Singaraja, (Antara Bali) - Akademisi Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan, Kota Singaraja, Bali, Dr Drs I Made Ariasa Giri, MPd menyoroti pentingnya implementasi pendidikan karakter mengingat dewasa ini banyak terjadi perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada.
"Degradasi moral yang sudah nyata terjadi dapat dilihat dari banyaknya perilaku korupsi, kriminal, kenakalan remaja seperti tawuran antarpelajar, kebiasaan menyontek, maupun menurunnya tingkat kesopanan," katanya di Kota Singaraja, Bali, Kamis.
Ia mengatakan, di dunia pendidikan di tanah air, dengan mudahnya mengakses informasi dari berbagai media salah satunya melalui internet, peluang para remaja untuk mengakses hal-hal yang bersifat negatif juga semakin besar.
"Pada siswa di sekolah dasar pun sudah banyak ditemukan kasus kekerasan atau `bullying` yang mencoreng dunia pendidikan," kata dia.
Made Ariasa Giri menjelaskan, apabila karakter itu belum berkembang maka acuan perilaku baik atau buruk menjadi kurang jelas. Akibatnya, semua kelompok atau individu membuat acuan masing-masing.
Kondisi ini rentan bermasalah, ada benturan, gesekan bahkan dimungkinkan sampai pada konflik horisontal, sebab semua kelompok mengklaim diri sebagai komunitas yang benar. Karakter seringkali hanya sebatas wacana, dan dalam perkembangan selanjutnya cenderung terjadi krisis.
Dikatakan pula, krisis yang melanda saat ini adalah krisis karakter dan hal itu menjadi krisis sumber daya manusia. Apabila karakter ini belum berkembang maka kualitas sumber daya manusia yang unggul sulit terwujud.
"Krisis sumber daya manusia (SDM) menjadi isu yang sangat mendunia. Maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia," ujar Made Ariasa Giri.
Ariasa menegaskan, pembangunan karakter membutuhkan konsistensi, menyeluruh, dan dalam waktu relatif lama. Berbagai kebijakan dan implementasi, baik oleh pemerintah di pusat, di daerah sampai di satuan pendidikan sungguh sangat jauh dari upaya pembentukan karakter yang diharapkan.
"Kebijakan, implementasi, dan evaluasi mestinya tetap mengacu pada output karakter yang diharapkan. Artinya, kebijakan berkarakter, implementasi berkarakter, dan evaluasi juga harus berkarakter," demikian Ariasa. (gus)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Degradasi moral yang sudah nyata terjadi dapat dilihat dari banyaknya perilaku korupsi, kriminal, kenakalan remaja seperti tawuran antarpelajar, kebiasaan menyontek, maupun menurunnya tingkat kesopanan," katanya di Kota Singaraja, Bali, Kamis.
Ia mengatakan, di dunia pendidikan di tanah air, dengan mudahnya mengakses informasi dari berbagai media salah satunya melalui internet, peluang para remaja untuk mengakses hal-hal yang bersifat negatif juga semakin besar.
"Pada siswa di sekolah dasar pun sudah banyak ditemukan kasus kekerasan atau `bullying` yang mencoreng dunia pendidikan," kata dia.
Made Ariasa Giri menjelaskan, apabila karakter itu belum berkembang maka acuan perilaku baik atau buruk menjadi kurang jelas. Akibatnya, semua kelompok atau individu membuat acuan masing-masing.
Kondisi ini rentan bermasalah, ada benturan, gesekan bahkan dimungkinkan sampai pada konflik horisontal, sebab semua kelompok mengklaim diri sebagai komunitas yang benar. Karakter seringkali hanya sebatas wacana, dan dalam perkembangan selanjutnya cenderung terjadi krisis.
Dikatakan pula, krisis yang melanda saat ini adalah krisis karakter dan hal itu menjadi krisis sumber daya manusia. Apabila karakter ini belum berkembang maka kualitas sumber daya manusia yang unggul sulit terwujud.
"Krisis sumber daya manusia (SDM) menjadi isu yang sangat mendunia. Maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas sumber daya manusia," ujar Made Ariasa Giri.
Ariasa menegaskan, pembangunan karakter membutuhkan konsistensi, menyeluruh, dan dalam waktu relatif lama. Berbagai kebijakan dan implementasi, baik oleh pemerintah di pusat, di daerah sampai di satuan pendidikan sungguh sangat jauh dari upaya pembentukan karakter yang diharapkan.
"Kebijakan, implementasi, dan evaluasi mestinya tetap mengacu pada output karakter yang diharapkan. Artinya, kebijakan berkarakter, implementasi berkarakter, dan evaluasi juga harus berkarakter," demikian Ariasa. (gus)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016