Johannesburg (Antara Bali) - Gajah hutan Afrika yang langka dan berperan
penting menyeimbangkan ekosistem hutan hujan tropis Afrika Tengah
memerlukan waktu sekitar seabad untuk pulih dari serangan pemburu
gading, demikian hasil suatu kajian, Rabu.
Hal itu terjadi lantaran tingkat kelahiran gajah cukup rendah.
Penelitian tersebut dilakukan oleh lembaga yang berpusat di New York, Masyarakat Konservasi Satwa Liar (WCS). Kajian mengenai demografi hewan itu baru pertama dilakukan mengingat sulitnya melacak gajah di hutan.
Namun, medan sulit hutan hujan tropis tak membuat pemburu gentar. Pasalnya mereka telah mengurangi populasi gajah hingga 65 persen dari 2012 sampai 2013.
Turunnya populasi itu disebabkan tingginya permintaan gading dari China dan negara Asia lain yang perekonomiannya cukup baik.
"Dalam periode itu, populasi gajah menurun dari 100 ribu mungkin kini tinggal 70 ribu ekor," kata Peter Wrege dari Cornell University, salah satu peneliti.
"Demi mengembalikan jumlah populasi gajah pada 2002, melihat tingkat kelahirannya, mereka butuh waktu sekitar satu abad untuk kembali pulih," kata Wrege.
Banyak hal dipertaruhkan dalam hal populasi hewan. Biolog menyebut gajah hutan adalah "spesies penting" karena memiliki peran krusial menjaga keseimbangan ekosistem hutan Afrika Tengah, ungkap hasil penelitian yang disiarkan Jurnal Ekologi Terapan.
Tumbuhan bergantung pada gajah untuk proses penyebaran benih via kotorannya, karena hewan besar umumnya mengonsumsi makanan yang banyak.
Ukuran tubuh yang besar dan pola makan gajah di vegetasi tebal itu turut membuat jalur bagi mahluk lebih kecil.
"Struktur hutan akan berubah jika gajah tak lagi melakukan perannya," ujar Wrege.
Kesehatan hutan di Afrika Tengah memiliki efek mendunia karena kawasan itu adalah zona penyerapan karbon kedua terbesar.
Artinya, hutan menyerap karbon, alhasil, memperlambat laju perubahan iklim.
"Gajah hutan menghadapi tingkat perburuan yang tinggi di Afrika, setidaknya 10 sampai 18 persen populasi gajah tewas per tahunnya," ungkap penelitian tersebut.
Gajah hutan merupakan satu dari dua spesies gajah di Afrika.
Jenis lainnya, gajah sabana berukuran lebih besar dan berjumlah agak banyak.
Sementara itu, gajah hutan cukup sulit dilacak keberadaannya, mengingat beberapa spesies mamalia memiliki masa reproduksi yang lambat.
Kajian itu menemukan, gajah betina mulai melahirkan pada umur 23 tahun, lebih lama satu dasawarsa dari gajah sabana.
Gajah hutan betina juga hanya melahirkan anak tiap lima atau enam tahun, sementara gajah sabana memiliki rentang waktu tiga sampai empat tahun.
Sejumlah wilayah perburuan dilakukan di Republik Afrika Tengah dan Republik Demokratis Kongo, dua negara miskin yang memiliki sistem pemerintahan buruk dan ditimpa konflik.
Temuan itu disiarkan jelang pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Johannesburg akhir September. Dalam sesi itu, Zimbabwe dan Namibia akan mendesak izin penjualan stok gadingnya.
Namun usulan itu tampaknya akan ditentang banyak negara Afrika lain.
Pendukung penjualan gading mengatakan, keuntungannya dapat digunakan mendanai program konservasi. Akan tetapi, pihak lain menentangnya karena izin itu akan menjadi kamuflase bagi pemburu, serta membuat produk berbahan hewan terancam punah, misalnya gajah hutan, diterima masyarakat.
Secara keseluruhan, perburuan ilegal gajah di Afrika dinilai telah menurun dari 30 ribu ekor pada 2011. Namun merujuk laporan terbaru, angka saat ini masih terbilang tinggi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Hal itu terjadi lantaran tingkat kelahiran gajah cukup rendah.
Penelitian tersebut dilakukan oleh lembaga yang berpusat di New York, Masyarakat Konservasi Satwa Liar (WCS). Kajian mengenai demografi hewan itu baru pertama dilakukan mengingat sulitnya melacak gajah di hutan.
Namun, medan sulit hutan hujan tropis tak membuat pemburu gentar. Pasalnya mereka telah mengurangi populasi gajah hingga 65 persen dari 2012 sampai 2013.
Turunnya populasi itu disebabkan tingginya permintaan gading dari China dan negara Asia lain yang perekonomiannya cukup baik.
"Dalam periode itu, populasi gajah menurun dari 100 ribu mungkin kini tinggal 70 ribu ekor," kata Peter Wrege dari Cornell University, salah satu peneliti.
"Demi mengembalikan jumlah populasi gajah pada 2002, melihat tingkat kelahirannya, mereka butuh waktu sekitar satu abad untuk kembali pulih," kata Wrege.
Banyak hal dipertaruhkan dalam hal populasi hewan. Biolog menyebut gajah hutan adalah "spesies penting" karena memiliki peran krusial menjaga keseimbangan ekosistem hutan Afrika Tengah, ungkap hasil penelitian yang disiarkan Jurnal Ekologi Terapan.
Tumbuhan bergantung pada gajah untuk proses penyebaran benih via kotorannya, karena hewan besar umumnya mengonsumsi makanan yang banyak.
Ukuran tubuh yang besar dan pola makan gajah di vegetasi tebal itu turut membuat jalur bagi mahluk lebih kecil.
"Struktur hutan akan berubah jika gajah tak lagi melakukan perannya," ujar Wrege.
Kesehatan hutan di Afrika Tengah memiliki efek mendunia karena kawasan itu adalah zona penyerapan karbon kedua terbesar.
Artinya, hutan menyerap karbon, alhasil, memperlambat laju perubahan iklim.
"Gajah hutan menghadapi tingkat perburuan yang tinggi di Afrika, setidaknya 10 sampai 18 persen populasi gajah tewas per tahunnya," ungkap penelitian tersebut.
Gajah hutan merupakan satu dari dua spesies gajah di Afrika.
Jenis lainnya, gajah sabana berukuran lebih besar dan berjumlah agak banyak.
Sementara itu, gajah hutan cukup sulit dilacak keberadaannya, mengingat beberapa spesies mamalia memiliki masa reproduksi yang lambat.
Kajian itu menemukan, gajah betina mulai melahirkan pada umur 23 tahun, lebih lama satu dasawarsa dari gajah sabana.
Gajah hutan betina juga hanya melahirkan anak tiap lima atau enam tahun, sementara gajah sabana memiliki rentang waktu tiga sampai empat tahun.
Sejumlah wilayah perburuan dilakukan di Republik Afrika Tengah dan Republik Demokratis Kongo, dua negara miskin yang memiliki sistem pemerintahan buruk dan ditimpa konflik.
Temuan itu disiarkan jelang pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Johannesburg akhir September. Dalam sesi itu, Zimbabwe dan Namibia akan mendesak izin penjualan stok gadingnya.
Namun usulan itu tampaknya akan ditentang banyak negara Afrika lain.
Pendukung penjualan gading mengatakan, keuntungannya dapat digunakan mendanai program konservasi. Akan tetapi, pihak lain menentangnya karena izin itu akan menjadi kamuflase bagi pemburu, serta membuat produk berbahan hewan terancam punah, misalnya gajah hutan, diterima masyarakat.
Secara keseluruhan, perburuan ilegal gajah di Afrika dinilai telah menurun dari 30 ribu ekor pada 2011. Namun merujuk laporan terbaru, angka saat ini masih terbilang tinggi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016