London (Antara Bali/Xinhua-OANA) - Perempuan memiliki resiko dua kali lebih besar dibandingkan dengan lelaki untuk terserang cemas, demikian hasil satu studi yang disiarkan pekan ini oleh University of Cambridge.
Selain perempuan, orang muda --yang berusia di bawah 45 tahun-- juga sangat terpengaruh oleh masalah kesehatan mental semacam itu, kata studi tersebut.
Gangguan cemas, yang seringkali terwujud sebagai ketakutan, dan kekhawatiran yang berlebihan, dan kecenderungan untuk menghindari kondisi tekanan berat termasuk pertemuan sosial adalah sebagian dari gangguan kesehatan mental yang paling umum di Dunia Barat.
Telah ada banyak studi yang meneliti jumlah orang yang terpengaruh masalah cemas. Dalam satu upaya untuk mempersatukan bermacam studi, satu tim yang dipimpin oleh para peneliti dari University of Cambridge melakukan kajian global yang sistematis, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi. Dari lebih 1.200 kajian, para peneliti mengidentifikasi 48 studi yang cocok dengan kriteria mereka untuk dimasukkan.
Tim tersebut mendapati seluruh jumlah orang yang terpengaruh tetap tak berubah, dan sebanyak empat dari setiap 100 orang mengalami cemas. Paling banyak orang mengalami cemas berada di Amerika Utara, tempat hampir delapan dari setiap 100 orang terpengaruh, dan jumlah paling sedikit terdapat di Asia Timur, tempat kurang dari tiga dalam 100 orang memiliki masalah mental kesehatan itu.
Orang dengan kondisi kesehatan lain jauh lebih mungkin untuk mengalami gejala semacam itu, kata studi tersebut. Satu dalam 10 orang dewasa, misalnya, penyakit jantung dan pembuluh darah dan hidup di negara barat terpengaruh oleh gangguan cemas umum, dan perempuan memperlihatkan angka lebih tinggi dibandingkan dengna lelaki.
"Gangguan cemas dapat membuat hidup jadi sangat sulit buat sebagian orang dan penting buat layanan kesehatan kami untuk memahami seberapa umum masalah itu dan kelompok orang manay yang menghadapi resiko paling besar," kata Olivia Remes dari University of Cambridge, salah seorang penulis studi tersebut.
Namun, ulasan itu juga memperlihatkan data mengenai sebagian penduduk kurang atau kualitasnya buruk. "Walaupun banyak kelompok telah meneliti topik penting ini, jurang pemisah besar dalam penelitian masih terbuka," kata Loiuse Lafortune, asisten peneliti senior di Cambridge Institute of Public Health. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Selain perempuan, orang muda --yang berusia di bawah 45 tahun-- juga sangat terpengaruh oleh masalah kesehatan mental semacam itu, kata studi tersebut.
Gangguan cemas, yang seringkali terwujud sebagai ketakutan, dan kekhawatiran yang berlebihan, dan kecenderungan untuk menghindari kondisi tekanan berat termasuk pertemuan sosial adalah sebagian dari gangguan kesehatan mental yang paling umum di Dunia Barat.
Telah ada banyak studi yang meneliti jumlah orang yang terpengaruh masalah cemas. Dalam satu upaya untuk mempersatukan bermacam studi, satu tim yang dipimpin oleh para peneliti dari University of Cambridge melakukan kajian global yang sistematis, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi. Dari lebih 1.200 kajian, para peneliti mengidentifikasi 48 studi yang cocok dengan kriteria mereka untuk dimasukkan.
Tim tersebut mendapati seluruh jumlah orang yang terpengaruh tetap tak berubah, dan sebanyak empat dari setiap 100 orang mengalami cemas. Paling banyak orang mengalami cemas berada di Amerika Utara, tempat hampir delapan dari setiap 100 orang terpengaruh, dan jumlah paling sedikit terdapat di Asia Timur, tempat kurang dari tiga dalam 100 orang memiliki masalah mental kesehatan itu.
Orang dengan kondisi kesehatan lain jauh lebih mungkin untuk mengalami gejala semacam itu, kata studi tersebut. Satu dalam 10 orang dewasa, misalnya, penyakit jantung dan pembuluh darah dan hidup di negara barat terpengaruh oleh gangguan cemas umum, dan perempuan memperlihatkan angka lebih tinggi dibandingkan dengna lelaki.
"Gangguan cemas dapat membuat hidup jadi sangat sulit buat sebagian orang dan penting buat layanan kesehatan kami untuk memahami seberapa umum masalah itu dan kelompok orang manay yang menghadapi resiko paling besar," kata Olivia Remes dari University of Cambridge, salah seorang penulis studi tersebut.
Namun, ulasan itu juga memperlihatkan data mengenai sebagian penduduk kurang atau kualitasnya buruk. "Walaupun banyak kelompok telah meneliti topik penting ini, jurang pemisah besar dalam penelitian masih terbuka," kata Loiuse Lafortune, asisten peneliti senior di Cambridge Institute of Public Health. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016