Bogor (Antara Bali) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB Prof
Bambang Purwantara mengatakan, teknologi reproduksi bisa digunakan untuk
meningkatkan produksi ternak dan mencegah kepunahan satwa.
"Peran teknologi reproduksi sangat penting dalam mendorong kenaikan produktivitas ternak di Indonesia," katanya di Bogor, Jumat.
Ia menjelaskan, satwa endemik Indonesia terus mengalami penurunan populasi di habitat alaminya seperti Badak Sumatera, dan Orangutan. Kedua jenis satwa tersebut memiliki kemampuan reproduksi yang rendah.
Penurunan populasi, lanjutnya, juga diperparah dengan tingginya tingkat perburuan dan konversi hutan untuk kepentingan perkebunan dan industri. Apabila dibiarkan berkembang alamiah, diperkirakan populasi kedua satwa endemik Indonesia akan menuju kepunahan.
Ia menyebutkan, ada tiga generasi teknologi reproduksi yang dikenal saat ini yakni inseminasi buatan (generasi pertama), transfer embrio (generasi kedua) dan produksi embrio in vitro serta varian manipulasinya (generasi ketiga).
"Inseminasi buatan memiliki daya dobrak yang kuat dan luas dalam penyebaran keunggulan mutu genetik ternak," katanya.
Menurutnya, hadirnya teknologi preservasi memungkinkan semen dapat disimpan dalam bentuk cair atau beku, sehingga memungkinkan untuk dapat ditransportasikan ke berbagai wilayah di dunia.
Lebih lanjut dijelaskannya, studi genom yang dihubungkan dengan fertilitas pejantan IB sekarang sedang diarahkan pada dua unsur penting yaitu PRM1 dan miRNA. Bekerjasama dengan dua balai inseminasi buatan (BIB) besar di Indonesia dan koperasi sapi perah yang mulai memiliki sistem pencatatan yang baik.
"Studi ini dapat menjadi solusi dahsyat untuk menyeleksi calon-calon pejantan tangguh yang ada di BIB dan Balai Iseminasi Buatan Daerah," katanya.
Teknologi kedua, yakni transfer embrio. Tapi, operasional transfer embrio tergolong mahal sehingga hanya cocok untuk pemulia bibit unggul. Untuk negara berkembang seperti Indonesai banyak hal yang harus dibangun seperti perbaikan kualitas donor sehingga panen embrio layak transfer per donor meningkat.
Selanjutnya, perbaikan kualitas resipien sehingga angka kebuntingan per transfer lebih baik. Iklim yang kondusif bagi berkembangan industri pembibitan guna mengontrol harga bibit sesuai sifat keunggulannya.
"Membangun industri hormon dan bahan biologi yang membuat biaya tinggi akibat semuanya serba impor," katanya.
Teknologi reproduksi berikutnya, produksi embrio in vitro. Basis dari semua rekayasa sel untuk menghasilkan individu baru adalah prosedur produksi embrio in vitro (IVP) yang meliputi pematangan embrio in vitro (IVM), pembuahan embrio in vitro (IVF) dan kultur embrio in vitro (IVC).
Dari ketiga teknologi reproduksi tersebut, lanjut Bambang, sel punca menjadi harapan baru dalam menjaga populasi satwa.
"Sel punca atau stem cells adalah sel yang belum terbedakan dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel di dalam tubuh," katanya.
Ia mengatakan, sel punca juga mampu memperbaharui diri sehingga dapat menjadi pengganti sel-sel yang rusak. Sel punca yang ada kaitannya dengan reproduksi adalah sel punca spermatogonia (spermatogonial stem cells/SSC) dan sel punca oogonia (ooginal stem cells/OSC).
"Pencangkokan SSC memiliki posisi strategis karena dapat digunakan untuk memperluas peranan pejantan unggul," katanya.
Bambang menambahkan, untuk memaksimalkan produksi semen untuk IB, mempertahankan produksi sperma pada pejantan yang menua atau mati.
"SSC juga kendaraan penting untuk mengintroduksi gen pada populasi," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Peran teknologi reproduksi sangat penting dalam mendorong kenaikan produktivitas ternak di Indonesia," katanya di Bogor, Jumat.
Ia menjelaskan, satwa endemik Indonesia terus mengalami penurunan populasi di habitat alaminya seperti Badak Sumatera, dan Orangutan. Kedua jenis satwa tersebut memiliki kemampuan reproduksi yang rendah.
Penurunan populasi, lanjutnya, juga diperparah dengan tingginya tingkat perburuan dan konversi hutan untuk kepentingan perkebunan dan industri. Apabila dibiarkan berkembang alamiah, diperkirakan populasi kedua satwa endemik Indonesia akan menuju kepunahan.
Ia menyebutkan, ada tiga generasi teknologi reproduksi yang dikenal saat ini yakni inseminasi buatan (generasi pertama), transfer embrio (generasi kedua) dan produksi embrio in vitro serta varian manipulasinya (generasi ketiga).
"Inseminasi buatan memiliki daya dobrak yang kuat dan luas dalam penyebaran keunggulan mutu genetik ternak," katanya.
Menurutnya, hadirnya teknologi preservasi memungkinkan semen dapat disimpan dalam bentuk cair atau beku, sehingga memungkinkan untuk dapat ditransportasikan ke berbagai wilayah di dunia.
Lebih lanjut dijelaskannya, studi genom yang dihubungkan dengan fertilitas pejantan IB sekarang sedang diarahkan pada dua unsur penting yaitu PRM1 dan miRNA. Bekerjasama dengan dua balai inseminasi buatan (BIB) besar di Indonesia dan koperasi sapi perah yang mulai memiliki sistem pencatatan yang baik.
"Studi ini dapat menjadi solusi dahsyat untuk menyeleksi calon-calon pejantan tangguh yang ada di BIB dan Balai Iseminasi Buatan Daerah," katanya.
Teknologi kedua, yakni transfer embrio. Tapi, operasional transfer embrio tergolong mahal sehingga hanya cocok untuk pemulia bibit unggul. Untuk negara berkembang seperti Indonesai banyak hal yang harus dibangun seperti perbaikan kualitas donor sehingga panen embrio layak transfer per donor meningkat.
Selanjutnya, perbaikan kualitas resipien sehingga angka kebuntingan per transfer lebih baik. Iklim yang kondusif bagi berkembangan industri pembibitan guna mengontrol harga bibit sesuai sifat keunggulannya.
"Membangun industri hormon dan bahan biologi yang membuat biaya tinggi akibat semuanya serba impor," katanya.
Teknologi reproduksi berikutnya, produksi embrio in vitro. Basis dari semua rekayasa sel untuk menghasilkan individu baru adalah prosedur produksi embrio in vitro (IVP) yang meliputi pematangan embrio in vitro (IVM), pembuahan embrio in vitro (IVF) dan kultur embrio in vitro (IVC).
Dari ketiga teknologi reproduksi tersebut, lanjut Bambang, sel punca menjadi harapan baru dalam menjaga populasi satwa.
"Sel punca atau stem cells adalah sel yang belum terbedakan dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel di dalam tubuh," katanya.
Ia mengatakan, sel punca juga mampu memperbaharui diri sehingga dapat menjadi pengganti sel-sel yang rusak. Sel punca yang ada kaitannya dengan reproduksi adalah sel punca spermatogonia (spermatogonial stem cells/SSC) dan sel punca oogonia (ooginal stem cells/OSC).
"Pencangkokan SSC memiliki posisi strategis karena dapat digunakan untuk memperluas peranan pejantan unggul," katanya.
Bambang menambahkan, untuk memaksimalkan produksi semen untuk IB, mempertahankan produksi sperma pada pejantan yang menua atau mati.
"SSC juga kendaraan penting untuk mengintroduksi gen pada populasi," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016