Jakarta (ANTARA) - Kalau kita membaca berita, tulisan atau video di media atau pers online, pasti ada sesuatu yang sangat mengganggu dan membuat kita risih, jengah. Apa itu? Iklan yang bukan saja seronok, tapi juga cenderung porno!
Pada semua jenis tayangan pers online manapun, kiwari (dewasa ini) pasti ada iklan yang seperti ini. Iklan yang cenderung jorok. Baik kata-katanya, maupun gambarnya.
Fotonya memang ada yang cuma asosiatif, tapi tak sedikit yang jelas-jelas foto nyata yang porno. Cabul. Kata-katanya pun demikian.
Ada memang yang cuma memakai kata yang bersayap, tapi tak sedikit dengan kata vulgar, seperti penyebutan kelamin lelaki atau perempuan dengan istilah sehari-hari yang kasar. Biasanya sih iklan obat kuat.
Munculnya iklan jenis ini tak kenal waktu. Setiap saat. Lagipula umumnya dalam suatu tayangan pers online, iklan porno ini hadir tidak satu, melainkan serentak banyak.
Soalnya bertambah membesar, lantaran iklan semacam ini diletakkan di mana saja, tidak pandang bulu jenis berita atau tayangan apapun. Dengan begitu, jika ada anak di bawah umur, membuka berita di mana pun di pers online, mereka dipastikan bakal menemukan iklan-iklan semacam ini.
Dampak Buruk
Kehadiran iklan yang menampilkan foto-foto porno dengan istilah-istilah jorok, jelas memberikan dampak buruk buat anak-anak kita, generasi muda kita, dan bahkan pada masyarakat pada umumnya.
Iklan demikian, seperti menawarkan budaya mesum permisif untuk nilai-nilai sosial. Jika dibiarkan, lama kelamaan tak bakalan ada lagi pertimbangan tabu, kepekaan sosial dan penghargaan terhadap perlindungan budaya kesucian seksual.
Dalam jangka panjang, jika dibiarkan, keadaan ini memberikan dampak jauh lebih berbahaya. Kelak akan hadir nilai-nilai “anti sosial” di bidang kesusilaan. Selain itu, terbuka kemungkinan besar kelak banyak yang menerapkan perilaku kekerasan seks dengan anggapan tak ada lagi batas-batas kesusilaan.
UU Pers Melarang
Itulah sebabnya dalam UU Pers (No 40 Tahun 1999) sudah sejak awal diatur larangan iklan seperti ini. Pasal 13 UU Pers dengan tegas menyatakan, "Perusahaan iklan dilarang memuat iklan (a) yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; (b) minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya_ sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku_ ; (c) peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.”
Pada Pasal 18 UU Pers ditegaskan pula, pers yang melanggar Pasal 13 tersebut dikenakan pidana denda Rp500 juta.
Sudah jelas pemuatan iklan yang porno di pers online melanggar Pasal 13 UU Pers No 40 Tahun 1999. Untuk itu tak ada tawar-menawar lagi, pemuatan iklan-iklan porno di pers online harus segera dihentikan, setidaknya penayangannya diatur dengan jelas, agar tidak bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Tegas saja, semua iklan yang sudah menjurus porno dilarang. Sedangkan yang masih dalam koridor “seronok tapi tak porno” penempatannya diatur sedemikian rupa agar memberikan perlindungan kepada anak di bawah umur.
Sikap Moral Wartawan
Para wartawan tidak dapat berdalih dengan adanya fire wall atau dinding api yang memisahkan ruang redaksi dan ruang usaha, tak mau ambil peduli terhadap gejala ini.
Wartawan juga harus memiliki kepekaan soal, terutama di medianya sendiri. Para wartawan harus memberikan kontribusi untuk mengurangi, bahkan menghilangkan iklan porno seperti ini.
Bukan sebaliknya, dengan dalih iklan-iklan bejat itu memberikan pemasukan buat perusahaan yang mengaji mereka, para wartawan malah mendukung kehadiran iklan-iklan ini.
Jika sebagian besar wartawan telah menganut pandangan mendukung iklan cabul, tak diragukan lagi telah terjadi degradasi moral di lingkungan wartawan. Di sini kita layak bertanya, bagaimana pers mau membantu membereskan persoalan-persoalan moralitas dalam masyarakat umum, kalau dalam tubuh diri pers sendiri telah internalized atau pandangan ajeg yang mendukung iklan mesum dalam media mereka sendiri.
Tentu cari duit atau cuan untuk survive bukan saja boleh, tapi juga malah harus. Kendati demikian itu tidak bermakna boleh menghalalkan segala cara, termasuk menerima iklan-iklan cabul.
Pidana Denda
Selanjutnya, mengingat dahsyatnya dampak iklan porno itu terhadap masyarakat luas, lebih khusus kepada generasi muda, pers online yang masih melanggar Pasal 13 harus segera dikenakan pidana denda sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU Pers.
Pelaksanaan atau law inforcement dari pasal ini sesuai dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, walaupun iklan semacam ini bukan produk jurnalistik, polisi setelah mendengar Dewan Pers , polisi dapat melakukan upaya baik preventif maupun represif bagi yang bandel.
Begitu pula sudah saatnya Dewan Pers (yang kebetulan anggota baru) mengambil berbagai langkah untuk menanggulangi persoalan ini melalui penelitian, pengembangan dan komunikasi dengan pihak masyarakat dan pemerintah, sebagaimana menjadi tugas pokok Dewan Pers yang diatur dalam Pasal 15 UU Pers.
Porno Bukan Kemerdekaan Pers
Kemerdekaan jelas mutlak perlu. Kemerdekaan merupakan salah satu soko guru terpenting dalam mekanisme demokrasi. Oleh karena itu, kemerdekaan pers perlu dilindungi sampai titik maksimal. Kemerdekaan pers tidak boleh direduksi sekecil apapun.
Namun mengiring dan menyebabkan kerusakan moral dan kesusilaan masyarakat, seperti dengan sengaja menghadirkan iklan-iklan cabul, mesum dan porno, pastilah itu bukan bagian dari kemerdekaan pers. Makanya, jika telah diberikan warning hal seperti ini masih juga ditayangkan, bukan saja boleh ditindak, melainkan juga sebaiknya memang diberikan hukuman, meskipun berbentuk pidana denda.
*) Wina Armada Sukardi adalah ahli hukum pers dan penulis banyak buku hukum pers