Jakarta (Antara Bali) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengkaji upaya untuk menjerat koruptor dari kasus pidana pajak sebagai tambahan tindak pidana pencucian uang yang selama ini dilakukan lembaga tersebut.
"Pasal 43a undang-undangnya saya lupa. Itu menyatakan bahwa penyelenggara negara yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak bisa dimasukkan kualifikasi melakukan tindak pidana korupsi," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto selepas Seminar Forum Anti Korupsi Keempat di Jakarta, Selasa.
Bambang menjelaskan jika menggunakan acuan Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, undang-undang yang digunakan untuk menjerat koruptor dari kasus pidana pajak akan menundukkan diri dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
"Jika menggunakan 'extended interpretation', semua bisa masuk. Tapi kalau tidak, berarti kejahatan yang melibatkan penyelenggara negaranya saja," katanya.
Pelaku tindak pidana korupsi, lanjut Bambang, pasti melakukan kejahatan pajak di samping tindak pidana pencucian uang.
Kajian KPK tentang pidana pajak untuk menjerat koruptor juga mencakup kajian tentang "transfer pricing" yang seringkali dilakukan perusahaan-perusahaan untuk mengecilkan nilai pajak.
"Ada kasus 'transfer pricing'. Itu kan yang disebut dengan salah satu modus jasa keuangan. Ini KPK masih mengkaji itu," katanya.
Namun, Bambang masih mengkhawatirkan upaya KPK untuk menjerat koruptor melalui pidana pajak juga akan dipersoalkan sejumlah kalangan sebagaimana upaya penjeratan koruptor melalui tindak pidana pencucian uang. (M038)