Jakarta (Antara Bali) - Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyoroti persoalan sejumlah kapal penangkap ikan di Teluk Benoa, Provinsi Bali, yang ditengarai tidak memiliki perizinan sebagaimana aturan yang berlaku.
"Kami juga sedang menyelidiki persoalan-persoalan yang ada di Teluk Benoa," kata Menteri Susi di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta, Rabu.
Menurut Susi, di kawasan tersebut diduga sudah ada lebih dari 30-an kapal ikan eks Taiwan yang "berganti baju" menjadi kapal dalam negeri.
Padahal, Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan bahwa kapal itu seperti manusia yang tidak semudah itu bergonta-ganti kewarganegaraan.
Sebagaimana diketahui, ada ratusan kapal nelayan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) dari Benoa-Bali yang memilih berhenti beroperasi mulai 1 Oktober.
Hal tersebut dilakukan antara lain karena tidak tahan dengan sejumlah aturan-aturan yang menyulitkan operasi untuk penangkapan ikan seperti larangan "transshipment" (alih muatan di tengah laut) dan lamanya menunggu perpanjangan perizinan.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan saat ini adalah waktu untuk memanfaatkan momentum bagi nelayan tradisional Republik Indonesia untuk berdaulat memanfaatkan hasil laut dari kawasan perairan nasional.
"Ikan cukup banyak tersedia, dan kapal-kapal asing sudah dilarang untuk menangkap ikan di perairan RI. Momentum penting bagi nelayan RI untuk berdaulat dan menangkap ikan di wilayah yurisdiksi RI," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar.
Untuk itu, KKP juga mengimbau agar nelayan di berbagai daerah tetap melaut dan mencari nafkah sesuai dengan surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan yang telah diberikan.
Menurut Zulficar, pihaknya menyesalkan adanya seruan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) kepada nelayan tuna di Benoa, Bali untuk mengikat kapal longline mereka di pelabuhan dan menghentikan aktivitas penangkapan ikan, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan KKP.
KKP juga menghimbau agar ATLI tidak melarang nelayan dan anggotanya untuk melaut, karena akan merugikan nelayan itu sendiri. Ratusan nelayan lokal yang selama ini tidak bermasalah di Benoa, Bali, jangan sampai terkena dampak atas pelarangan dari ATLI.
"KKP justru mendorong ATLI untuk membantu dan memfasilitasi anggotanya agar semuanya memenuhi ketentuan dan aturan yang ada, sehingga bisa melaut dengan aman dan hasil tangkapannya bisa diserap oleh pasar dengan harga yang baik," katanya.
Zulficar menjelaskan, "transhipment" atau bongkar muat ikan di tengah laut telah dilarang sesuai Permen 57 Tahun 2014 tentang pelarangan transhipment.
Hal itu karena bongkar muat di tengah laut disinyalir telah menjadi salah satu modus/indikator utama ikan Indonesia dijarah dan dilarikan keluar negeri secara ilegal.
"Transhipment ini telah lama merugikan nelayan dan negara. Menguntungkan segelintir pihak. Sudah sejak lama transhipment secara ilegal telah diidentifikasi sebagai salah satu modus IUU Fishing. Untuk itu, nelayan diharapkan tidak mentolerir praktek transhipment tersebut," tegas Zulficar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Kami juga sedang menyelidiki persoalan-persoalan yang ada di Teluk Benoa," kata Menteri Susi di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Jakarta, Rabu.
Menurut Susi, di kawasan tersebut diduga sudah ada lebih dari 30-an kapal ikan eks Taiwan yang "berganti baju" menjadi kapal dalam negeri.
Padahal, Menteri Kelautan dan Perikanan mengingatkan bahwa kapal itu seperti manusia yang tidak semudah itu bergonta-ganti kewarganegaraan.
Sebagaimana diketahui, ada ratusan kapal nelayan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) dari Benoa-Bali yang memilih berhenti beroperasi mulai 1 Oktober.
Hal tersebut dilakukan antara lain karena tidak tahan dengan sejumlah aturan-aturan yang menyulitkan operasi untuk penangkapan ikan seperti larangan "transshipment" (alih muatan di tengah laut) dan lamanya menunggu perpanjangan perizinan.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan saat ini adalah waktu untuk memanfaatkan momentum bagi nelayan tradisional Republik Indonesia untuk berdaulat memanfaatkan hasil laut dari kawasan perairan nasional.
"Ikan cukup banyak tersedia, dan kapal-kapal asing sudah dilarang untuk menangkap ikan di perairan RI. Momentum penting bagi nelayan RI untuk berdaulat dan menangkap ikan di wilayah yurisdiksi RI," kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar.
Untuk itu, KKP juga mengimbau agar nelayan di berbagai daerah tetap melaut dan mencari nafkah sesuai dengan surat izin penangkapan ikan atau surat izin kapal pengangkut ikan yang telah diberikan.
Menurut Zulficar, pihaknya menyesalkan adanya seruan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) kepada nelayan tuna di Benoa, Bali untuk mengikat kapal longline mereka di pelabuhan dan menghentikan aktivitas penangkapan ikan, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan KKP.
KKP juga menghimbau agar ATLI tidak melarang nelayan dan anggotanya untuk melaut, karena akan merugikan nelayan itu sendiri. Ratusan nelayan lokal yang selama ini tidak bermasalah di Benoa, Bali, jangan sampai terkena dampak atas pelarangan dari ATLI.
"KKP justru mendorong ATLI untuk membantu dan memfasilitasi anggotanya agar semuanya memenuhi ketentuan dan aturan yang ada, sehingga bisa melaut dengan aman dan hasil tangkapannya bisa diserap oleh pasar dengan harga yang baik," katanya.
Zulficar menjelaskan, "transhipment" atau bongkar muat ikan di tengah laut telah dilarang sesuai Permen 57 Tahun 2014 tentang pelarangan transhipment.
Hal itu karena bongkar muat di tengah laut disinyalir telah menjadi salah satu modus/indikator utama ikan Indonesia dijarah dan dilarikan keluar negeri secara ilegal.
"Transhipment ini telah lama merugikan nelayan dan negara. Menguntungkan segelintir pihak. Sudah sejak lama transhipment secara ilegal telah diidentifikasi sebagai salah satu modus IUU Fishing. Untuk itu, nelayan diharapkan tidak mentolerir praktek transhipment tersebut," tegas Zulficar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016