Tertangkapnya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini karena diduga menerima suap dinilai menjadi gerbang baru untuk menelisik lebih dalam mengenai adanya kepentingan mafia dalam undang-undang peternakan di Indonesia.
Tidak kunjung keluarnya uji materi Undang-undang nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK, mengindikasikan adanya penyusupan kepentingan mafia impor daging dalam tubuh lembaga yudikatif itu.
Para peternak menggugat undang-undang itu karena memang sangat membahayakan bagi mereka serta bagi masyarakat yang nantinya mengonsumsi daging impor tersebut.
Undang undang itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", di mana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) perihal terbebasnya hewan ternak dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti impor kerbau dari India.
Dibukanya ruang impor dari zona merah itu membuat harga beli ternak sangat murah. Para importir ternak itu menjual ternak di Indonesia dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "Country Based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru.
Jika menggunakan aturan lama, maka harga belinya lebih tinggi, sehingga keuntungan importir lebih kecil dibandingkan dengan membeli hewan dari zona merah.
Dalam posisi ini MK memiliki posisi tawar untuk memperlambat gugatan peternak agar tidak segera dilakukannya Uji Materi atau "Judicial Review" yang sebenarnya telah dimasukkan ke MK pada 16 Oktober 2015.
Mafia impor itu kemudian mendatangi hakim di MK dan mempengaruhi pejabat di sana agar gugatan peternak tersebut bisa dijegal. Jadi, sebenarnya Undang-undang nomor 41 tahun 2014 adalah sebuah konspirasi yang menyediakan perlindungan kepada mafia impor pangan.
Pemerintah pun seakan tidak peduli pada kesehatan masyarakat yang nantinya akan mengonsumsi daging impor yang belum terbebas dari PMK, seperti penyakit Antraks. Di sisi lain, tata niaga daging nasional juga akan terganggu akibat dibukanya kran impor dengan harga yang super murah.
Sejatinya ini merupakan kejahatan kemanusiaaan yang luar biasa, karena impor "Zone Based" itu bukan hanya akan membahayakan kesehatan peternak lokal, melainkan juga membahayakan kesehatan konsumen daging ternak impor itu.
Oleh karena itu pemerintah diharapkan tidak lagi melakukan impor daging berdasarkan "Zone Based" serta berharap agar kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada ranah kebijakan terkait impor ternak itu bisa diusut hingga tuntas. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Tidak kunjung keluarnya uji materi Undang-undang nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK, mengindikasikan adanya penyusupan kepentingan mafia impor daging dalam tubuh lembaga yudikatif itu.
Para peternak menggugat undang-undang itu karena memang sangat membahayakan bagi mereka serta bagi masyarakat yang nantinya mengonsumsi daging impor tersebut.
Undang undang itu mengatur bahwa impor daging bisa dilakukan dari negara "Zone Based", di mana impor bisa dilakukan dari negara yang sebenarnya masuk dalam zona merah (berbahaya) perihal terbebasnya hewan ternak dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), seperti impor kerbau dari India.
Dibukanya ruang impor dari zona merah itu membuat harga beli ternak sangat murah. Para importir ternak itu menjual ternak di Indonesia dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
Ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yakni "Country Based" yang hanya membuka impor dari negara-negara yang sudah terbebas dari PMK seperti Australia dan Selandia Baru.
Jika menggunakan aturan lama, maka harga belinya lebih tinggi, sehingga keuntungan importir lebih kecil dibandingkan dengan membeli hewan dari zona merah.
Dalam posisi ini MK memiliki posisi tawar untuk memperlambat gugatan peternak agar tidak segera dilakukannya Uji Materi atau "Judicial Review" yang sebenarnya telah dimasukkan ke MK pada 16 Oktober 2015.
Mafia impor itu kemudian mendatangi hakim di MK dan mempengaruhi pejabat di sana agar gugatan peternak tersebut bisa dijegal. Jadi, sebenarnya Undang-undang nomor 41 tahun 2014 adalah sebuah konspirasi yang menyediakan perlindungan kepada mafia impor pangan.
Pemerintah pun seakan tidak peduli pada kesehatan masyarakat yang nantinya akan mengonsumsi daging impor yang belum terbebas dari PMK, seperti penyakit Antraks. Di sisi lain, tata niaga daging nasional juga akan terganggu akibat dibukanya kran impor dengan harga yang super murah.
Sejatinya ini merupakan kejahatan kemanusiaaan yang luar biasa, karena impor "Zone Based" itu bukan hanya akan membahayakan kesehatan peternak lokal, melainkan juga membahayakan kesehatan konsumen daging ternak impor itu.
Oleh karena itu pemerintah diharapkan tidak lagi melakukan impor daging berdasarkan "Zone Based" serta berharap agar kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada ranah kebijakan terkait impor ternak itu bisa diusut hingga tuntas. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017