Denpasar (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis mantan Direktur Utama (Dirut) PT. BPR Bali Artha Anugrah Ida Bagus Toni Astawa (55) pidana penjara selama delapan tahun.
Putusan terhadap terdakwa Toni Astawa telah dibacakan oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Sayuti di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa.
Majelis hakim Pengadilan Denpasar dalam amar putusan yang didapatkan ANTARA dari Humas PN Denpasar Gde Astawa menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank sebagai perbuatan berlanjut sebagaimana dakwaan alternatif pertama Penuntut Umum.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sejumlah Rp10 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka kepada terdakwa dikenakan pidana pengganti denda berupa pidana kurungan selama 6 (enam) bulan," bunyi amar putusan hakim.
Hakim menilai perbuatan terdakwa melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Vonis Majelis Hakim tersebut sama persis dengan tuntutan hukuman yang dimohonkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu OKA Bhismaning dan Komang Swastini.
Dalam rangkaian kasus tersebut, terdakwa melakukan tindak pidana kredit fiktif senilai Rp 325 miliar lebih.
Jaksa penuntut umum (JPU) Putu Oka Bhismaning menyatakan perbuatan Toni, Sujana, dan Dodi terbukti memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Toni yang juga mantan Ketua KONI Denpasar itu memanipulasi kredit ratusan miliar rupiah dengan modus pencatatan palsu dalam laporan keuangan. Akibat perbuatan mereka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha bank tersebut pada 4 April 2024.
Dalam dakwaan JPU sebelumnya dijelaskan perbuatan terdakwa dilakukan dalam kurun waktu 23 Februari 2017 hingga 27 Juni 2023. Total, ada 635 fasilitas kredit menggunakan 151 nama debitur dengan total mencapai Rp 325,47 miliar.
Kredit fiktif itu digunakan terdakwa untuk menutup tingginya non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah di bank agar tetap berada di bawah tiga persen sehingga terlihat sehat.
"Proses rekayasa ini dilakukan dengan berbagai cara mulai menggunakan data debitur lama yang telah melunasi pinjaman hingga debitur yang menunggak sebagai pemohon kredit baru," ungkap jaksa.