Yogyakarta (Antara Bali) - Masyarakat di Indonesia perlu mengenal konsep
rumah "barrataga" atau bangunan rumah tahan gempa mengingat Indonesia
merupakan wilayah lingkaran api yang memiliki potensi gempa tinggi, kata
seorang pakar gempa.
"Ditargetkan barrataga ini bisa dipahami oleh sekitar dua per tiga jumlah penduduk Indonesia. Dengan begitu, ancaman bencana gempa tersebut bisa mengubah paradigmanya menjadi suatu kejadian yang bermanfaat," kata pakar gempa dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Sarwidi, Sabtu.
Menurut dia, secara bertahap dirinya akan menyosialisakan konsep barrataga kepada masyarakat Indonesia.
Ia mengatakan sosialisasi tersebut di antaranya membuka beberapa museum gempa di kota-kota besar. Seperti yang saat ini sudah ada, yaitu di kawasan Kaliurang, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta
"Konsep barrataga sendiri, sebenarnya sudah disosialisasikan ke sekitar seribu orang mandor sejak sekitar tahun 2001 dan tahun 2002. Banten, Garut, Banjar, Sukoharjo. Terutama di daerah selatan. Termasuk di daerah Bantul, yang pada 2006 terkena bencana gempa besar," katanya.
Sarwidi mengatakan, hasilnya cukup memuaskan, mereka yang rumahnya menggunakan konsep ini kerusakannya tidak terlalu parah.
RUmah ini memperkuat simpul balungannya. Serta, di bawah pondasi bangunan diberikan pasir dengan ketebalan minimal 20 centimeter.
"Dengan sosialisasi ke masyarakat ini, diharapkan paradigma mereka mengenai gempa bisa berubah. Yaitu dari yang jahat menjadi bermanfaat. Sebab, gempa sangat dibutuhkan agar bumi tak meledak. Rumah rusak terdampak gempa boleh, tapi tidak membahayakan penghuni," katanya.
Kepala Seksi Observasi Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Bambang Subagyo mengatakan bencana gempa akan kembali terulang. Meski sampai sekarang belum ada satupun alat yang bisa memprediksinya.
"Masih sebatas penelitian-penelitian, belum ada satupun yang bisa memprediksi kapan gempa itu akan terjadi," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Ditargetkan barrataga ini bisa dipahami oleh sekitar dua per tiga jumlah penduduk Indonesia. Dengan begitu, ancaman bencana gempa tersebut bisa mengubah paradigmanya menjadi suatu kejadian yang bermanfaat," kata pakar gempa dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Sarwidi, Sabtu.
Menurut dia, secara bertahap dirinya akan menyosialisakan konsep barrataga kepada masyarakat Indonesia.
Ia mengatakan sosialisasi tersebut di antaranya membuka beberapa museum gempa di kota-kota besar. Seperti yang saat ini sudah ada, yaitu di kawasan Kaliurang, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta
"Konsep barrataga sendiri, sebenarnya sudah disosialisasikan ke sekitar seribu orang mandor sejak sekitar tahun 2001 dan tahun 2002. Banten, Garut, Banjar, Sukoharjo. Terutama di daerah selatan. Termasuk di daerah Bantul, yang pada 2006 terkena bencana gempa besar," katanya.
Sarwidi mengatakan, hasilnya cukup memuaskan, mereka yang rumahnya menggunakan konsep ini kerusakannya tidak terlalu parah.
RUmah ini memperkuat simpul balungannya. Serta, di bawah pondasi bangunan diberikan pasir dengan ketebalan minimal 20 centimeter.
"Dengan sosialisasi ke masyarakat ini, diharapkan paradigma mereka mengenai gempa bisa berubah. Yaitu dari yang jahat menjadi bermanfaat. Sebab, gempa sangat dibutuhkan agar bumi tak meledak. Rumah rusak terdampak gempa boleh, tapi tidak membahayakan penghuni," katanya.
Kepala Seksi Observasi Stasiun Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta Bambang Subagyo mengatakan bencana gempa akan kembali terulang. Meski sampai sekarang belum ada satupun alat yang bisa memprediksinya.
"Masih sebatas penelitian-penelitian, belum ada satupun yang bisa memprediksi kapan gempa itu akan terjadi," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016