Mengwi (Antara Bali) - Sebagai salah satu cara untuk merayakan hari Raya Kuningan umat Hindu Bali, tradisi "Makotek" yang dipercaya sebagai penolak bala oleh warga Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung secara turun temurun hingga kini masih tetap dilakukan.
Ketua Kertha Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Ida Bagus Gede Mahadewa mengatakan tradisi makotek merupakan tradisi yang dilakukan setiap hari raya Kuningan serta dipercaya dapat menjauhkan segala bentuk bencana.
"Tradisi ini sudah lama ada dan pernah ditiadakan, tapi kemudian ada bencana menimpa warga kami, bahkan tiba-tiba ada belasan orang warga meninggal," katanya, Sabtu.
Lanjutnya, "Setelah peristiwa itu, tradisi ini kemudian dilakukan kembali oleh warga Desa Munggu, namun tidak menggunakan tombak, melainkan dengan kayu,".
Selain itu, tradisi makotek juga merupakan tradisi untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan kerajaan Blambangan dari Banyuwangi saat itu.
Tradisi ini disebut makotek lantaran berawal dari suara kayu-kayu yang saling bertabrakan ketika kayu-kayu tersebut disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut keatas.
"Makotek karena timbul dari suara kayu-kayu yang digabung jadi satu, bunyinya tek.. tek.. tek.. Sebenarnya dulu tradisi ini bernama grebek yang artinya saling dorong," jelasnya.
Dalam tradisinya, perang makotek ini dilakukan oleh sekitar ratusan kaum laki-laki yang berasal dari Desa Munggu. Mereka rata-rata berumur 13 hingga 60 tahun.
Sebelum memulai atraksi ini peserta terlebih dahulu melakukan persembahyangan bersama di Pura desa, dengan dipercikkan air suci.
"Atraksi ini ada pantangannya. Peserta yang ikut tidak boleh ada yang keluarganya sedang meninggal, dan istrinya melahirkan," ujarnya.
Dalam permainannya, ratusan kayu-kayu tersebut masing-masing dipegang oleh para laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut. Kemudian salah satu dari pemuda yang merasa tertantang pun harus menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.
Di sisi lain dengan cara yang sama, ratusan orang dengan kayu-kayu tersebut juga disatukan hingga berbentuk kerucut, dan dinaiki oleh salah seorang pemuda. Kedua kelompok dengan masing-masing kayu tersebut kemudian dipertemukan untuk berperang layaknya panglima perang.
Meski cukup berbahaya karena banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap dianggap menyenangkan dengan banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik.
Tradisi yang selalu dilakukan pada sore hari tersebut sempat menutup jalan selama beberapa jam ketika tradisi berjalan.(*)