Denpasar (Antara Bali) - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi Bali melakukan aksi unjuk rasa ke DPRD setempat, guna menyampaikan aspirasi menolak program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter (Dikdok).

Ketua IDI Bali dr. Kompyang Gautama di Denpasar, Senin mengatakan pihaknya menolak program pendidikan DLP tersebut, seperti yang tertuang dalam pasal 7 dan 8 UU itu mewajibkan dokter yang sudah menyelesaikan pendidikan diharuskan untuk melanjutkan lagi ke pendidikan DLP selama tiga tahun. Mereka mendesak UU tersebut direvisi, sebab dinilai mubazir dan mengganggu sistem pelayanan.

Setelah mereka berorasi, perwakilan IDI Bali diterima oleh Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama, Ketua Komisi I Ketut Tama Tenaya, Ketua Komisi III Nengah Tamba dan sejumlah anggota dewan lainnya.

Menurut Gautama, berbagai usaha telah dilakukan untuk menyadarkan pemerintah mengenai persoalan yang dihadapi para dokter di seluruh Indonesia. Aksi kali ini juga dilakukan bertepatan dengan HUT Ke-66 IDI

"Kami meminta agar UU Pendidikan Kedokteran di evaluasi dan kami meminta agar pasal 7 dan pasal 8 dihilangkan," ujarnya.

Ia mengatakan lahirnya UU tentang Pendidikan Kedokteran itu dinilai merugikan anggaran negara karena akan terjadi pemborosan.

Sebab, negara harus menyekolahkan ribuan dokter di seluruh Indonesia. UU harus segera dievaluasi dan direvisi, karena selain dianggap mubazir dan akan menghabiskan banyak waktu dan menggangu pelayanan masyarakat.

Alasan penolakan, kata dia, karena masalahnya bukan di dokter, tapi persoalan pelayanan primer adalah ada di sistem pelayanan, sistem pendidikam dan sistem rujukan. Kalau dibandingkan dengan ilmu yang lain, dalam empat tahun sudah bisa mendapatkan gelar sarjana (S1), kalau mereka melanjutkan sampai empat tahun mereka sudah bisa menyelesaikan pendidikannya sampai S3.

Sementara di fakultas kedokteran baru akan mendapat gelar dokter setelah menyelesaikan pendidikan selama 8 tahun.

"Masyarakat yang ingin jadi dokter minimal harus menempuh 11-12 tahun. Siapa yang mau melanjutkan kedokteran. Kalau ditambah lagi dengan pendidikan PDL tiga tahun berarti setelah 11 tahun baru selesai dan baru bisa praktek di puskesmas. Hal itulah yang menyebakan UU tersebut harus direvisi," ujarnya.

Gautama menambahkan, terkait kompetensi dokter, ia menilai kalau sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sudah cukup. Pihaknya berharap dari aspirasi yang disampaikan, IDI meminta agar anggota Dewan bisa memperjuangan dan membuat rekomendasi agar UU Dikdok direvisi. Atas penyampaian aspirasi dari IDI Bali.

"Di Fakultas Kedokteran Unud, para dokter bergelar doktor dan profesor banyak dengan akreditasi A. Apalagi yang perlu dikhawatirkan," katanya.

Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan segera menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan membuat rekomendasi ke pemerintah pusat.

"Kami melihat bahwa UU ini tidak membuat nyaman, akan tetapi justru meresahkan. Sehingga dengan alasan itu, kami akan segera membuat rekomendasi soal penolakan IDI agar UU ini segera direvisi," katanya.

Ia juga menilai, pendidikan DLP yang disesuaikan dengan standar organisasi kesehatan dunia (WHO) itu akan sangat lama dan melelahkan.

"Padahal profesi dokter kita sudah cukup optimal. Kalau mereka dituntut lagi untuk sekolah kompetensi tiga tahun, sementara di S1 mereka sudah menempuh waktu 8 tahun, maka ini akan membosankan. Hari ini kami buat rekomendasi dan kami sampaikan faktanya yang terjadi di lapangan bahwa UU itu telah membuat keresahan. Intinya hasilnya dari awal sudah begini, kami khawatir nantinya tidak akan baik seperti apa yang kita harapkan," kata Adi Wiryatama.(WDY)

Pewarta: Pewarta: I Komang Suparta

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016