Jakarta (ANTARA) - Orang Indonesia kini mulai mengenal istilah berbahasa asing, foreign terrorist fighter (FTF), yang kira-kira artinya adalah teroris lintas batas. Siapakah mereka yang termasuk teroris lintas batas itu?
Diketahui sampai saat ini, ada 689 warga Indonesia telah berada di berbagai negara yang bergabung dengan sebuah organisasi bernama ISIS. Aparat keamanan di Tanah Air telah mendeteksi bahwa mereka itu sudah "berjuang" demi ISIS sehingga tidak mengakui lagi Republik Indonesia sebagai tumpah darah mereka. Dengan demikian mereka dianggap secara sengaja tidak mau mengakui lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Alasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah 689 orang Indonesia itu telah berjuang untuk pihak atau “negara lain” dan bukannya NKRI sehingga dianggap menentang NKRI.
Karena itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, usai sidang di Istana Bogor beberapa waktu lalu menjelaskan pemerintah hingga saat ini telah menemukan data atau identifikasi bahwa di luar negeri terdapat sekitar 689 orang asal Indonesia yang tinggal di berbagai negara seperti Afghanistan, Suriah, hingga Pakistan yang tergabung dalam kelompok teroris ISIS. Kelompok ini menyebut diri mereka sebagai “Negara Islam Irak dan Suriah”.
Jadi masyarakat di Tanah Air dapat membayangkan betapa banyaknya WNI yang “mengaku-ngaku” berjuang demi ISIS. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah ISIS mendapat dukungan atau tidak terutama dari negara-negara Islam?
Pemerintah Indonesia semula menyiapkan jadwal bahwa masalah ini akan dibahas pada sidang kabinet terbatas atau ratas pada Maret dipimpin Wakil Presiden, Ma’ruf Amien. Kemudian akan dilanjutkan dengan ratas pada April yang langsung dipimpin Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi pada hari Selasa (11/2), di Istana Bogor, Jokowi beserta para menteri terutama di bidang politik, hukum dan keamanan memutuskan bahwa para FTF asal Indonesia itu (--ada pula yang menyebut sebagai kombatan ISIS--) ini dilarang pulang ke Indonesia.
Alasan utama adalah karena di antara mereka ada yang secara sengaja merobek-robek dan membakar paspor mereka sehingga pemerintah tidak akan memulangkan kelompok ini yang sering disebut ”kombatan”.. Bahkan tidak kurang dari Kepala Negara sendiri yang menegaskan bahwa tugas utama pemerintah akan melindungi 267 juta jiwa orang Indonesia.
Paspor adalah dokumen negara dan pemegang paspor "cuma" dititipi negara untuk mempergunakan buku paspor itu secara patut sesuai undang-undang. Menghilangkan, mengubah informasi, apalagi merusak dan membakar secara sengaja buku paspor adalah sesuatu yang bisa dikenakan dakwaan pidana terhadap pelakunya.
Sikap pemerintah tentang FTF ini ternyata sudah mendapat dukungan terutama dari sejumlah tokoh ummat Islam. Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, KH Said Agil Siradj, serta cendekiawan terkemuka Islam, Azyumardi Azra, mengatakan, kelompok FTF ini tidak boleh dipulangkan.
Sebaliknya anak-anak mereka terutama yang usianya masih di bawah 10 tahun masih bisa kembali ke Tanah Air dengan mengikuti program pendidikan ulang atau reedukasi seperti nilai-nila kebangsaan.
Jadi, jika di satu pihak dengan tegas pemerintah melarang pulangnya ratusan teroris lintas batas alias FTF untuk kembali ke Tanah Air, maka di lain pihak, anak mereka yang masih berusia dibawah 10 tahun untuk “pulang kampung” dengan syarat utama harus bersedia dididik ulang alias reedukasi.
Pelajaran berharga
Perginya tidak kurang dari 689 orang asal Indonesia itu seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga tidak hanya bagi aparat keamanan mulai dari TNI, Polri, Badan Intelijen Negara hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tapi juga ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis hingga Al Wasliyah.
Organisasi kemasyarakatan alias ormas tersebut pasti mempunyai jaringan-jaringan yang telah berakar hingga k semua pelosok Tanah Air. Muhammadiyah, NU dan yang lain-lainnya tentu berakar tidak hanya di Pulau Jawa tapi juga di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara hingga Papua dan Papua Barat. Karena itu mereka tentu bisa ikut membantu pemerintah ikut mencegah meluasnya ajaran yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Para anggota dan simpatisan-simpatisan ormas-ormas ini bisa memantau dan mendeteksi apabila ajaran ISIS mulai berkembang terutama di daerah-daerah yang mayoritas warganya beragama Islam.
Sementara itu, di lingkungan pemerintah telah berdiri berbagai Llembaga pemerintah nonkementerian mulai dari Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Polri hingga Badan Intelijen dan Strategis TNI yang berada di bawah Markas Besar TNI.
Dengan kehadiran berbagai organisasi itu, maka masyarakat berhak bertanya apakah mungkin terjadi “persaingan” di antara semua instansi keamanan itu sedangkan “musuh atau lawannya cuma satu yakni teroris. Apalagi para pejabat-pejabat itu pada umumnya berasal dari satu wadah yang sama yakni TNI.
Jadi, yang paling dinantikan seluruh rakyat Indonesia adalah koordinasi yang efektif dan efisien diantara BIN, BNPT, Bais hingga Polri. Jangan terus terulang perseteruan ataupun persaingan yang” tak bermutu” di antara semua instansi pemerintah itu.
Apabila sekarang saja sudah ada musuh bersama yakni ISIS maka siapa yang bisa menjamin bahwa pada tahun-tahun mendatang bahwa tidak akan lahir organisasi-organisasi teroris lainnya baik yang lokal maupun internasional?
Para pejabat keamanan seharusnya benar-benar sadar bahwa jika saat ini saja di Tanah Air sudah ada 267 juta jiwa orang Indonesia maka beberapa belas tahun lagi atau bahkan pada 2045 sudah berapa banyak penduduk Indonesia yang tuntutannya kian banyak dan bervariasi mulai pangan, sandang, papan, Pendidikan, membaiknya kehidupan politik hingga kesejahteraan sosial budaya dan sosial.
Begitu menumpuknya kehendak ataupun harapan masyarakat jika tak terpenuhi maka situasi itu bisa diperkirakan bakal membuka peluang munculnya teroris serta terorisme pada berbagai lapisan masyarakat.
Karena itu, rakyat tentu berharap agar Mahfud MD, Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Idham Azis, Kepala BIN, Jenderal Polisi (Purnawirawan) Budi Gunawan dan Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius, untuk menyusun rencana jangka menengah dan Panjang guna mencegah muncul dan berkembangnya terorisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini,
Yakinkan rakyat bahwa tidak akan lahir lagi kegiatan teror seperti di Sarinah (Jakarta) di Denpasar (Bali) di Surabaya (Jawa Timur) hingga Samarinda (Kalimantan Timur).
*) Arnaz Firman, wartawan Kantor Berita ANTARA pada 1982-2018, meliput kegiatan kepresidenan pada 1987-2009