Denpasar (Antara Bali) - Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia menilai sejumlah sosok petani di Subak Sembung, Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar memiliki idealisme tinggi untuk mempertahankan lahan pertaniannya.
"Pemerintah Kota Denpasar dan semua pihak hendaknya dapat memberikan apresiasi yang tinggi untuk melestarikan Kawasan Subak, selain memenuhi kebutuhan pangan juga merupakan sumber oksigen di ibukota Provinsi Bali," kata Ketua Puslit Subak Unud Prof Dr Wayan Windia di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, tidak banyak penduduk miskin seperti halnya petani (anggota subak), yang tanpa sadar telah memberikan banyak andil kepada masyarakat sekitarnya, seperti memberikan oksigen yang berlimpah kepada penduduk Kota Denpasar.
"Kalau tidak ada kawasan hijau di Subak Sembung, mungkin saja suhu pada beberapa kawasan di Kota Denpasar bisa mencapai 40 derajat celcius. Demikian juga banjir akan semakin merajalela dan tidak ada pemandangan (view) bagi penduduk yang menginginkan kesegaran jiwanya," ujarnya.
Semua itu berkat Kawasan Subak merupakan media untuk penyelenggaraan aktivitas kultural. Oleh sebab itu UNESCO mengakui Subak sebagai warisan budaya dunia (WBD), karena Subak adalah bagian dari bamper kebudayaan Bali.
Ia mengharapkan Pemkot Denpasar hendaknya dengan setulus hati memberikan perhatian kepada Subak Sembung, Peguyangan.
Jalan setapak di kawasan Subak Sembung harus segera dituntaskan.
Dengan demikian kawasan subak tersebut akan menjadi arena bagi masyarakat untuk berkeliling kawasan subak, guna menikmati pemandangan hijau nan sangat indah.
Windia mengingatkan, demikian juga pendampingan terhadap petani harus dilakukan dengan tekun sepanjang tahun, guna pengembangan pertanian organik.
"Dengan demikian, cocoklah kalau Kawasan Subak Sembung diperkenalkan sebagai kawasan ekowisata," ujar Prof Windia.
Selain itu Subak Sembung juga harus dipersiapkan untuk wisatawan yang ingin mengetahui tentang Sistem Subak secara utuh, sebagai sistem irigasi. Saat ini kawasan sawah di Bali sudah berkurang 750 hektare per tahun.
Subak di Bali kini tinggal hanya sekitar 75.000 hektare . Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan sebagai warisan dunia sudah rusak parah. Tinggal dihitung saja, entah pada tahun berapa Subak di Bali akan habis dan Pulau Bali akan ditinggalkan oleh wisatawan.
Windia menegaskan, oleh sebab itu pelestarian Subak Sembung sangat penting untuk ekowisata dan wisata oksigen.
Bahkan yang lebih penting lagi untuk orang-orang yang ingin belajar tentang Sistem Subak. Untuk itu, sistem irigasi di Kawasan Subak Sembung harus diperbaiki dan ditata, ujar Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pemerintah Kota Denpasar dan semua pihak hendaknya dapat memberikan apresiasi yang tinggi untuk melestarikan Kawasan Subak, selain memenuhi kebutuhan pangan juga merupakan sumber oksigen di ibukota Provinsi Bali," kata Ketua Puslit Subak Unud Prof Dr Wayan Windia di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, tidak banyak penduduk miskin seperti halnya petani (anggota subak), yang tanpa sadar telah memberikan banyak andil kepada masyarakat sekitarnya, seperti memberikan oksigen yang berlimpah kepada penduduk Kota Denpasar.
"Kalau tidak ada kawasan hijau di Subak Sembung, mungkin saja suhu pada beberapa kawasan di Kota Denpasar bisa mencapai 40 derajat celcius. Demikian juga banjir akan semakin merajalela dan tidak ada pemandangan (view) bagi penduduk yang menginginkan kesegaran jiwanya," ujarnya.
Semua itu berkat Kawasan Subak merupakan media untuk penyelenggaraan aktivitas kultural. Oleh sebab itu UNESCO mengakui Subak sebagai warisan budaya dunia (WBD), karena Subak adalah bagian dari bamper kebudayaan Bali.
Ia mengharapkan Pemkot Denpasar hendaknya dengan setulus hati memberikan perhatian kepada Subak Sembung, Peguyangan.
Jalan setapak di kawasan Subak Sembung harus segera dituntaskan.
Dengan demikian kawasan subak tersebut akan menjadi arena bagi masyarakat untuk berkeliling kawasan subak, guna menikmati pemandangan hijau nan sangat indah.
Windia mengingatkan, demikian juga pendampingan terhadap petani harus dilakukan dengan tekun sepanjang tahun, guna pengembangan pertanian organik.
"Dengan demikian, cocoklah kalau Kawasan Subak Sembung diperkenalkan sebagai kawasan ekowisata," ujar Prof Windia.
Selain itu Subak Sembung juga harus dipersiapkan untuk wisatawan yang ingin mengetahui tentang Sistem Subak secara utuh, sebagai sistem irigasi. Saat ini kawasan sawah di Bali sudah berkurang 750 hektare per tahun.
Subak di Bali kini tinggal hanya sekitar 75.000 hektare . Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan sebagai warisan dunia sudah rusak parah. Tinggal dihitung saja, entah pada tahun berapa Subak di Bali akan habis dan Pulau Bali akan ditinggalkan oleh wisatawan.
Windia menegaskan, oleh sebab itu pelestarian Subak Sembung sangat penting untuk ekowisata dan wisata oksigen.
Bahkan yang lebih penting lagi untuk orang-orang yang ingin belajar tentang Sistem Subak. Untuk itu, sistem irigasi di Kawasan Subak Sembung harus diperbaiki dan ditata, ujar Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016