Denpasar (Antara Bali) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, meyatakan kasus korupsi dana punia (sumbangan sukarela) di kampus Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Bali, lengkap dan sudah diproses tahap II dari Jaksa Penyidik kepada jaksa penuntut umum, Kamis.
"Kasus yang kembali menjerat dua tersangka Prof Dr I Made Titib (mantan Rekor) dan Dr Praptini (mantan Karo Umum) terkait kasus pungutan liar dalam bentuk dana punia terhadap calon mahasiswa baru pada IHDN Denpasar tahun 2011-2012," kata Jaksa Penuntut Umum Akmal Kodrat, di Denpasar.
Berkas kedua terpidana, kembali diserahkan karena sudah tidak ditahan lagi setelah disidangkan dalam kasus lain dan sedang menjalani hukuman. Setelah memproses tahap II kemudian mengembalikan kedua tersangka ke LP Kerobokan.
"Dalam kasus dugaan korupsi ini, Negara dirugikan Rp752,85 juta akibat dana punia tersebut," ujarnya.
Kedua tersangka yang merupakan mantan pejabat IHDN Denpasar ini dijerat Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia menerangkan, kasus ini berawal dari kebijakan Prof Titib sebagai rektor dan Praptini sebagai Kabiro yang mengurangi biaya sumbangan dana penunjang pendidikan (SDPP) bagi calon mahasiswa baru dan mengalihkan selisih pengurangan biaya SDPP tersebut menjadi biaya dana punia.
Biaya SDPP sebelumnya telah diatur dalan keputusan rektor Nomor IHN/542a/kep/2011 tanggal 28 April 2011. Rektor Prof Titib kemudian mengeluarkan keputusan rektor baru dengan nomor, tanggal dan tahun yang sama.
Namun, dalam keputusan tersebut menyebutkan tentang pengurangan nilai biaya SDPP. Kemudian, Praptini menindaklanjuti dengan menyampaikan kepada panitia penerimaan mahasiswa baru agar dalam pelaksanaannya mencantumkan dana punia sebagai bagian dari biaya penerimaan mahasiswa baru.
Dana punia itu untuk membiayai kegiatan-kegiatan ibadah dan sosial yang anggarannya tidak tersedia atau tidak tercukupi.
Untuk meyakinkan aksinnya, Praptini mengataklan telah dikonsultasikan dan mendapat izin dari Kementerian Agama. Dari dana punia inilah didapat dana Rp752,85 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam sidang itu, JPU yang menangani kasus dana punia yakni Akmal Kodrat, Gede Arthana, Wayan Suardi dan Hari Soetopo. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Kasus yang kembali menjerat dua tersangka Prof Dr I Made Titib (mantan Rekor) dan Dr Praptini (mantan Karo Umum) terkait kasus pungutan liar dalam bentuk dana punia terhadap calon mahasiswa baru pada IHDN Denpasar tahun 2011-2012," kata Jaksa Penuntut Umum Akmal Kodrat, di Denpasar.
Berkas kedua terpidana, kembali diserahkan karena sudah tidak ditahan lagi setelah disidangkan dalam kasus lain dan sedang menjalani hukuman. Setelah memproses tahap II kemudian mengembalikan kedua tersangka ke LP Kerobokan.
"Dalam kasus dugaan korupsi ini, Negara dirugikan Rp752,85 juta akibat dana punia tersebut," ujarnya.
Kedua tersangka yang merupakan mantan pejabat IHDN Denpasar ini dijerat Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Ia menerangkan, kasus ini berawal dari kebijakan Prof Titib sebagai rektor dan Praptini sebagai Kabiro yang mengurangi biaya sumbangan dana penunjang pendidikan (SDPP) bagi calon mahasiswa baru dan mengalihkan selisih pengurangan biaya SDPP tersebut menjadi biaya dana punia.
Biaya SDPP sebelumnya telah diatur dalan keputusan rektor Nomor IHN/542a/kep/2011 tanggal 28 April 2011. Rektor Prof Titib kemudian mengeluarkan keputusan rektor baru dengan nomor, tanggal dan tahun yang sama.
Namun, dalam keputusan tersebut menyebutkan tentang pengurangan nilai biaya SDPP. Kemudian, Praptini menindaklanjuti dengan menyampaikan kepada panitia penerimaan mahasiswa baru agar dalam pelaksanaannya mencantumkan dana punia sebagai bagian dari biaya penerimaan mahasiswa baru.
Dana punia itu untuk membiayai kegiatan-kegiatan ibadah dan sosial yang anggarannya tidak tersedia atau tidak tercukupi.
Untuk meyakinkan aksinnya, Praptini mengataklan telah dikonsultasikan dan mendapat izin dari Kementerian Agama. Dari dana punia inilah didapat dana Rp752,85 juta yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam sidang itu, JPU yang menangani kasus dana punia yakni Akmal Kodrat, Gede Arthana, Wayan Suardi dan Hari Soetopo. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015