Denpasar (Antara Bali) - Dinas Kebudayaan Provinsi Bali mengundang para seniman untuk mendiskusikan pengembangan kesenian drama gong yang dinilai mulai kehilangan peminatnya dalam beberapa dasawarsa.

"Drama gong lahir tahun 1966 atau 50 tahun silam dan kami rasa perlu diteruskan masa-masa kejayaan drama gong seperti yang terjadi pada era 1970-an hingga 1980-an," kata budayawan Prof Dr I Made Bandem saat memandu acara diskusi dengan para seniman tersebut, di Denpasar, Rabu.

Menurut Bandem, untuk pengembangan kesenian drama gong itu hendaknya harus fleksibel, meskipun tetap harus menggunakan pakem-pakem tertentu sebagai pedoman dasar.

Bandem mengemukakan, gaya yang ditampilkan para pemain drama gong akan sangat terkait dengan cerita yang diangkat, termasuk penggunaan kostum pemain. Di samping yang tidak kalah penting adalah penggunaan bahasa dan esensi dari cerita yang ditampilkan.

"Harapan saya, suatu saat drama gong juga bisa dipentaskan ke luar negeri sebagai kesenian yang menjadi identitas Bali. Oleh karena itu, mari dipikirkan strategi supaya drama gong juga bisa dikenal oleh orang luar Bali," ucapnya yang juga didampingi oleh Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Ni Wayan Sulastriani itu.

Bandem berpandangan kesenian drama gong belakangan semakin surut pamornya karena kesulitan untuk mencari "bintang" yang akan bermain dalam pentas drama tersebut. Hal itu disebabkan karena sekarang tidak ada lagi "sekaa sebunan" atau kelompok kesenian masyarakat yang mau serius menggeluti drama gong.

Sementara seniman I Wayan Sugita mengatakan drama gong harus tetap menonjolkan penggunaan bahasa Bali agar sesuai dengan pengertian dasar drama gong.

"Pengalaman saat membawakan drama gong ke luar Bali, khususnya ke daerah-daerah transmigran, mereka meminta agar drama gong tetap dipentaskan menggunakan bahasa Bali. Warga transmigran justru merasa kangen dengan penggunaan tata bahasa Bali," ucapnya.

Sugita menambahkan, yang perlu diperhatikan untuk pengembangan drama gong adalah kesepakatan penggunaan gong itu lingkupnya apa saja, di tengah jumlah gong yang sekitar 30 jenis.

Sugita yang biasa berperan sebagai "patih agung" dalam drama gong itu juga menyoroti tata rias wajah dari pemain yang membawakan lelucon (bebondresan) yang dinilai terlalu berlebihan sehingga unsur lucu bukannya ditampilkan lewat dialog tetapi lebih menekankan riasan wajah.

Ada juga seniman I Wayan Juana yang mengatakan bahwa cerita-cerita lama drama gong tetap harus dilestarikan.

"Namun agar diolah juga sesuai dengan konteks kekinian sehingga tidak membuat penonton menjadi cepat bosan," ucap seniman yang terkenal dengan panggilan Dadong Rerod itu.

Seniman Putu Satria berharap ke depan Disbud Bali bisa memfasilitasi lomba cipta naskah drama gong sehingga bisa dijadikan pedoman penggunaan tata bahasa yang baik.

Abu Bakar, salah satu seniman di bidang sastra ini mengingatkan bahwa kesenian pada hakikatnya terus berkembang. Yang penting ciri khasnya tetap dipertahankan. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016