Denpasar (Antara Bali) - Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Provinsi Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati berpandangan hotel-hotel yang sudah sejak lama berdiri di Pulau Dewata sulit untuk memenuhi ketentuan sertifikasi bagi para pekerjanya.
"Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebenarnya para pekerja pariwisata di daerah kita secara kompetensi atau kemampuan tidak masalah, yang menjadi persolan itu hanya terkait sertifikasi yang dikantongi," kata pria yang akrab dipanggil Cok Ace itu, di Denpasar, Senin.
Mantan Bupati Gianyar itu mengemukakan, saat ini rata-rata baru 30 persen dari pekerja pariwisata di tiap hotel yang sudah mengantongi sertifikasi tersebut.
"Selama ini tidak hanya kami yang concern (untuk sertifikasi-red), tetapi pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat juga memberikan perhatian yang luar biasa," ujarnya.
PHRI Bali, lanjut dia, berusaha untuk mengejar target sekitar 50 persen yang tersertifikasi sesuai dengan persyaratan MEA karena sangat berkaitan dengan izin hotel. "Kami mencoba mengejar itu. Jika sudah terpenuhi 50 persen artinya sudah tidak menjadi beban lagi," ucapnya.
Menurut Cok Ace, bagi hotel-hotel baru umumnya mereka sudah merekrut lulusan sekolah pariwisata sehingga hampir 80-90 persen sudah tersertiikasi.
"Persoalan yang banyak terjadi itu justru pada hotel-hotel lama seperti kelas melati dan bintang yang sudah berdiri puluhan tahun. Meskipun sebenarnya dari sisi kompetensi tidak masalah," katanya.
Jika ternyata hotel-hotel tidak memenuhi ketentuan sertifikasi, lanjut dia, nantinya dapat berpengaruh pada klasifikasi hotel.
Di sisi lain, Cok Ace juga berpandangan persoalan kepariwisataan yang dihadapi Bali di era globalisasi kian kompleks dan rumit.
Salah satu contohnya terkait persaingan harga yang akhir-akhir ini memposisikan PHRI sangat sulit yang disebabkan karena rasio antara permintaan dan penawaran akomodasi pariwisata yang tersedia sudah tidak berimbang. (NWD)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, sebenarnya para pekerja pariwisata di daerah kita secara kompetensi atau kemampuan tidak masalah, yang menjadi persolan itu hanya terkait sertifikasi yang dikantongi," kata pria yang akrab dipanggil Cok Ace itu, di Denpasar, Senin.
Mantan Bupati Gianyar itu mengemukakan, saat ini rata-rata baru 30 persen dari pekerja pariwisata di tiap hotel yang sudah mengantongi sertifikasi tersebut.
"Selama ini tidak hanya kami yang concern (untuk sertifikasi-red), tetapi pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat juga memberikan perhatian yang luar biasa," ujarnya.
PHRI Bali, lanjut dia, berusaha untuk mengejar target sekitar 50 persen yang tersertifikasi sesuai dengan persyaratan MEA karena sangat berkaitan dengan izin hotel. "Kami mencoba mengejar itu. Jika sudah terpenuhi 50 persen artinya sudah tidak menjadi beban lagi," ucapnya.
Menurut Cok Ace, bagi hotel-hotel baru umumnya mereka sudah merekrut lulusan sekolah pariwisata sehingga hampir 80-90 persen sudah tersertiikasi.
"Persoalan yang banyak terjadi itu justru pada hotel-hotel lama seperti kelas melati dan bintang yang sudah berdiri puluhan tahun. Meskipun sebenarnya dari sisi kompetensi tidak masalah," katanya.
Jika ternyata hotel-hotel tidak memenuhi ketentuan sertifikasi, lanjut dia, nantinya dapat berpengaruh pada klasifikasi hotel.
Di sisi lain, Cok Ace juga berpandangan persoalan kepariwisataan yang dihadapi Bali di era globalisasi kian kompleks dan rumit.
Salah satu contohnya terkait persaingan harga yang akhir-akhir ini memposisikan PHRI sangat sulit yang disebabkan karena rasio antara permintaan dan penawaran akomodasi pariwisata yang tersedia sudah tidak berimbang. (NWD)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015