Denpasar (ANTARA) - Anggota Komite I DPD RI Arya Wedakarna(AWK) akhirnya buka suara terkait laporan atas dirinya yang diduga melakukan penistaan agama setelah beredar potongan video ketika ia berbicara dengan nada tinggi dalam rapat bersama Kanwil Bea Cukai Bali.
Di Denpasar, Kamis, ia menyampaikan masalah ini bermula dari munculnya potongan video ketika AWK, panggilan akrabnya, menyebut semestinya petugas garis depan di bandara adalah putra-putri Bali dan tanpa menggunakan penutup kepala karena Bali bukan Timur Tengah.
Adapun alasan rapat dengar pendapat pada Jumat (29/12) itu digelar karena anggota DPD RI asal Bali tersebut menerima aspirasi masyarakat soal tindakan perampasan paspor dan etika kerja petugas bea cukai yang dianggap tidak baik, kemudian aspirasi soal tarif daring oleh prajuru desa adat setempat, dan soal gelar bandara terburuk di dunia yang disandangkan ke Bandara I Gusti Ngurah Rai.
“Jadi sesungguhnya terkait itu saja, yang jelas tidak ada saya menyebut agama tertentu, kelompok tertentu, atau hal spesifik tapi ditulis seakan-akan begitu sehingga memunculkan fitnah terhadap saya yang datang ke sana untuk bekerja,” kata AWK kepada media.
Menurutnya semua kalimat yang diucapkan tidak tendensius terhadap kelompok tertentu, terbukti dari disiarkannya secara penuh seluruh rangkaian rapat dengar pendapat, bahkan ucapan dengan nada tinggi serupa juga disampaikan ke petugas beragama Hindu yang diminta menggunakan bunga untuk menunjukkan ciri khas Pulau Dewata.
Hasilnya, sejak Kamis (4/1) lalu Kantor DPD RI Bali di Kawasan Renon kerap didatangi demonstran, baik yang menolak sampai melaporkannya ke Polda Bali karena dinilai melakukan penistaan agama maupun yang setuju atas ucapan Arya Wedakarna.
“Kami dari DPD RI merasa ini hal tidak benar dan fitnah, karena kalau kita lihat rekaman satu jam sama sekali tidak menyebutkan agama, maka dari itu saya dengan dukungan penglingsir di Bali dan tokoh-tokoh Hindu melaporkan tokoh yang telah mencemarkan nama baik saya,” ujarnya.
AWK enggan menyebut nama orang yang dilaporkan ke Polda Bali, yang pasti mereka berada dalam kelompok atau lembaga agama dengan tuduhan mencemarkan nama baik, berkaitan dengan Undang-Undang ITE, dan Undang-Undang KUHP.
Ketika disinggung soal upaya berdamai, Arya mengatakan akan mengikuti apapun prosesnya nanti baik lanjut pidana atau selesai secara kekeluargaan, tindakan yang saat ini ia lakukan semata-mata untuk mencegah demonstrasi terjadi kembali.
“Ini kalau saya tidak melaporkan, setiap minggu rencananya ada aksi dari umat Hindu, saya tidak mau apalagi kita sekarang ada isu-isu pengeroyokan dalam sehari bisa empat desa. Apakah nanti mau restorative justice mungkin ya kita lihat nanti,” tuturnya.
Tindakan melaporkan kembali tuduhan tersebut juga datang dari desakan pendukungnya, belakangan ia menerima banyak masukan soal tidak sepantasnya anggota DPD RI dilaporkan ketika sedang bertugas saat ini di masa reses.
Arya yang sempat menjadi anggota Badan Kehormatan (BK) DPD RI ini yakin bahwa dirinya tak bersalah dan kejadian ini tak akan mengganggu posisinya di sisa masa jabatan.
Justru, ia melihat ada unsur politis dalam kejadian ini, seperti temuan keterlibatan empat calon legislatif dari tiga partai politik yang hadir dan berorasi saat aksi.
Selain ke Polda Bali, akhirnya senator dua periode tersebut membuat pelaporan ke Bawaslu Bali karena menilai empat calon legislatif tersebut melangkahi aturan pemilu dengan cara kampanye hitam.