Jakarta (ANTARA) - Presiden RI Joko Widodo mengakui bahwa pemekaran wilayah Papua merupakan aspirasi dari bawah, bukan perintahnya.
"Lo, (pemekaran) itu 'kan aspirasi dari bawah yang saya temui waktu dialog. Keinginan-keinginan mereka. Keinginan beliau-beliau tokoh-tokoh yang ada di Pegunungan Tengah," kata Presiden Jokowi dalam acara diskusi mingguan dengan wartawan kepresidenan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memastikan rencana pemerintah untuk memekarkan wilayah Papua dengan menambah dua provinsi baru di kawasan tersebut.
Sebagai langkah awal, pemerintah memastikan pembentukan satu provinsi baru yang akan dinamai Papua Selatan.
Baca juga: Presiden : sementera harga gas industri tidak naik
Provinsi baru ini akan memasukkan sebagian daerah Provinsi Papua, yaitu Kabupaten Mappi, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Merauke. Namun, Tito belum memerinci pasti waktu rencana pemekaran itu akan dimulai.
"Saya pada posisi mendengar, lo. Saya pada posisi mendengar. Bukan saya menawarkan atau saya memerintahkan, ndak lo, ndak, ndak," kata Presiden.
Pemekaran provinsi sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di masing-masing pulau di Tanah air sejak era kemerdekaan Indonesia hingga 2014 sebelum program moratorium berlangsung.
"Saya sampaikan bahwa sampai saat ini pemerintah masih moratorium pemekaran. Akan tetapi, tokoh-tokoh menyampaikan bahwa di Pegunungan Tengah memerlukan pemekaran provinsi baru. Jawaban saya saat itu adalah akan saya tindak lanjuti dengan kajian-kajian dengan kalkukasi yang matang," ungkap Presiden.
Sementara itu, Ketua MRP Timotius Murib menegaskan bahwa penambahan dua wilayah tingkat satu yang baru di Papua, bukan solusi dari persoalan yang dialami rakyat Papua selama ini.
Baca juga: Presiden ungkapkan ancaman resesi ekonomi tahun depan
Alih-alih menyetujui, Timo mengatakan bahwa wacana pembentukan dua provinsi baru akan memicu konflik horizontal antara sesama rakyat yang wilayahnya akan dimekarkan.
MRP merupakan lembaga resmi negara yang khusus ada di Papua. MRP punya kewenangan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
"Dalam sebuah negara besar, apalagi dalam forum besar seperti di Papua, ya, dalam negara demokrasi ini perbedaan-perbedaan 'kan biasa. Akan tetapi, yang paling penting, apa yang baik buat negara akan saya putuskan," ungkap Presiden.
Namun, Presiden menegaskan hal yang akan dilakukan saat ini barulan melakukan kajian.
"'Kan saya baru menyampaikan akan saya tindak lanjuti dengan kajian-kajian. Wong masih moratorium," kata Presiden.