Denpasar (Antara Bali) - Walhi Daerah Bali menilai, tertutupnya informasi terkait pertemuan ke-11 sesi khusus konferensi PBB program lingkungan (The UNEP Governing Council) di Nusa Dua, Bali, menjadikan forum itu bagai "dagelan" internasional.
"Pertemuan yang berlangsung 21-26 Februari itu sangat strategis, karena menyangkut kehidupan masyarakat dunia. Sayangnya tidak memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat sipil untuk memberikan masukan," kata Agung Wardana, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah Bali, Sabtu.
Dalam penjelasan bertepatan persiapan kegiatan yang direncanakan dihadiri sekitar 100 menteri lingkungan hidup negara-negara di dunia itu, dia menyayangkan pertemuan itu justru tidak memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat sipil yang bisa mewakili aspirasi masyarakat luas.
"Karena ketertutupan informasi dan tidak melibatkan aspirasi masyarakat yang dibicarakan nasibnya terkait kondisi lingkungan hidup, maka kami menilai pertemuan itu sebagai dagelan internasional," ujar Agung Wardana.
Padahal, mengingat strategisnya pertemuan itu, katanya, seharusnya menjadi kewajibaban untuk memberikan kesempatan kepada kelompok masyarakat sipil turut memberikan masukan.
Agung Wardana juga menilai, pemerintah dan entitas PBB yang akan hadir dalam pertemuan itu sebelumnya gagal menunjukkan komitmennya dalam pertemuan perubahan iklim di Kopenhagen, Desember 2009.
Menurut dia, perubahan iklim merupakan permasalahan lingkungan terbesar yang dihadapi umat manusia dan membutuhkan tindakan ekstraordinari.
Namun negara-negara pihak justru lebih tertarik untuk membawa penyelesaiannya ke ranah bisnis dan tidak mengikat secara hukum, sehingga membawa masa depan bumi pada kehancuran.
Lebih parah lagi, katanya, pemerintah Indonesia sudah seperti pedagang dalam arti sebenarnya. Pemerintah justru menjajakan barang dagangan dari satu pertemuan ke pertemuan internasional lainnya.
"Pemerintah cenderung berharap mendapatkan dana-dana 'offset' negara maju. Setelah laku berdagang karbon di sektor hutan, pemerintah persisten untuk menjajakan karbon di sektor laut dalam pertemuan ini," ucapnya.
Terkait rencana deklarasi Bali sebagai provinsi hijau di Indonesia, Agung Wardana menyatakan bahwa pencitraan dalam rangka mengangkat harga barang dagangan itu sah-sah saja, apalagi untuk model pemerintahan yang berbasis citra. Tetapi citra haruslah sesuai dengan kondisi riilnya.
Di pulau wisata ini, katanya, hanya kebijakan provinsi saja yang mendukung program "hijau" atau pelestarian lingkungan, sedangkan di tingkat kabupaten/kota justru melakukan perusakan terhadap lingkungan hidup.
Selain itu juga perusakan sendi sosial Bali melalui pengembangan industri pariwisata massal. "Apa pantas Bali yang mengandalkan kemajuan perekonomian dari pariwisata, ekploitasi pariwisata, mendeklarasikan sebagai provinsi hijau?," katanya.(*)