Oleh Masuki M Astro
Wajah sebuah bangsa barangkali dapat dilihat dari isi berita yang tersaji di media massa. Demikian juga negeri ini yang persnya banyak, --kalau tidak boleh dikatakan selalu--, menyuguhkan kabar-kabar "buruk".
Kabar buruk tersebut seperti korupsi, terorisme, narkoba dan dalam skala lokal banyak menyajikan tindakan-tindakan kriminal.
Untuk korupsi, kasus paling hangat adalah tertangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dugaan menerima suap impor daging sapi.
Ada juga kabar yang tampaknya akan lebih panas lagi dari KPK mengenai Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Kasus kriminal adalah perkosaan bocah yang menimpa Ri, seorang anak pemulung. Pelakunya justru bapaknya sendiri.
Gencarnya kabar-kabar negatif yang disajikan pers kita tidak lepas dari semacam ajaran yang masih dipegang kuat dunia jurnalistik kita, yakni "bad news is good news". Berita buruk adalah berita baik. Itulah pelajaran dasar ketika seseorang ingin menjadi wartawan. Biasanya kalimat tersebut ditambahi dengan contoh konkret, yaitu kalau ada "anjing menggigit orang" bukan berita, tapi jika sebaliknya, "manusia menggigit anjing", maka itu baru berita.
Sesuai fungsinya, ketika memberitakan sesuatu yang buruk, pers sedang berupaya menjalankan tugas mulianya sebagai kontrol sosial. Persoalannya, berita dalam semangat sebagai "anjing penggonggong" yang setiap hari disuguhkan awak media kepada pembacanya, rupanya tidak berjalan lurus dengan realitas perbaikan wajah bangsa ini.
Korupsi masih saja terus berjalan. Bahkan yang dulu hanya dilakukan elit tertentu, kini menjalar ke semua lini. Termasuk pelakunya yang tidak pandang bulu. Mereka yang yang mengerti hukum, mengerti agama, korupsi juga. Pelakunya seolah-olah tidak pernah takut dengan berita banyaknya pelaku lain yang dijerat aparat hukum, baik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan maupun kepolisian.
Demikian juga dengan narkoba, terorisme atau tindak-tindak kriminal yang tersebar di berbagai daerah. Seperti orang memencet balon, satu ujung ditekan, ujung lainnya menggelembung.
Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari yang tahun ini dipusatkan di Manado, Sulawesi Utara, agaknya insan pers perlu merenung. Mengapa peristiwa demi peristiwa yang sudah dikontrol ketat oleh pers itu masih saja terulang? Masih efektifkah kontrol sosial yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan negeri yang sama-sama kita cintai ini? Lebih khusus lagi, masihkah prinsip "bad news is good news" akan menjadi pegangan yang kuat dalam ikhtiar memperbaiki karut-marutnya bangsa?
Jalan keluar yang dinilai paling efektif untuk menyembuhkan bangsa dari perilaku sakit korup adalah dengan hukuman mati. Itu juga yang didorong-dorong oleh pers dengan meniru apa yang dilakukan oleh pemerintah di China. Untuk yang ini, pers saya kira tak berhasil. Belum ada satupun pelaku korupsi yang dihukum mati. Yang justru banyak terjadi adalah vonis ringan sehingga dinilai melukai perasaan rakyat yang uangnya telah dibawa di koruptor.
Ibarat tubuh, negeri ini barangkali sedang menderita sakit komplikasi. Pers, dalam upaya memperbaiki keadaan tersebut menjadi salah satu anggota tim medis. Pers berusaha menggempur sumber-sumber penyakit bersama dengan komponen "medis kebangsaan" yang lainnya. Jangan-jangan komponen "medis" ini juga sudah ketularan penyakit yang hendak dihancurkannya. Contohnya, politisi yang partainya dikenal bersih, ternyata pimpinannya diduga menjadi bagian dari praktik korupsi sehingga ditangkap oleh KPK. Atau, dulu anak-anak muda yang idealis ketika masih mahasiswa, kemudian menjadi pelaku utama korupsi ketika diberi kepercayaan memimpin negeri.
Dalam konteks tertentu, boleh jadi pers juga ikut "mendidik" masyarakat meniru perilaku buruk yang dilakukan oleh objek berita di media massa. Misalnya ketika media menyajikan seorang siswa bunuh diri karena tidak kuat dalam pelajaran tertentu. Saya khawatir dengan memberitakan kejadian tersebut secara "mentah", justru mengajarkan masyarakat, khususnya anak-anak muda untuk menempuh "jalan frustasi" dalam menghadapi masalah. Kalau seperti itu, pers bisa terjebak pada penyajian "peta jalan buruk" yang kemudian diikuti oleh pembacanya. Bukannya mendidik ke yang lebih baik, tapi justru menjerumuskan.
Pengamat media yang cukup lama menjadi praktisi pers, Syirikit Syah, dalam bukunya "Watch the Dog! Catatan Jurnalisme" menulis bahwa selain sebagai pilar keempat demokrasi, pers sebetulnya juga merupakan pilar keempat pendidikan. Pendidikan memiliki pilar-pilar utamanya, yakni keluarga, sekolah, lingkungan dan terakhir pers.
Kalau semua upaya telah begitu giat dilakukan untuk menyembuhkan bangsa, namun hasilnya justru masih sangat jauh panggang dari api, barangkali kita perlu memikirkan cara lain. Misalnya membentuk imunitas tubuh bangsa ini agar pelan-pelan bisa menyembuhkan sendiri untuk menghilangkan penyakitnya. Jangan seperti mengobati penderita tumor dengan cara kemoterapi. Akar tumornya digempur, tapi efeknya terhadap organ yang lain justru sangat menakutkan.
Pers bisa mengambil bagian dalam meningkatkan imunitas bangsa ini agar kembali "bugar" secara moral, ekonomi, hukum, politik dan lainnya dengan mendorong munculnya "jurnalisme berpengharapan". Maksudnya adalah produk jurnalistik yang memberikan kabar baik bagi pembaca bahwa meskipun sudah sangat parah negeri ini, masih ada harapan bisa diperbaiki.
Caranya? Yaitu dengan mengabarkan adanya orang-orang atau lembaga yang masih memegang teguh "nasionalisme sejati", baik di tingkatan paling kecil atau lokal maupun yang sudah memiliki dampak meluas. Para wartawan perlu didorong untuk menghasilkan tulisan-tulisan di ranah-ranah yang kini sudah dicitrakan sangat rusak, seperti politik, hukum, pemerintahan dan lainnya yang masih mengabarkan kebaikan.
Dengan demikian, maka Indonesia masih punya harapan adanya politisi yang bersih, penegak hukum yang berhati putih, pejabat yang masih rela hidup sesuai dengan penghasilannya. Atau polisi yang masih setia dengan jiwa bhayangkarinya.
Lewat cara ini, pers bisa memperbesar fungsi edukasinya dengan mengobarkan sikap optimistis kepada masyarakat. Dengan menyajikan berita-berita yang inspiratif, pers bisa meresonansikan nilai-nilai bahwa tanpa korupsi, tidak mempermainkan hukum dan lainnya, hidup bisa lebih nyaman.
Barangkali dengan kisah-kisah seperti itu pembaca media, yang salah satu segmennya adalah pejabat, politisi atau penegak hukum itu diam-diam bisa menyadarkan mereka untuk bertobat. Mungkin lewat kisah orang-orang yang tidak serakah pada harta itu, diam-diam energi mereka menelusup ke relung-relung nurani paling dalam para koruptor untuk menghentikan kejahatannya. Mereka perlu berkaca dan malu pada kisah orang-orang yang terlupakan, namun kiprahnya sangat besar untuk menopang agar bangsa ini tidak roboh.
Penulis pernah memberitakan seorang guru PAUD di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang saat tahun 2008 dengan gaji Rp50 ribu per bulan setia menjalankan tugasnya. Selain mengajar para bocah, si guru itu setiap pagi menandikan murid-muridnya. Menyisir rambut mereka. Memoleskan bedak. Pada hari tertentu, Ibu Wiwik juga mencukur dan memotong rambut si murid. Itu karena sejak pukul 05.00 WIB ibu para bocah tersebut sudah pergi bekerja dengan menjadi buruh pabrik tembakau. Anak-anak itu bangun sendiri dan berangkat ke sekolah dengan kondisi apa adanya. Bu guru Wiwik yang mengambil alih peran ibu kandung mereka. Tak malukah para koruptor membaca kisah itu?
Apakah pers harus meninggalkan fungsi elan vitalnya sebagai kontrol sosial dengan menyetop kabar-kabar "buruk", seperti perilaku korupsi tersebut? Tentu saja tidak. Hanya perlu memberikan porsi berimbang dengan "jurnalisme berpengharapan" tadi.
Mengenai hal ini, perlu direnungkan juga oleh insan pers apa yang diungkapkan oleh pakar psikologi komunikasi Prof Dr Jalaludin Rakhmat atau yang akrab dipanggil Kang Jalal. Pada peluncuran Anugerah Adiwarta 2012 di Jakarta. Kang Jalal mengatakan bahwa pemberitaan yang negatif berpotensi menyebabkan gangguan jiwa terhadap masyarakat, meskipun dalam skala yang lebih kecil dari kegilaan.
Menurut dia, dalam sebuah penelitian mahasiswa dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama ditugaskan untuk mencatat dan mengamati berita positif, sementara kelompok kedua mencatat dan mengamati berita negatif. Kelompok ketiga mencatat keduanya.
"Setelah kurun waktu satu bulan, kelompok mahasiswa yang pertama ternyata terbukti lebih positif memandang kehidupan dan lebih ceria, sementara kelompok kedua cenderung menjadi pribadi yang sinis dan cepat marah," kata Jalal.
Untuk itu, Jalal mendorong agar wartawan lebih cermat dalam memilih sudut pandang dalam pemberitaannya, selain masyarakat diharapkan lebih selektif dalam memilih berita yang layak ditonton atau dibaca.
Menurut Kang Jalal, masyarakat harus diberi tahu juga fakta-fakta yang hadir di tengah mereka, misalnya ada pejabat yang mau hidup sederhana dan mengabdi kepada masyarakat meskipun beberapa rekannya tersangkut kasus korupsi.
"Para nabi itu bisa dijadikan teladan. Mereka adalah wartawan-wartawan pertama di dunia yang membawa kabar baik bagi umat manusia," katanya. (*/T007)