Jakarta (Antara Bali) - Peneliti Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) Ali Asghar mengatakan pihaknya menolak usulan Pansus Revisi UU Terorisme yang mencoba mendorong TNI terlibat langsung dalam penindakan terorisme di Indonesia.
"Dengan ini, Puskamnas menolak usulan tersebut. Harus ada kajian ulang terhadap rencana tersebut," kata Ali, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut ia mengatakan istilah perang melawan terorisme adalah perang yang semu yang tidak memenuhi unsur-unsur kategori perang konvensional.
"Aktor-aktor terorisme bersifat 'non-state' dan bahkan 'sub-state'. Karena itu, terorisme didefinisikan sebagai 'extra ordinary crime, artinya teror masih dianggap sebagai kejahatan bukan perang," ujarnya lagi.
Karena itu, kata Ali pula, teror sebagai kejahatan membutuhkan hukum sipil, artinya harus ada pertanggungjawaban.
"Siapa yang bunuh, dengan apa dibunuh, ini semua harus jelas. Kalau menggunakan pendekatan militer, maka yang berlaku adalah hukum perang, tidak perlu ada pertanggungjawaban dan bahkan setiap yang dicurigai akan ditangkap tanpa diadili," kata Ali lagi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tak terhindarkan.
"Revisi UU Terorisme yang sedang berjalan di DPR diharapkan bisa melihat kenyataan bahwa peran TNI tidak bisa dihindari dalam membantu operasi-operasi pemberantasan terorisme," kata Luhut.
Menkopolhukam saat beramah-tamah dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama se-Provinsi Banten di Serang, Jumat (22/7) mengapresiasi TNI yang telah membantu polisi dalam memberantas terorisme.
"Unsur-unsur keamanan bekerja keras untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih personel-personel TNI/Polri yang telah berhasil menaklukkan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso," katanya.
Namun, anggota Komisi I DPR Charles Honoris menilai tidak perlu ada penambahan kewenangan TNI yang berlebihan dalam revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, seperti menjadi "leading sector" dalam pemberantasan teroris.
"Jadi tidak perlu penambahan kewenangan TNI yang berlebihan di dalam revisi UU terorisme, jangan sampai nanti justru menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum, khususnya pada tindakan pemberantasan terorisme," katanya lagi.
Dia mengingatkan, jangan sampai malah terjadi tumpang tindih kebijakan dan undang-undang yang justru memunculkan potensi semakin sulit koordinasi yang dilakukan oleh berbagai institusi.
Charles menjelaskan, kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala tertentu sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
"Dua UU tersebut adalah buah dari reformasi dan sudah mengatur tupoksi TNI termasuk menjaga TNI agar tidak memerangi rakyatnya sendiri. Selain itu, terdapat 14 aturan Operasi Militer Selain Perang atau OMSP," katanya pula. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Dengan ini, Puskamnas menolak usulan tersebut. Harus ada kajian ulang terhadap rencana tersebut," kata Ali, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut ia mengatakan istilah perang melawan terorisme adalah perang yang semu yang tidak memenuhi unsur-unsur kategori perang konvensional.
"Aktor-aktor terorisme bersifat 'non-state' dan bahkan 'sub-state'. Karena itu, terorisme didefinisikan sebagai 'extra ordinary crime, artinya teror masih dianggap sebagai kejahatan bukan perang," ujarnya lagi.
Karena itu, kata Ali pula, teror sebagai kejahatan membutuhkan hukum sipil, artinya harus ada pertanggungjawaban.
"Siapa yang bunuh, dengan apa dibunuh, ini semua harus jelas. Kalau menggunakan pendekatan militer, maka yang berlaku adalah hukum perang, tidak perlu ada pertanggungjawaban dan bahkan setiap yang dicurigai akan ditangkap tanpa diadili," kata Ali lagi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tak terhindarkan.
"Revisi UU Terorisme yang sedang berjalan di DPR diharapkan bisa melihat kenyataan bahwa peran TNI tidak bisa dihindari dalam membantu operasi-operasi pemberantasan terorisme," kata Luhut.
Menkopolhukam saat beramah-tamah dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama se-Provinsi Banten di Serang, Jumat (22/7) mengapresiasi TNI yang telah membantu polisi dalam memberantas terorisme.
"Unsur-unsur keamanan bekerja keras untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih personel-personel TNI/Polri yang telah berhasil menaklukkan pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso," katanya.
Namun, anggota Komisi I DPR Charles Honoris menilai tidak perlu ada penambahan kewenangan TNI yang berlebihan dalam revisi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, seperti menjadi "leading sector" dalam pemberantasan teroris.
"Jadi tidak perlu penambahan kewenangan TNI yang berlebihan di dalam revisi UU terorisme, jangan sampai nanti justru menimbulkan persoalan baru dalam penegakan hukum, khususnya pada tindakan pemberantasan terorisme," katanya lagi.
Dia mengingatkan, jangan sampai malah terjadi tumpang tindih kebijakan dan undang-undang yang justru memunculkan potensi semakin sulit koordinasi yang dilakukan oleh berbagai institusi.
Charles menjelaskan, kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala tertentu sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
"Dua UU tersebut adalah buah dari reformasi dan sudah mengatur tupoksi TNI termasuk menjaga TNI agar tidak memerangi rakyatnya sendiri. Selain itu, terdapat 14 aturan Operasi Militer Selain Perang atau OMSP," katanya pula. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016