Denpasar (Antara Bali) - Tiga komunitas sosial di Bali menggalang aksi pengumpulan alas kaki untuk disumbangkan pada siswa-siswi SD di daerah perdesaan Pulau Dewata, yang selama ini kesulitan memiliki sandal dan sepatu.
"Selain mengumpulkan alas kaki, kami juga mengkampanyekan kegiatan satu hari tanpa alas kaki, Puncaknya nanti pada 12 Desember 2012," kata Nyoman Wicaksana Wirajati perwakilan komunitas Generasi Putih di sela aksi kampanye itu, di Lapangan Puputan Margarana, Denpasar, Minggu.
Kegiatan pengumpulan alas kaki, lanjut dia, merupakan gagasan dari tiga komunitas sosial yakni Komunitas Anak Alam, Generasi Putih, dan Dapur Olah Kreative (DOK).
"Pada kegiatan puncak akan ditampilkan konser musik tanpa alas kaki di sekretariat DOK di Warung Tresni, Jalan Drupadi Denpasar. Kami terbuka jika ada yang mau menyumbangkan sepatu dan sandal ukuran anak SD baik yang baru ataupun bekas," ujarnya yang juga putra Gubernur Bali itu.
Untuk menonton konser ini, penonton maupun para dermawan cukup membawa sampah plastik sebagai tiket masuknya dan tanpa mengenakan alas kaki.
Menurut dia, aksi itu sebagai wujud kepedulian terhadap anak-anak di perdesaan terpencil dan pegunungan yang cukup sulit mempunyai alas kaki karena himpitan ekonomi. Sementara pengumpulan sampah plastik menjadi bentuk kepedulian menjaga lingkungan Bali agar tetap bersih.
Sementara itu, Ketua Komunitas Anak Alam Pande Putu Setiawan menyebutkan acara tersebut terinspirasi dari realitas siswa SD di tujuh desa di kawasan kaldera Gunung Batur, Bangli yang jarang menggunakan sepatu.
Ia menyampaikan desa-desa tersebut diantaranya Trunyan, Songan, Belandingan, Alengkong, Kayu Selem, dan Madya. "Bahkan ada satu sekolah hampir 80 persen siswanya tidak mempunyai sepatu," ucapnya yang sudah bertahun-tahun mendampingi anak-anak di Kintamani.
Di daerah pelosok pegunungan, kata dia, anak-anak untuk menuju sekolah harus menempuh waktu satu jam. Biasanya saat berangkat mereka menggunakan sepatu, dan pulangnya terpaksa sepatu tidak digunakan supaya lebih awet.
"Tak sedikit yang pulang sekolah langsung membantu orang tua menyabit rumput tanpa alas kaki dan akibatnya banyak dari mereka yang kakinya terluka tertusuk duri," ucapnya.
Siswa bersekolah tanpa alas kaki, kata dia, tak hanya di Bangli, hampir di setiap pelosok perdesaan di Bali juga terdapat fenomena serupa.
Menurut Pande, alas kaki menjadi satu contoh fenomena pendidikan di Bali. Bagi yang tidak punya sepatu tidak sedikit yang putus sekolah karena tidak percaya diri.
"Mereka membutuhkan suport (dukungan), mereka membutuhkan semangat dan kepercayaan diri. Jadi setidaknya dengan ada yang memperhatikan seperti sepatunya harapan kepercayaan dirinya muncul dan nantinya bisa menjadi angkatan kerja yang produktif," ujarnya.
Dalam aksi tersebut, para aktivis dari tiga komunitas tersebut berjalan mengitari Lapangan Puputan Margarana tanpa alas kaki sambil membagikan brosur dan selebaran yang berisikan ajakan kepedulian.(LHS)