Denpasar (Antara Bali) - Seorang juru masak (chef) Dedie Soekartin menemukan teknologi pengempukan daging atau sistem "aging" mempunyai harapan dan cita-cita agar daging sapi lokal Indonesia menembus pasaran ekspor dan setara daging impor selama ini dibeli restoran dan hotel.
"Saya mempunyai cita-cita dan harapan dengan teknologi pengempukan ini daging produksi lokal (Indonesia) ke depannya mampu menembus pasaran internasional, seperti selama ini yang digunakan restoran dan hotel dengan mengimpor daging sapi dari Australia atau Selandia Baru," kata Didie saat ditemui di warung makan "Sate Meranggi Purwakarta` di kawasan Jalan Arjuna Kota Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan dengan teknologi "aging" yang ditemukan tersebut, ke depannya produk daging lokal Indonesia mampu setara dengan daging negara lain, seperti daging sapi Australia, Selandia Baru dan Amerika.
"Sebenarnya bisa setara kualitas daging hasil produk kita dengan teknologi pengempukan itu. Namun sampai saat ini restoran dan hotel masih dianggap mutu daging impor lebih baik, karena daging itu bila dimasak bisa empuk. Padahal teknologi `aging` yang saya temukan terbukti bisa menyamai," ujar pria yang telah melanglang buana ke-54 negara di dunia.
Didie mengharapkan perhatian pemerintah dalam peternakan terus ditingkatkan, sehingga nantinya mampu menghasilkan kualitas daging sapi yang sangat bagus. Apalagi mendapat sentuhan sistem pengempukan tersebut.
"Bila Indonesia mampu memproduksi daging berkualitas dan mendapat sentuhan sistem `aging`, maka kita bisa nantinya setara dengan daging negara lain menggunakan label `daging sapi Indonesia`," ujar pria kelahiran Purwakarta, Jawa Barat 19 September 1948.
Didie mengaku dirinya ingin berbuat untuk negara Indonesia, dalam hal ini proses pengempukan daging sapi. Sehingga nantinya Indonesia mampu menjadi pengekspor daging sapi berkualitas tinggi setara dengan negara penghasil sapi di dunia saat ini.
"Selain itu, Indonesia yang kaya dengan kuliner berbahan dasar daging sapi, akan bisa mengurangi pengeluar untuk pembelian daging sapi impor. Sebab daging kita sudah setara dengan daging impor negara lain. Untuk itu kenapa kita harus mengimpor lagi, dan dari segi biaya jauh lebih murah. Namun kualitas empuk dagingnya juga sudah sama," katanya.
Dedie menjelaskan teknologi pengempukan daging tersebut akan memudahkan dalam memasak daging, karena daging tersebut sudah siap diolah menjadi kuliner sesuai dengan kebutuhan.
"Kerja teknologi `aging` yakni daging sapi, kambing dan daging lainnya dimasukan ke dalam sebuah lemari pendingin dan diatur suhunya sesuai ketentuan, maka melalui proses tersebut daging tersebut akan menjadi empuk," ujarnya.
Menurut Dewan Penasihat BPP Indonesian Chef Association (ICA) dan BPD ICA Jawa Barat mengatakan keunggulan sistem "aging" ini, selain daging lebih empuk, tekstur daging juga tidak berubah, aroma cita rasa spesial, kualitas impor, bisa dipotong dengan pisau plastik.
"Teknologi sistem `aging` memiliki cara yang sama, hanya, kita harus tahu bagaimana mengendalikan suhu untuk mengurai enzim dalam daging tersebut," katanya.
Dedie menjelaskan, ada dua sistem dalam teknologi aging ini, "dry aging dan wet aging". Yakni dengan "dry aging" menyusutkan daging hingga 27 persen, dan "wet aging" menyusutan sampai 16 persen.
Dikatakan, hasil penelitian ini sudah saya lakukan sejak tahun 2000. Untuk suhu yang terbaik berkisar minus lima hingga lima derajat," kata Asesor Sertifikasi Kompetensi Kafe & Restoran itu.
Dedie menyarankan, untuk terus memantau kondisi suhu setiap hari, apakah suhu naik atau turun, maka rentang waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan daging yang empuk berkisar seminggu hingga tiga minggu.
Menurut pengusaha rumah makan "Sate Maranggi Purwakarta", bahwa langkah yang dilakukan karena dari pengalaman bahwa daging sapi lokal dianggap tak layak masuk restoran dan hotel.
Alasan itulah, kata dia, yang mendorong dirinya semangat dan tertantang guna mencari langkah terobosan dengan melakukan penelitian sistem pengempukan tersebut, sehingga daging lokal bisa bersaing di restoran dan hotel di Tanah Air.
Dari hasil penelitian dan terobosan itu, maka teknologi yang telah digunakan di negeri Jepang sejak sekitar tahun 1974, akhirnya bisa diwujudkan dan diterapkan di Indonesia.
"Namun dengan penemuan teknologi ini saya harap para pengusaha kuliner atau restoran steak menggunakan daging sapi impor selama ini, untuk bisa beralih ke daging lokal dengan menggunakan sistem `aging`. Teknologi ini juga bisa diterapkan pada buah-buahan," katanya. (WDY)
Dedie Harapkan Daging Sapi Indonesia Tembus Ekspor
Rabu, 13 Januari 2016 16:09 WIB