Denpasar (Antara Bali) - Direktur PT Srikandi Hayu Mandiri (SHM) Nazarudin Latief menilai, pembongkaran bangunan "The Wave" Kuta, Kabupaten Badung,  oleh Inna Natour pada 3 Februari 2011 merupakan bentuk pemaksaan atau arogansi Dirut PT Hotel Indonesia Natour (HIN) IGK Heryadi Angligan.

Melalui surat elektroniknya yang diterima ANTARA di Denpasar, Selasa, Nazarudin mengatakan, pembongkaran tersebut, sebagai upaya penguasaan aset PT SHM secara sepihak dengan mengenyampingkan fakta hukum yang ada yaitu, perjanjian kerja sama antara PT SHM dengan PT HIN yang dituangkan dalam BOT No 48 tertanggal 18 Desember 2002.

"Perbuatan IGK Heryadi Angligan itu dilakukan secara sewenang-wenang dengan memanipulasi peraturan yang berlaku dan sangat sistematis. Tindakan arogansi tersebut telah nyata-nyata merugikan kami selaku investor," katanya.

Ia mengatakan, selain arogan, Angligan juga telah melakukan pembohongan publik dengan tidak mengakui keberadaan PT SHM dalam pengelolaan restoran dan cafe di area Hotel Inna Kuta Beach.

Menurut dia, berdasarkan evaluasi dan analisa dari hasil pertemuan antara PT HIN dan PT Inna Kuta Beach yang difasilitasi Pemkab Badung, 13 Januari 2011 diputuskan bahwa segala perizinan yang dimiliki PT SHM adalah sah dan valid.

"Sehingga keberadaan kami tidak terbantahkan dan kami bisa pertanggungjawabkan," ujarnya.

Ia menjelaskan, pada 3 Februari 2011, General Manager Hotel Inna Kuta Beach Made Merta, atas perintah Angligan telah melakukan pengambilan isi perabot yang ada di dalam bangunan restoran dan cafe yang merupakan obyek perjanjian kerja sama BOT No. 48 tanggal 18 Desember 2002.

"Selanjutnya, Hotel Inna Kuta Beach melakukan pemagaran, pembongkaran dan perusakan serta menguasai objek The Wave secara sepihak dan inprosedural," katanya.

Sejarah pengelolaan The Wave oleh PT SHM sendiri, tutur Nazarudin, memiliki legitimasi dari Menteri BUMN waktu itu, Laksamana Sukardi, setelah melalui proses tender berdasarkan surat bernomor 1300/Dirut/HIN/09/2001 tertanggal 24 September 2001 untuk tiga paket pengerjaan yaitu, hotel, butik dan spa di Grand Bali Beach Sanur. 

Selain itu, kata dia, pengembangan kamar hotel di Natour Kuta Beach sebanyak 60 unit serta pembangunan pub dan cafe di tempat itu menghabiskan anggaran 28,5 juta dolar AS.

"Atas dasar itu maka keluar izin prinsip kepada PT SHM dari Kementerian BUMN No S-97/M-BUMN/2001, izin prinsip PT HIN No 1658/Dirut/HIN/11/2001 dan surat persetujuan final dari Kementerian BUMN No S-785/M-MBU/2002," kata Nazarudin menjelaskan.

Untuk pengerjaannya, kata Nazarudin, PT SHM membentuk anak perusahaan bernama PT Srikandi Bali Coffee (SBC) dengan menggandeng investor asal Malaysia bernama Liem Wei Hong yang ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT SBC.

Pada perjalanannya, Liem Wei Hong melakukan perubahan akta perusahaan (PT SBC) di hadapan notaris I Gusti Ayu Nilawati, SH pada 11 Juni 2009, dengan memecat Nazarudin Latief dari jabatan direksi.

"Padahal, PT SBC itu semua atas nama saya. SITU HO mulai dari PT SHM dan sampai PT SBC atas nama saya. Kok tiba-tiba saya dipecat dari kepemilikan saham hanya di hadapan notaris tanpa terlebih dahulu melakukan rapat umum pemegang saham (RUPS). PT SBC itu adalah anak perusahaan dari PT SHM," katanya.

Tidak terima dengan kejadian itu, Nazarudin kemudian melaporkan Liem Wei Hong kepada Polda Bali atas tuduhan penistaan dan pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 310 dan 311 KUHP sesuai dengan laporan polisi No.Pol LP/245/V/2009/Dit.Reskrim tanggal 28 Mei 2009, sehingga menjadi buronan pihak kepolisian.

Atas laporan itu pula maka pihak kepolisian kemudian berkoordinasi dengan imigrasi untuk melakukan pencegahan Liem Wei Hong dengan nomor R/1473/VI/2009/Dit.Reskrim tertanggal 30 Juni 2009.

Namun, katanya, dalam kasus ini, Liem Wei Hong menyerahkan bangunan The Wave kepada PT HIN pada 15 Januari 2011.

"Namun hingga sekarang Liem Wei Hong tidak ditangkap oleh Polda Bali. Inilah yang perlu saya tanyakan kepada Polda Bali," katanya.

Di tempat terpisah, Direktur PT HIN IGK Angligan mengaku dirinya tidak berbuat arogan seperti yang dituduhkan Nazarudin.

Kendati begitu, Angligan mengakui jika PT SHM pernah memiliki izin dari Menteri BUMN pada tahun 2001.

Menurut Angligan, sepengetahuan dirinya aset itu telah dijual kepada PT SBC pada tahun 2002. Dengan begitu, PT SHM sudah tidak memiliki lagi hak pengelolaan atas bangunan The Wave.

"Untuk berkoordinasi soal ini sudah kami layangkan surat, tetapi tak pernah sampai. Alamat PT SHM itu tak pernah jelas. Saya sudah laporkan ke Kementeri BUMN dengan apa adanya. Seandainya dulu dia datang ketika kami minta menghadap, mungkin tak begini permasalahannya," kata Angligan.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011