Gianyar (Antara Bali) - Berwisata kopi di Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, bertujuan mengenalkan minuman khas Tanah Air dan mendekatkan masyarakat kepada kebudayaan dan alam lingkungan di sekitarnya.
"Konsep wisata kopi di Payangan ini, pengunjung tidak hanya disuguhi keharuman kopi bali dari Kintamani dan Banyuatis, namun juga diajak berinteraksi dengan lingkungan. Khususnya di wilayah Buahan, Girikusuma," ujar Tude Mudarsa, praktisi minuman tradisional di Gianyar, Rabu.
Pengunjung, katanya, bakal diajak berjalan-jalan melintasi kawasan hutan, melihat eksotika jurang, sesekali menjumpai monyet dan memetik langsung kopi hutan yang memiliki kekhasan rasa.
"Bahkan pengunjung dapat mengikuti `training center` mengenai entrepreneur, leadership, sistem bisnis atau mengikuti outbond. Semua disajikan dalam konsep harmonisasi kehidupan yang tertuang dalam sebuah kedai kopi, dengan mengusung tokoh-tokoh pewayangan sebagai salah satu bagian budaya kita," ujarnya.
Jika ingin membawa pulang kopi dengan rasa berbeda, pengunjung bisa membeli Kopi Tualen Robusta kemasan 150 gram dengan harga Rp10 ribu. Kopi Arjuna Robusta-Arabica kemasan 150 gram dijual Rp20 ribu, dan Kopi Hanoman Arabica super dengan kemasan sama harganya Rp30 ribu.
"Sebentar lagi akan diluncurkan Kopi Krisna yang merupakan perpaduan lima kopi tanah air, yakni dari daerah Aceh, Lampung, Bali, Jawa dan Toraja. Kelima kopi itu dimasak dengan lima tingkat kematangan berbeda. Sengaja ada unsur lima, melambangkan kelima Pandawa dalam pewayangan," ujar Tude.
Sejarah kopi, lanjut dia, berawal ketika komandan pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar - India membawa bibitnya masuk ke Indonesia pada tahun 1696. Bibit itu kemudian ditanam di wilayah Pondok Kopi - Jakarta Timur. Sayangnya semua bibit mati karena adanya bencana banjir.
Tahun 1699, bibit kopi kembali didatangkan dan berkembang di Jakarta serta Jawa Barat. Akhirnya kopi menyebar ke berbagai kepulauan di Indonesia, misalnya Sumatera, Bali, Timor dan Sulawesi. Kopi kemudian menjadi komoditas yang sangat diandalkan VOC.
Semenjak Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, perkebunan rakyat terus tumbuh dan berkembang. Perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil di Sumatera.
"Cikal bakal saya mendirikan usaha kopi dalam konsep kedai, karena sejak kecil biasa melihat keluarga membuat kopi sendiri yang dipanggang dengan kuali tanah. Rasanya lain sekali dengan kopi kemasan, karena kematangannya berbeda," ujarnya.
Terdorong kenangan masa kecil ini, Tude membuat usaha, di mana biji-biji kopi di-mix dengan tingkat kematangan berbeda. Kelak, diharapkan usaha kopi ini bisa berkembang dengan sistem penjualan ekspres di tepi jalan dan bisa mensejajarkan diri dengan usaha kopi dari mancanegara. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Konsep wisata kopi di Payangan ini, pengunjung tidak hanya disuguhi keharuman kopi bali dari Kintamani dan Banyuatis, namun juga diajak berinteraksi dengan lingkungan. Khususnya di wilayah Buahan, Girikusuma," ujar Tude Mudarsa, praktisi minuman tradisional di Gianyar, Rabu.
Pengunjung, katanya, bakal diajak berjalan-jalan melintasi kawasan hutan, melihat eksotika jurang, sesekali menjumpai monyet dan memetik langsung kopi hutan yang memiliki kekhasan rasa.
"Bahkan pengunjung dapat mengikuti `training center` mengenai entrepreneur, leadership, sistem bisnis atau mengikuti outbond. Semua disajikan dalam konsep harmonisasi kehidupan yang tertuang dalam sebuah kedai kopi, dengan mengusung tokoh-tokoh pewayangan sebagai salah satu bagian budaya kita," ujarnya.
Jika ingin membawa pulang kopi dengan rasa berbeda, pengunjung bisa membeli Kopi Tualen Robusta kemasan 150 gram dengan harga Rp10 ribu. Kopi Arjuna Robusta-Arabica kemasan 150 gram dijual Rp20 ribu, dan Kopi Hanoman Arabica super dengan kemasan sama harganya Rp30 ribu.
"Sebentar lagi akan diluncurkan Kopi Krisna yang merupakan perpaduan lima kopi tanah air, yakni dari daerah Aceh, Lampung, Bali, Jawa dan Toraja. Kelima kopi itu dimasak dengan lima tingkat kematangan berbeda. Sengaja ada unsur lima, melambangkan kelima Pandawa dalam pewayangan," ujar Tude.
Sejarah kopi, lanjut dia, berawal ketika komandan pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar - India membawa bibitnya masuk ke Indonesia pada tahun 1696. Bibit itu kemudian ditanam di wilayah Pondok Kopi - Jakarta Timur. Sayangnya semua bibit mati karena adanya bencana banjir.
Tahun 1699, bibit kopi kembali didatangkan dan berkembang di Jakarta serta Jawa Barat. Akhirnya kopi menyebar ke berbagai kepulauan di Indonesia, misalnya Sumatera, Bali, Timor dan Sulawesi. Kopi kemudian menjadi komoditas yang sangat diandalkan VOC.
Semenjak Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, perkebunan rakyat terus tumbuh dan berkembang. Perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian kecil di Sumatera.
"Cikal bakal saya mendirikan usaha kopi dalam konsep kedai, karena sejak kecil biasa melihat keluarga membuat kopi sendiri yang dipanggang dengan kuali tanah. Rasanya lain sekali dengan kopi kemasan, karena kematangannya berbeda," ujarnya.
Terdorong kenangan masa kecil ini, Tude membuat usaha, di mana biji-biji kopi di-mix dengan tingkat kematangan berbeda. Kelak, diharapkan usaha kopi ini bisa berkembang dengan sistem penjualan ekspres di tepi jalan dan bisa mensejajarkan diri dengan usaha kopi dari mancanegara. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016