Denpasar (Antara Bali) - Kasus kekerasan anak belakangan ini sering mewarnai kehidupan masyarakat, hal tersebut menambah sederet permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Bahkan kisah tragis tewasnya seorang bocah bernama Angeline (8), akibat perbuatan kekerasan yang dilakukan ibu angkatnya Margriet Christina Megawe merupakan sebuah potret kelam bagi dunia anak-anak.
Kisah ibu angkat yang tega menghabisi putri kecilnya hanya karena permasalahan berebut harta warisan. Demi mendapatkan harta warisan, berbagai cara akan dihalalkan oleh si ibu, termasuk untuk melakukan perbuatan kejam, yakni membunuh putrinya.
Angeline lahir 19 Mei 2007 seorang bocah duduk dibangku kelas II-B SD Negeri 12 Sanur, Provinsi Bali, dikabarkan hilang oleh ibu angkatnya Margriet pada 16 Mei 2015.
Setelah Angeline dikabarkan hilang sekitar tiga pekan, bocah berparas ayu itu ditemukan sudah tidak bernyawa dalam keadaan mengenaskan, Jasadnya ditemukan membusuk pada Rabu (10/6/2015). Dia dikuburkan dekat kandang ayam di belakang rumah Margriet di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Denpasar, Bali.
Di tubuh jenazah Angeline ditemukan 31 titik luka. Dari
hasil autopsi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah menyebutkan, korban mengalami kurang
gizi, seperti ukuran lingkar kepala Angeline tidak seperti anak-anak pada umumnya,
serta kekerasan benda tumpul pada tubuhnya.
Perbuatan kejam terhadap anak-anak tersebut sebagai pelajaran semua pihak. Seorang tega untuk membunuh anak? Dalam benak kemanusiaan tidak ada satu pun ibu yang rela melihat anaknya menderita, namun ini justru anaknya dibunuh untuk merebut harta warisan yang ditinggalkan oleh ayah angkatnya. Walaupun kejadian ini sudah terjadi setahun lalu. Namun, masih menyisakan duka yang mendalam di masyarakat. Bahkan, akibat perbuatan dari Margriet ini, warga masyarakat mengecam dan mengutuk atas perbuatan yang dilakukan tersebut.
Dalam kronologis pengakuan Margriet bahwa telah merencanakan untuk menghabisi nyawa anak angkatnya itu. Dalil yang dilakukan mengaku bahwa anaknya Angelina, hilang ketika bermain di depan halaman rumah. Dengan cara melaporkan ke pihak kepolisian. Selain itu, Margriet juga "memposting" dan mempublikasikan berita kehilangan seorang anak di media sosial.
Jelas, hal ini membuat warga Bali dan masyarakat Indonesia dan dunia menjadi sangat prihatin dan turut untuk membantu agar Angelina segera dapat ditemukan. Berbagai cara pun dilakukan untuk bisa segera menemukan Angeline.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
Arist Merdeka Sirait ikut turun dan berkunjung ke rumah Margriet untuk memberikan
dukungan moral kepada mereka (ibu angkatnya) agar tabah, sehingga anaknya dapat
segera ditemukan.
Namun, kehadiran Ketua Komnas PA tersebut tidak diberikan ruang bebas oleh sang pemilik rumah Margriet untuk masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan yang mengarah kepada Margriet. Sikap dan gerak-gerik Margriet membuat Komnas PA tersebut menjadi curiga, sehingga Arist Merdeka Sirait menyatakan dugaan yang sama adanya kongkalikong di antara keluarga Angeline.
Dugaan yang mengarah pada Margriet sebagai “dalang†dibalik hilangnya Angeline semakin kuat. Setelah ditelusuri oleh pihak kepolisian, dan akhirnya terungkaplah bahwa, Margriet yang merencanakan semua aksi pembunuhan bocah malang itu, dengan berkedok menyebar berita palsu hilangnya Angeline.
Sungguh sangat kejam dan ironis. Melihat kejadian ini, tentu Margriet yang berperan sebagai ibu angkatnya, tidak mampu untuk mengasuh anaknya dengan baik selayaknya seperti anak kandung. Kurangya peran orang tua dalam memberikan kasih sayang terhadap seorang anak.
Sedangkan Margriet, tidak bersyukur atas anak yang diangkatnya, disatu sisi banyak warga yang ingin mempunyai anak keturuan atau anak angkat. Kurang pemahaman seorang ibu, dalam rasa bersyukur memiliki anak yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Seolah-olah seorang anak tidak berarti lagi baginya. Bahkan lebih mendambakan harta warisan yang ditinggalkan oleh ayah angkat Angeline.
Melihat kasus kejamnya pembunuhan Angeline ini, apa yang kita harapkan tentang kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya sangat jauh menyimpang dari kenyataan yang terjadi. Harta warisan mampu mengubah kasih sayang seorang ibu yang gelap mata menjadi perbuatan kejam dan sadis. Begitu pula, semasa hidupnya Angeline juga sering disiksa oleh ibu angkatnya. Sebelum Angeline berangkat ke sekolah untuk menuntut ilmu, layaknya seperti teman-teman sekolahnya yang lain. Sering sekali dia diperlakukan secara kasar, disuruh untuk memberikan pakan semua peliharaan, antara lain ayam dan anjing dirumahnya.
Terkadang, Angeline harus telat ke sekolah dan juga pakaian sekolahnya menjadi kotor dan dekil karena sebelum ke sekolah harus memberi makan hewan peliharaan Margriet.
Seusia Angeline semestinya mendapatkan pendidikan yang layak, kasih sayang, perhatian orang tua serta rasa kenyamanan dalam hidupnya. Namun, semua itu tidaklah ia dapat nikmati. Mungkin, Angeline merasa tertekan atas perbuatan ibu angkatnya. Tapi bocah malang ini tak mampu untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan selama ini, atau kepada siapa ia harus mengadu?
Sangat disayangkan seorang bocah perempuan tersebut menjadi korban akibat keserakahan orang tua angkatnya. Di sini dapat dilihat bahwa, seorang ibu yang tidak memiliki perikemanusiaan dan rasa keibuannya telah tertutup oleh materi.
Walaupun Angeline hanyalah seorang anak angkat, namun ketika ia telah resmi diambil dari ibu kandungnya sejak berumur satu hari, bahwa Margriet sudah siap untuk mengasuhnya. Juga siap menanggung, baik dari segi finansial atau pun kasih sayang, dalam kesehatan jasmani dan rohani untuk Angeline.
Harapan indah oleh ibu kandung Angeline, tidaklah menjadi kenyataan yang manis. Justru anak kandungnya yang diserahkan kepada Margareith dengan harapan anaknya akan tumbuh menjadi anak yang baik, pintar, dan tentunya bahagia karena di lingkungan keluarga yang layak yang lebih dari dirinya sendiri. Justru mendapat petaka.
Penyesalan dalam diri ibu kandung Angeline pun tidak akan dapat ia maafkan. Angeline bocah cilik yang manis kini hanya tinggal nama dan kenangan. Dari kasus Angeline ini, kita dapat belajar bahwa, peran orang tua sangat penting dalam tumbuh kembangnya anak. Jika orang tua hanya sibuk dengan kepentinganya sendiri tanpa memperdulikan kebutuhan anaknya, maka telah terjadinya disharmonisasi dalam keluarga tersebut.
Pada akhirnya akan menimbulkan konflik yang
merugikan keluarga itu sendiri. Diharapkan dari kasus Angeline ini, tidak ada lagi
ibu-ibu yang tega membunuh anaknya hanya karena perebutan harta warisan. Dimana
hati nurani seorang ibu, jika karena harta rela mengorbankan seorang nyawa anak?
Seorang anak adalah titipan atau anugerahTuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga
dan disayangi.
Aktivis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Denpasar, Siti Sapura yang akrab dipanggil Ipung mengatakan kasus kekerasan terhadap anak ini sebagai cerminan kebiadaban orang tua yang tega menghabisi anak angkatnya.
Ipung mengatakan kasus kekerasan anak ini adalah sebuah pelajaran bersama agar selalu mengawasi dan mengasihi anak dengan sebaik-baiknya.
Terkait dengan UU Perlindungan Anak, dia berpandangan sesungguhnya aturan dan hukumannya sudah cukup, permasalahannya justru terletak pada faktor kepedulian. Agar kasus seperti Angeline tidak terulang, Ipung mengingatkan para orang tua seharusnya dapat menjaga anak dengan sebaik-baiknya dan tidak diberikan kepada orang lain.
Menurut Ipung, kalau pasangan suami-istri belum memiliki kemampuan secara ekonomi dan kejiwaan, sebaiknya jangan dulu berencana mempunyai keturunan.
Kehadiran orang tua, sangat berperan akan hal tersebut, karena ketika nanti anak telah tumbuh dewasa, merekalah yang diharapkan untuk merawat dan memperhatikan orang tuanya disaat usia renta. Dengan demikian orang tua juga perlu diberikan pendidikan (parenting), dalam memahami atau pun mendidik anaknya.
Orang tua diharapkan juga mampu untuk menerapkan pendidikan
yang diperoleh sehingga diaplikasikan dalam keluarganya. Semua itu bertujuan untuk menciptakan
keharmonisan dalam keluarga itu sendiri. (Oleh Ida Ayu Made Purnamaningsih)