Yogyakarta (Antara Bali) - Indonesia tercatat sebagai negara dengan penyebaran infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tercepat di Asia, sementara jumlah kasus HIV di dunia mencapai angka sekitar 34 juta orang.
"Data Epidemic Update mencatat, penderita Aquaired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di Indonesia terjangkit dengan tingkat penyebaran HIV tercepat di Asia," kata Dosen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Departemen Dermatologi dan Venerologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Angela Satiti Retno Pudjiati dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, penyakit infeksi HIV dan AIDS saat ini sudah menjadi pandemi global yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.
Ia mengatakan, dari 34 juta orang yang terkena kasus HIV di dunia, lebih dari 95 persen yang terinfeksi HIV menyebabkan kematian dan terjadi di negara berkembang.
Hal ini, disebabkan kondisi sosial, kemiskinan dan kurangnya pelayanan kesehatan, katanya.
"Untuk itu, pasien immunocompromised karena infeksi HIV membutuhkan terapi antiretrovial (ARV) sepanjang hidupnya. Sementara pada era dimulainya terapi HIV dengan obat ARV, problem utama yang dihadapi adalah reaksi alergi terhadap obat," jelas dia.
Angela menuturkan, reaksi alergi terhadap obat 100 kali lebih sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV, dibandingkan populasi umum akibat pemberian obat ARV. Sementara itu, obat ARV yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah nevirapine.
Ia menambahkan, manifestasi klinis alergi obat pun bervariasi, dari yang ringan seperti eksantema kulit (rash) hingga manifestasi berat berupa sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dan sering juga melibatkan organ ekstrakutan seperti hepar, ginjal dan sumsung tulang yang menyebabkan kematian, sehingga seringkali obat harus dihentikan.
Beberapa faktor genetik dan non-genetik, menurut Angela, dapat memodifikasi aksi obat sehingga tanggapan pada individu yang berbeda terhadap obat tertentu sangat bervariasi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Data Epidemic Update mencatat, penderita Aquaired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di Indonesia terjangkit dengan tingkat penyebaran HIV tercepat di Asia," kata Dosen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Departemen Dermatologi dan Venerologi, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Angela Satiti Retno Pudjiati dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kesehatan dan Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM, di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, penyakit infeksi HIV dan AIDS saat ini sudah menjadi pandemi global yang menimbulkan dampak kesehatan, sosial, ekonomi dan politik.
Ia mengatakan, dari 34 juta orang yang terkena kasus HIV di dunia, lebih dari 95 persen yang terinfeksi HIV menyebabkan kematian dan terjadi di negara berkembang.
Hal ini, disebabkan kondisi sosial, kemiskinan dan kurangnya pelayanan kesehatan, katanya.
"Untuk itu, pasien immunocompromised karena infeksi HIV membutuhkan terapi antiretrovial (ARV) sepanjang hidupnya. Sementara pada era dimulainya terapi HIV dengan obat ARV, problem utama yang dihadapi adalah reaksi alergi terhadap obat," jelas dia.
Angela menuturkan, reaksi alergi terhadap obat 100 kali lebih sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV, dibandingkan populasi umum akibat pemberian obat ARV. Sementara itu, obat ARV yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah nevirapine.
Ia menambahkan, manifestasi klinis alergi obat pun bervariasi, dari yang ringan seperti eksantema kulit (rash) hingga manifestasi berat berupa sindroma Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dan sering juga melibatkan organ ekstrakutan seperti hepar, ginjal dan sumsung tulang yang menyebabkan kematian, sehingga seringkali obat harus dihentikan.
Beberapa faktor genetik dan non-genetik, menurut Angela, dapat memodifikasi aksi obat sehingga tanggapan pada individu yang berbeda terhadap obat tertentu sangat bervariasi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016