Sosok seniman sastra yang penuh daya kreativitas ini memiliki suara merdu dalam mengumandangkan ayat-ayat suci agama Hindu, berupa geguritan, kekawin, kekidung dan jenis metembang lagu daerah Bali lainnya.
Sosok I Wayan Karda (72), pria kelahiran Lingkungan Terusan, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, 9 September 1943 itu mempunyai andil dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali, khususnya menulis karya sastra geguritan, babad pasek dan panca tirta.
Meskipun hanya seorang petani yang mengenyam pendidikan sekolah rakyat (setingkat sekolah dasar), suami dari Ni Wayan Kerti itu memiliki bakat yang cukup menonjol dalam bidang seni.
Selain ahli dalam seni sastra, ayah dari lima putra-putri itu juga menggeluti seni tabuh dan tari joged bumbung khas Kota Negara. Selama 33 tahun sejak 1982 ayah Ni Putu Budiani ini menekuni seni geguritan sekaligus menciptakan untaian kata-kata mecapat geguritan babad pasek.
Ia mengembangkan tembang yang mempunyai ciri khas tersendiri dan cukup memasyarakat dalam lingkungan sekitarnya. Dua tahun kemudian 1984 menerima banyak warga yang ingin belajar seni geguritan versi yang berhasil diciptakannya tersebut.
Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam bidang seni secara terus menerus tanpa mengenal putus asa, sosok Wayan Karda mendapat penghargaan pengabdi seni tahun 2015, berkaitan dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 yang berlangsung selama sebulan 13 Juni-11 Juli 2015.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menganugerahkan penghargaan bergengsi itu kepada I Wayan Karda di Gedung Ksiarnawa Taman Budaya Denpasar Rabu (8/6) malam. Wayan Karda merupakan salah seorang dari sembilan seniman utusan dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali yang memperoleh penghargaan serupa.
Kepada pengabdi seni selain mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Bali juga diberikan hadiah masing-masing sebesar Rp11 juta yang terdiri dari Rp6 juta bersumber dari APBD Bali dan Rp5 juta berupa tabungan dana sosial (CSR) Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha menjelaskan pihaknya jauh sebelumnya melakukan seleksi terhadap puluhan seniman berprestasi dari delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Tim yang melakukan seleksi beranggotakan utusan dari instansi terkait dalam bidang seni dan budaya. Masing-masing pemerintah kabupaten/kota mengusulkan sejumlah senimannya yang dinilai mempunyai prestasi dan pengabdian dalam bidang seni dan budaya yang menonjol pada masanya.
Tim tingkat provinsi menyeleksi mana-nama yang dikirim oleh masing-masing kabupaten/kota, didasarkan atas prestasi, dedikasi, dan pengalaman dalam memajukan seni budaya di Bali, khususnya di daerah masing-masing.
Pemprov Bali selama 37 tahun pelaksanaan PKB telah memberikan penghargaan kepada 409 seniman, termasuk sembilan orang yang diberikan dalam pelaksanaan PKB kali ini.
Menjadi Pelatih
Sosok I Wayan Karda prestasinya dalam bidang seni sastra sangat menonjol yang secara tidak langsung mengantarkan dirinya menjadi pelatih yang mendapat undangan dari sebagian besar sekaa (grup) kesenian di wilayah Kabupaten Jembrana, Bali barat.
Pelatihan dan pembinaan yang dilakukan secara bergantian dari satu sekaa ke sekaa lainnya hampir di seluruh kabupaten, terutama di Bali barat mampu melatih dan mendidik masyarakat untuk menekuni seni sastra, khususnya geguritan yang umumnya untuk mengiringi kegiatan ritual, baik di tempat suci tingkat rumah tangga maupun pura.
Sejumlah anak didik yang prestasinya juga mencuat dan dikenal masyarakat luas dalam olah vokal itu antara lain Ni Luh Nitri, Ni Ketut Simin, Ni Wayan Nili, I Made Madia, Cak Loling.
"Saya dengan mereka sudah pernah melakukan rekaman dalam bentuk kaset dan hasil penggandaan itu beredar secara meluas di masyarakat," tutur Wayan Karda yang tampak sehat bugar di usia senjanya itu.
Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal setingkat sekolah dasar itu, ayah dari Ni Kadek Sutriani, Komang Sugita, Ni Ketut Ariani dan Ni Ketut Sariani ini berhasil merampungkan sejumlah buku karya sastra daerah Bali.
Buku tersebut antara lain Geguritan Babad Pasek (1992), Geguritan Panca Tirta (1994), Geguritan Usak Brangbang (1995), Geguritan Suluh Rage (1996), Geguritan Cupak Gerantang (1997), Geguritan Prande Sakti Wau Rauh (1988), Babad Bujangga (1999), Segara Rupek (2001) dan Babad Dalem Watu Renggong (2003).
Sosok pria yang cukup disegani masyarakat lingkungannya itu kini sedang merampungkan buku Geguritan Dharma Stiti. Kakek dari sejumlah cucu dari anak-anaknya yang sudah membentuk rumah tangga itu juga membina sekaa santi di Sukawati Kabupaten Gianyar, Kota Denpasar dan Pupuan di Kabupaten Tabanan.
Sosok Wayan Karda juga secara aktif menekuni kesenian gong kebyar, jegog, angkulung dan seni hadrah. Ia juga pernah membina sekaa Santi di Desa Lamba Rese, Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2010.
Karya-karya seni sastra itu tercipta berkat ayah lima putra-putri itu memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap pelestarian warisan seni budaya bangsa yang merupakan puncak-puncak dari seni-seni budaya daerah.
Kesenangannya sejak kecil itu dijadikan tuntunan, yang mampu memberikan ketenangan batin, sekaligus melengkapi kegiatan ritual yang digelar masyarakat dalam lingkungan desa adat maupun di Pura. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Sosok I Wayan Karda (72), pria kelahiran Lingkungan Terusan, Kelurahan Lelateng, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, 9 September 1943 itu mempunyai andil dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali, khususnya menulis karya sastra geguritan, babad pasek dan panca tirta.
Meskipun hanya seorang petani yang mengenyam pendidikan sekolah rakyat (setingkat sekolah dasar), suami dari Ni Wayan Kerti itu memiliki bakat yang cukup menonjol dalam bidang seni.
Selain ahli dalam seni sastra, ayah dari lima putra-putri itu juga menggeluti seni tabuh dan tari joged bumbung khas Kota Negara. Selama 33 tahun sejak 1982 ayah Ni Putu Budiani ini menekuni seni geguritan sekaligus menciptakan untaian kata-kata mecapat geguritan babad pasek.
Ia mengembangkan tembang yang mempunyai ciri khas tersendiri dan cukup memasyarakat dalam lingkungan sekitarnya. Dua tahun kemudian 1984 menerima banyak warga yang ingin belajar seni geguritan versi yang berhasil diciptakannya tersebut.
Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya dalam bidang seni secara terus menerus tanpa mengenal putus asa, sosok Wayan Karda mendapat penghargaan pengabdi seni tahun 2015, berkaitan dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-37 yang berlangsung selama sebulan 13 Juni-11 Juli 2015.
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menganugerahkan penghargaan bergengsi itu kepada I Wayan Karda di Gedung Ksiarnawa Taman Budaya Denpasar Rabu (8/6) malam. Wayan Karda merupakan salah seorang dari sembilan seniman utusan dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali yang memperoleh penghargaan serupa.
Kepada pengabdi seni selain mendapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Bali juga diberikan hadiah masing-masing sebesar Rp11 juta yang terdiri dari Rp6 juta bersumber dari APBD Bali dan Rp5 juta berupa tabungan dana sosial (CSR) Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha menjelaskan pihaknya jauh sebelumnya melakukan seleksi terhadap puluhan seniman berprestasi dari delapan kabupaten dan satu kota di daerah ini.
Tim yang melakukan seleksi beranggotakan utusan dari instansi terkait dalam bidang seni dan budaya. Masing-masing pemerintah kabupaten/kota mengusulkan sejumlah senimannya yang dinilai mempunyai prestasi dan pengabdian dalam bidang seni dan budaya yang menonjol pada masanya.
Tim tingkat provinsi menyeleksi mana-nama yang dikirim oleh masing-masing kabupaten/kota, didasarkan atas prestasi, dedikasi, dan pengalaman dalam memajukan seni budaya di Bali, khususnya di daerah masing-masing.
Pemprov Bali selama 37 tahun pelaksanaan PKB telah memberikan penghargaan kepada 409 seniman, termasuk sembilan orang yang diberikan dalam pelaksanaan PKB kali ini.
Menjadi Pelatih
Sosok I Wayan Karda prestasinya dalam bidang seni sastra sangat menonjol yang secara tidak langsung mengantarkan dirinya menjadi pelatih yang mendapat undangan dari sebagian besar sekaa (grup) kesenian di wilayah Kabupaten Jembrana, Bali barat.
Pelatihan dan pembinaan yang dilakukan secara bergantian dari satu sekaa ke sekaa lainnya hampir di seluruh kabupaten, terutama di Bali barat mampu melatih dan mendidik masyarakat untuk menekuni seni sastra, khususnya geguritan yang umumnya untuk mengiringi kegiatan ritual, baik di tempat suci tingkat rumah tangga maupun pura.
Sejumlah anak didik yang prestasinya juga mencuat dan dikenal masyarakat luas dalam olah vokal itu antara lain Ni Luh Nitri, Ni Ketut Simin, Ni Wayan Nili, I Made Madia, Cak Loling.
"Saya dengan mereka sudah pernah melakukan rekaman dalam bentuk kaset dan hasil penggandaan itu beredar secara meluas di masyarakat," tutur Wayan Karda yang tampak sehat bugar di usia senjanya itu.
Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal setingkat sekolah dasar itu, ayah dari Ni Kadek Sutriani, Komang Sugita, Ni Ketut Ariani dan Ni Ketut Sariani ini berhasil merampungkan sejumlah buku karya sastra daerah Bali.
Buku tersebut antara lain Geguritan Babad Pasek (1992), Geguritan Panca Tirta (1994), Geguritan Usak Brangbang (1995), Geguritan Suluh Rage (1996), Geguritan Cupak Gerantang (1997), Geguritan Prande Sakti Wau Rauh (1988), Babad Bujangga (1999), Segara Rupek (2001) dan Babad Dalem Watu Renggong (2003).
Sosok pria yang cukup disegani masyarakat lingkungannya itu kini sedang merampungkan buku Geguritan Dharma Stiti. Kakek dari sejumlah cucu dari anak-anaknya yang sudah membentuk rumah tangga itu juga membina sekaa santi di Sukawati Kabupaten Gianyar, Kota Denpasar dan Pupuan di Kabupaten Tabanan.
Sosok Wayan Karda juga secara aktif menekuni kesenian gong kebyar, jegog, angkulung dan seni hadrah. Ia juga pernah membina sekaa Santi di Desa Lamba Rese, Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2010.
Karya-karya seni sastra itu tercipta berkat ayah lima putra-putri itu memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap pelestarian warisan seni budaya bangsa yang merupakan puncak-puncak dari seni-seni budaya daerah.
Kesenangannya sejak kecil itu dijadikan tuntunan, yang mampu memberikan ketenangan batin, sekaligus melengkapi kegiatan ritual yang digelar masyarakat dalam lingkungan desa adat maupun di Pura. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015