Denpasar (Antara Bali) - Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengajak bupati/wali kota di kawasan Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) untuk "keroyokan" menangani persoalan sampah di Tempat Pembuangan Akhir Suwung.
"Hingga saat ini tumpukan sampah di TPA Suwung, Denpasar sudah menjadi sorotan masyarakat, apalagi letaknya di samping jalan utama," kata Pastika saat memimpin rapat dengan kepala daerah di kawasan Sarbagita, di Denpasar, Senin.
Hal pertama menjadi sorotan adalah kerja sama dengan PT NOEI yang selama ini mengolah sampah, namun kenyataannya tidak bisa dikerjakan dengan baik harus diselesaikan. Berikutnya adalah memikirkan siapa dan bagaimana mengolah sampah itu sendiri.
Dalam kesempatan itu, orang nomor satu di Bali ini mengaku sudah ada sekitar 24 investor baik dari Indonesia maupun manca negara yang tertarik mengelolanya, namun dia berpikir lebih baik jika pemerintah sendiri yang menangani.
"Begitu banyak investor tertarik di sana, pastinya ini (pengelolaan sampah) menguntungkan. Jadi kenapa bukan kita yang ambil alih secara bersama-sama tanam modal di sana, kan persoalannya bisa lebih gampang," ujarnya.
Secara terinci, Pastika menjabarkan hitungan dari pemanfaatan pengelolaan sampah itu. Menurut dia, hingga saat ini produksi sampah di TPA yang luasnya sekitar 30 hektare itu, rata-rata sebanyak 4,632 meter kubik/hari atau setara dengan 1.544 ton/hari dan saat ini gunungan sampah menumpuk setinggi kurang lebih 12 meter lebih dan sudah berlangsung dari tahun 1984. Ke depan diperkirakan TPA itu tidak akan bisa menampung lagi karena mengalami peningkatan sebanyak 2-4 persen per tahun.
"Untuk bikin TPA lagi kita nggak ada lahan, makanya perlu pengelolaan yang benar sekarang," ucapnya.
Beberapa investor sudah melakukan penjajakan dan presentasi ke hadapannya, dan secara umum mereka menginginkan penerapan tipping fee (setiap truk yang membuang sampah ke TPA harus membayar) dan kesiapan lahan baru yang bebas sampah yang dekat dengan lokasi TPA eksisting.
"Saat ini tiap truk yang buang sampah ke sana hanya bayar Rp2.500-Rp3.500 per truk per ton, itu bisa dikatakan hampir tidak bayar," ujarnya.
Menurut dia, sesuai kesepakatan di PBB, tipping fee untuk satu truk per ton adalah USD 35 atau sekitar Rp. 472.500 (kurs 1 USD = Rp. 13.500). "Jika kita hitung secara kasar, produksi sampah per hari 1.500 ton per hari dikalikan Rp472.500 perhari kita bisa dapat lebih dari Rp700 juta atau lebih dari 250 miliar per tahun," kata Pastika.
Selain melalui tipping fee, dia juga menyatakan jika PLN Bali sudah tertarik membeli listrik dari pengolahan sampah di Suwung. Sesuai dengan Permen ESDM No44 tahun 2015, PLN harus membeli listrik dari hasil sampah sebesar USD 20 sen/Kwh.
"Jika saja paling sedikit kita produksi 1.000 ton sampah per hari bisa menghasilkan 10 MW jika dikalikan 20 sen itu kita bisa mendapatkan sekitar Rp143 miliar per tahun, jadi asumsi keuntungan dari tipping fee dan jual listrik bisa mencapai Rp2,008 triliun dalam kurun waktu lima tahun," katanya.
Dengan dipilihnya Bali sebagai proyek percontohan untuk "Center of Excellent for New and Renewable Energy" atau upaya pengelolaan menurut Pastika sudah termasuk pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).
Pada pertemuan tersebut, keempat kepala daerah itu menyatakan dukungannya akan rencana tersebut. Persoalan sampah itu sudah sangat mengganggu terutama karena telah menimbulkan polusi. Namun ada beberapa kendala yang harus dibenahi seperti harus ada penyelesaian yang tuntas dulu dengan PT NOEI dan kekhawatiran akan penerapan tipping fee.
Menurut Bupati Badung Nyoman Giri prasta selama ini masyarakat tidak membayar saat membuang sampah, dikhawatirkan jika diberlakukan akan memberatkan masyarakat.
Sementara Wakil Bupati Gianyar, Agus Mahayastra, menjelaskan bahwa Gianyar saat ini telah mempunyai TPA dan pengolahan sampah sendiri yang terletak di desa Temesi. Jadi diperkirakan sampai sepuluh tahun ke depan Gianyar tidak akan membuang sampah ke Suwung. Namun pihaknya siap untuk mendukung rencana tersebut dan akan berinvestasi jika diperlukan.
Sementara mengenai PT NOEI, Wakil Waliota Jaya Negara menjelaskan bahwa sudah terdapat kesepakatan untuk mengakhiri kerja sama dari Februari yang lalu, namun belum secara resmi karena kedua belah pihak masih mencari waktu yang tepat untuk bertemu dan menandatangani surat penghentian kerja sama.
Menanggapi tentang persoalan tipping fee, menurut Pastika angka di atas adalah hitung-hitungan investor yang presentasi, jadi jika pemerintah sendiri yang menggarap TPA tentu saja bisa ditekan menjadi sekitar USD 15 - USD 20 per truk.
Mengenai masalah masyarakat yang tidak mau membayar, Pastika yakin hal itu tidak tepat karena selama ini pun masyarakat telah bayar sampah terutama yang tinggal di perumahan, Pemkab dan Pemkot sendiri bisa mengakali dengan menaikkan biaya sampah bagi para pengusaha hotel dan restoran. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Hingga saat ini tumpukan sampah di TPA Suwung, Denpasar sudah menjadi sorotan masyarakat, apalagi letaknya di samping jalan utama," kata Pastika saat memimpin rapat dengan kepala daerah di kawasan Sarbagita, di Denpasar, Senin.
Hal pertama menjadi sorotan adalah kerja sama dengan PT NOEI yang selama ini mengolah sampah, namun kenyataannya tidak bisa dikerjakan dengan baik harus diselesaikan. Berikutnya adalah memikirkan siapa dan bagaimana mengolah sampah itu sendiri.
Dalam kesempatan itu, orang nomor satu di Bali ini mengaku sudah ada sekitar 24 investor baik dari Indonesia maupun manca negara yang tertarik mengelolanya, namun dia berpikir lebih baik jika pemerintah sendiri yang menangani.
"Begitu banyak investor tertarik di sana, pastinya ini (pengelolaan sampah) menguntungkan. Jadi kenapa bukan kita yang ambil alih secara bersama-sama tanam modal di sana, kan persoalannya bisa lebih gampang," ujarnya.
Secara terinci, Pastika menjabarkan hitungan dari pemanfaatan pengelolaan sampah itu. Menurut dia, hingga saat ini produksi sampah di TPA yang luasnya sekitar 30 hektare itu, rata-rata sebanyak 4,632 meter kubik/hari atau setara dengan 1.544 ton/hari dan saat ini gunungan sampah menumpuk setinggi kurang lebih 12 meter lebih dan sudah berlangsung dari tahun 1984. Ke depan diperkirakan TPA itu tidak akan bisa menampung lagi karena mengalami peningkatan sebanyak 2-4 persen per tahun.
"Untuk bikin TPA lagi kita nggak ada lahan, makanya perlu pengelolaan yang benar sekarang," ucapnya.
Beberapa investor sudah melakukan penjajakan dan presentasi ke hadapannya, dan secara umum mereka menginginkan penerapan tipping fee (setiap truk yang membuang sampah ke TPA harus membayar) dan kesiapan lahan baru yang bebas sampah yang dekat dengan lokasi TPA eksisting.
"Saat ini tiap truk yang buang sampah ke sana hanya bayar Rp2.500-Rp3.500 per truk per ton, itu bisa dikatakan hampir tidak bayar," ujarnya.
Menurut dia, sesuai kesepakatan di PBB, tipping fee untuk satu truk per ton adalah USD 35 atau sekitar Rp. 472.500 (kurs 1 USD = Rp. 13.500). "Jika kita hitung secara kasar, produksi sampah per hari 1.500 ton per hari dikalikan Rp472.500 perhari kita bisa dapat lebih dari Rp700 juta atau lebih dari 250 miliar per tahun," kata Pastika.
Selain melalui tipping fee, dia juga menyatakan jika PLN Bali sudah tertarik membeli listrik dari pengolahan sampah di Suwung. Sesuai dengan Permen ESDM No44 tahun 2015, PLN harus membeli listrik dari hasil sampah sebesar USD 20 sen/Kwh.
"Jika saja paling sedikit kita produksi 1.000 ton sampah per hari bisa menghasilkan 10 MW jika dikalikan 20 sen itu kita bisa mendapatkan sekitar Rp143 miliar per tahun, jadi asumsi keuntungan dari tipping fee dan jual listrik bisa mencapai Rp2,008 triliun dalam kurun waktu lima tahun," katanya.
Dengan dipilihnya Bali sebagai proyek percontohan untuk "Center of Excellent for New and Renewable Energy" atau upaya pengelolaan menurut Pastika sudah termasuk pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).
Pada pertemuan tersebut, keempat kepala daerah itu menyatakan dukungannya akan rencana tersebut. Persoalan sampah itu sudah sangat mengganggu terutama karena telah menimbulkan polusi. Namun ada beberapa kendala yang harus dibenahi seperti harus ada penyelesaian yang tuntas dulu dengan PT NOEI dan kekhawatiran akan penerapan tipping fee.
Menurut Bupati Badung Nyoman Giri prasta selama ini masyarakat tidak membayar saat membuang sampah, dikhawatirkan jika diberlakukan akan memberatkan masyarakat.
Sementara Wakil Bupati Gianyar, Agus Mahayastra, menjelaskan bahwa Gianyar saat ini telah mempunyai TPA dan pengolahan sampah sendiri yang terletak di desa Temesi. Jadi diperkirakan sampai sepuluh tahun ke depan Gianyar tidak akan membuang sampah ke Suwung. Namun pihaknya siap untuk mendukung rencana tersebut dan akan berinvestasi jika diperlukan.
Sementara mengenai PT NOEI, Wakil Waliota Jaya Negara menjelaskan bahwa sudah terdapat kesepakatan untuk mengakhiri kerja sama dari Februari yang lalu, namun belum secara resmi karena kedua belah pihak masih mencari waktu yang tepat untuk bertemu dan menandatangani surat penghentian kerja sama.
Menanggapi tentang persoalan tipping fee, menurut Pastika angka di atas adalah hitung-hitungan investor yang presentasi, jadi jika pemerintah sendiri yang menggarap TPA tentu saja bisa ditekan menjadi sekitar USD 15 - USD 20 per truk.
Mengenai masalah masyarakat yang tidak mau membayar, Pastika yakin hal itu tidak tepat karena selama ini pun masyarakat telah bayar sampah terutama yang tinggal di perumahan, Pemkab dan Pemkot sendiri bisa mengakali dengan menaikkan biaya sampah bagi para pengusaha hotel dan restoran. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016