Denpasar (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR I Made Urip mengatakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan jangan sampai merugikan nelayan, di tengah kondisi daerah yang berbeda-beda.
"Kami akan akomodasi itu pendapat-pendapat dari daerah, terutama daerah-daerah yang menjadi basis para nelayan kita yang dirugikan oleh Permen KP tersebut. Kan harus kita bicarakan, baik dengan Dirjen dan Menterinya," kata Made Urip dikonfirmasi dari Denpasar, Senin.
Pihaknya bersama anggota Komisi IV DPR lainnya berjanji akan berjuang mengenai apa menjadi keluhan nelayan terkait dengan regulasi tersebut.
Politisi asal Bali dari Fraksi PDI Perjuangan ini menambahkan, meskipun Permen KP 17/2021 itu sepenuhnya menjadi kewenangan dari kementerian, namun jika merugikan nelayan harus diperhatikan.
"Beda kalau dengan UU, harus kita bahas bersama antara Kementerian dengan DPR. Jadi kalau Permen ya kewenangan dia (Kementerian-red). Cuma kalau itu merugikan para nelayan kita, karena menghantam dari ekonominya, kurang menguntungkan dan merugikan, harus diperhatikan," ucapnya.
Baca juga: Pemkab Badung apresiasi nelayan lestarikan mangrove
Made Urip mengatakan akan menyampaikan kondisi dan persoalan dari para nelayan ketika nanti ada rapat kerja dengan Menteri Kelautan dan Perikanan, ataupun rapat dengar pendapat dengan Dirjen yang menangani tersebut.
"Yang bisa dilakukan adalah penyesuaian di daerah, di kantong nelayan kita. Nanti ketika ada rapat kerja dengan Menteri, atau rapat dengar pendapat dengan Dirjen yang menangani itu, kita akan sampaikan nanti. Karena kondisi daerah kan beda-beda," ucapnya.
Sebelumnya, sejumlah nelayan tangkap benih bening lobster (BBL) terutama daerah Lombok telah mengadu dan meminta kepada Presiden Jokowi agar mempermudah aturan lalu lintas pengiriman BBL di dalam negeri.
Keadaan ini disampaikan lantaran buntut dari Permen KP 17/2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di wilayah NKRI yang baru keluar dirasa nelayan masih belum pro-rakyat.
Lalu lintas benih bening lobster di wilayah Indonesia diharuskan ukuran 5 gram ke pembudidaya lobster dalam negeri menjadi beban nelayan tangkap, terutama di sumber benih dan juga pembudidaya itu sendiri.
Sudarmono selaku Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Tangkap di Teluk Awang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut Lombok Tengah misalnya berharap agar dimudahkan menjual hasil tangkapan benur (BBL) di tengah kondisi pandemi COVID-19.
Baca juga: Pemkab Badung presentasikan sistem deteksi area tangkapan ikan
Pihaknya bersama nelayan lain mendukung ekspor BBL dihentikan dan melakukan budidaya lobster di dalam negeri. Di sisi lain, ia berharap, aturan lalu lintas pengiriman ke pembudidaya antar daerah jangan dipersulit.
Seperti disebutkan dalam Permen KP 17/2021 yang mengharuskan BBL sudah berukuran 5 gram baru boleh dikirim ke pembudidaya lintas provinsi.
Putu Darmaya salah satu pelopor pembudidaya lobster dari Bali mengatakan Permen baru ini terlihat manis, tetapi pahit di nelayan tangkap BBL dan pembudidaya lobster dalam negeri.
Ketentuan lalu lintas BBL harus ukuran 5 gram dalam Permen KP 17/2021, selain dianggap membebani nelayan tangkap juga dikatakan mempersulit pembudidaya mendapatkan bibit.
Misalnya dari daerah Bali untuk mendapatkan bibit bergantung dari Lombok dan Sumbawa karena di Bali tidak ada benur.