Denpasar (Antara Bali) - Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali mengapresiasi peran serta Desa Adat Kuta, Kabupaten Badung, yang menyiapkan aturan adat untuk menertibkan kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) ilegal.
"Yang (KUPVA) tidak berizin, karena bukan wilayah Bank Indonesia, saya persilahkan ditindaklanjuti. Ini sangat baik, tetapi barangkali koordinasi dengan Satpol PP, Kesbangpol Linmas dan aparat terkait lainnya," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Dewi Setyowati usai menggelar pertemuan dengan jajaran Desa Adat Kuta dan DPD RI di Denpasar, Senin.
Saat ini, Dewi menjelaskan terdapat 132 KUPVA berizin dengan kantor pusat dan kantor cabang di Bali yang sah memiliki izin sebanyak 611 tersebar di seluruh Pulau Dewata.
Namun dari jumlah tersebut, sebagian besar terpusat di Kabupaten Badung sebanyak 429, Denpasar (80) dan Gianyar (63).
Bank sentral itu, lanjut Dewi, akan lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat termasuk tokoh masyarakat dan tokoh adat.
Bendesa Adat Kuta, Wayan Swarsa menyinyalir bahwa di kawasan wisata itu masih banyak terdapat pedagang valuta asing ilegal.
Namun pihaknya tidak banyak memahami dan belum bisa mengenali pedagang yang berlaku tanpa izin karena ditengari KUPVA yang memiliki izin pun masih banyak membuka operasional dengan izin yang difotokopi atau tidak sesuai dengan ketentuan.
Desa Adat Kuta kini tengah menggodok "Perarem" atau aturan desa adat yang berisi 33 pasal, satu di antaranya mengatur terkait kegiatan usaha tersebut.
"Desa Adat Kuta juga berperan karena ada ranah hukum adat," katanya.
Dalam upaya penertiban itu, Swarsa menjelaskan bahwa pihak desa adat akan menerapkan hukum adat yang disebut "tridanda" atau tiga sanksi yang diberikan kepada pelaku atau pedagang valuta asing ilegal termasuk pemilik lahan apabila pedagang tersebut menyewa tempat.
Tridanda itu terdiri dari "jiwa danda" atau sanksi sosial salah satunya berupa permohonan maaf kepada masyarakat dalam pertemuan adat, "arta danda" yang menyangkut denda materi atau berupa larangan membuka usaha dan "sangaskara danda" yang menyangkut sanksi dalam bentuk upacara tertentu.
"Kami ikut berperan dengan konsep kemitraan dengan aparat terkait. Saat ditemukan (KUPVA ilegal) kami akan koordinasi dengan polisi," imbuhnya.
Rencananya, BI akan melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Desa Adat Kuta dan kepolisian.
Desa Adat Kuta diharapkan menjadi desa percontohan yang menerapkan hukum adat untuk menertibkan KUPVA ilegal.
Usai nota kesepahaman dan aturan desa adat itu disepakati dalam pertemuan tokoh desa adat, maka desa adat akan menerapkan hukum adat tersebut.
Anggota DPD RI, Arya Wedakarna yang turut hadir dalam pertemuan itu memberikan dukungan terkait peran serta desa adat yang menerapkan hukuman adat. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Yang (KUPVA) tidak berizin, karena bukan wilayah Bank Indonesia, saya persilahkan ditindaklanjuti. Ini sangat baik, tetapi barangkali koordinasi dengan Satpol PP, Kesbangpol Linmas dan aparat terkait lainnya," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Dewi Setyowati usai menggelar pertemuan dengan jajaran Desa Adat Kuta dan DPD RI di Denpasar, Senin.
Saat ini, Dewi menjelaskan terdapat 132 KUPVA berizin dengan kantor pusat dan kantor cabang di Bali yang sah memiliki izin sebanyak 611 tersebar di seluruh Pulau Dewata.
Namun dari jumlah tersebut, sebagian besar terpusat di Kabupaten Badung sebanyak 429, Denpasar (80) dan Gianyar (63).
Bank sentral itu, lanjut Dewi, akan lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat termasuk tokoh masyarakat dan tokoh adat.
Bendesa Adat Kuta, Wayan Swarsa menyinyalir bahwa di kawasan wisata itu masih banyak terdapat pedagang valuta asing ilegal.
Namun pihaknya tidak banyak memahami dan belum bisa mengenali pedagang yang berlaku tanpa izin karena ditengari KUPVA yang memiliki izin pun masih banyak membuka operasional dengan izin yang difotokopi atau tidak sesuai dengan ketentuan.
Desa Adat Kuta kini tengah menggodok "Perarem" atau aturan desa adat yang berisi 33 pasal, satu di antaranya mengatur terkait kegiatan usaha tersebut.
"Desa Adat Kuta juga berperan karena ada ranah hukum adat," katanya.
Dalam upaya penertiban itu, Swarsa menjelaskan bahwa pihak desa adat akan menerapkan hukum adat yang disebut "tridanda" atau tiga sanksi yang diberikan kepada pelaku atau pedagang valuta asing ilegal termasuk pemilik lahan apabila pedagang tersebut menyewa tempat.
Tridanda itu terdiri dari "jiwa danda" atau sanksi sosial salah satunya berupa permohonan maaf kepada masyarakat dalam pertemuan adat, "arta danda" yang menyangkut denda materi atau berupa larangan membuka usaha dan "sangaskara danda" yang menyangkut sanksi dalam bentuk upacara tertentu.
"Kami ikut berperan dengan konsep kemitraan dengan aparat terkait. Saat ditemukan (KUPVA ilegal) kami akan koordinasi dengan polisi," imbuhnya.
Rencananya, BI akan melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Desa Adat Kuta dan kepolisian.
Desa Adat Kuta diharapkan menjadi desa percontohan yang menerapkan hukum adat untuk menertibkan KUPVA ilegal.
Usai nota kesepahaman dan aturan desa adat itu disepakati dalam pertemuan tokoh desa adat, maka desa adat akan menerapkan hukum adat tersebut.
Anggota DPD RI, Arya Wedakarna yang turut hadir dalam pertemuan itu memberikan dukungan terkait peran serta desa adat yang menerapkan hukuman adat. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016