dia, berpengaruh terhadap implementasi Tri Hita Karana karena ada Pura Segara yang berkaitan erat dengan nelayan. Pastika mencontohkan di desa kelahirannya di Kabupaten Buleleng, mayoritas nelayan beragama Islam, sehingga Pura Segara menjadi tanggung jawab desa pakraman (desa adat).
"Di draft ini juga perlu dipertegas, dari sisi `palemahan` atau wilayahnya. Palemahannya `kan laut, apa bisa laut dibatasi? Misalnya nelayan dari Kabupaten Jembrana mengambil ikan di Tabanan bagaimana?" ucapnya mempertanyakan.
Pastika juga meminta agar penyusunan raperda mengacu pada teknis penyusunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Meskipun masih banyak hal yang perlu dilakukan pengkajian, Pastika menandaskan bukan berarti lantas mengatakan ranperda tersebut tidak cocok. "Mari kita rundingkan lebih jauh dan lebih dalam," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
"Berkenaan dengan Ranperda tentang Bendega tentunya masih perlu bersama-sama kita lakukan pembahasan secara lebih mendalam. Kita kaji kembali bersama-sama," kata Pastika saat menyampaikan Pendapat Gubernur mengenai Ranperda Provinsi Bali tentang Bendega, di Denpasar, Senin.
Dia mengemukakan, Undang-Undang Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam sesuai urusan yang menjadi kewenangan provinsi.
"Untuk itu, seyogyanya subtansi materi muatan yang diatur dalam ranperda hendaknya mengacu pada undang-undang dimaksud, dengan tetap mengadopsi nilai-nilai luhur kearifan lokal di bidang perikanan," ujar Pastika.
Di samping itu, dalam rapat paripurna tersebut, dia juga menyampaikan beberapa masukan bagi penyempurnaan aspek substansi dan aspek legal drafting Raperda Bendega.
Diantaranya perlunya dilakukan pengkajian kembali terhadap keberadaan dan jumlah populasi bendega (nelayan) yang berkaitan dengan implementasi konsep Tri Hita Karana (tiga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama dan lingkungan) serta pengertian bendega.
"Pengertian bendega itu apakah nelayan ataukah lembaga. Kalau nelayan, ini sebagian besar di Bali justru bukan beragama Hindu," ujarnya.
Hal itu, lanjut dia, berpengaruh terhadap implementasi Tri Hita Karana karena ada Pura Segara yang berkaitan erat dengan nelayan. Pastika mencontohkan di desa kelahirannya di Kabupaten Buleleng, mayoritas nelayan beragama Islam, sehingga Pura Segara menjadi tanggung jawab desa pakraman (desa adat).
"Di draft ini juga perlu dipertegas, dari sisi `palemahan` atau wilayahnya. Palemahannya `kan laut, apa bisa laut dibatasi? Misalnya nelayan dari Kabupaten Jembrana mengambil ikan di Tabanan bagaimana?" ucapnya mempertanyakan.
Pastika juga meminta agar penyusunan raperda mengacu pada teknis penyusunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Meskipun masih banyak hal yang perlu dilakukan pengkajian, Pastika menandaskan bukan berarti lantas mengatakan ranperda tersebut tidak cocok. "Mari kita rundingkan lebih jauh dan lebih dalam," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017