Denpasar (Antara Bali) - Akademisi Antropologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Dr PM Laksono mengatakan, degradasi moral saat ini cenderung terjadi di Indonesia, karena generasi muda semakin meninggalkan kebudayaan yang diwarisi oleh pendahulunya.
"Kecenderungan degradasi moral di Indonesia semakin meningkat, terbukti di daerah-daerah di Tanah Air semakin berani melakukan suatu aksi atas ketidakpuasannya dalam menerima kebudayaan melalui pendidikan yang didapat di bangku sekolah maupun di kampus," kata Laksono saat memberi kuliah umum di Jurusan Antopologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Kamis.
Ia mencontohkan pada saat perayaan Hari Pendidikan Nasional, yang semestinya dirayakan dengan upacara untuk memaknai begitu penting pendidikan, malah para pelajar itu melakukan bentuk protes melalui aksi unjuk rasa di jalanan. Seperti kejadian di Yogyakarta baru-baru ini.
"Itu artinya para generasi muda terjadi degradasi moral dan kebudayaan dalam setiap generasi. Dimana semestinya program pendidikan membawa perubahan bagaimana cara belajar lebih baik ke depannya, malah ini dimaknai dalam bentuk kegiatan aksi unjuk rasa," ucapnya.
Oleh karena itu, kata dia, pendidik (dosen) bidang Antropologi saat ini memang menghadapi era kemajuan teknologi, sehingga budaya mengajar juga terjadi pergeseran. Dulunya dosen Antropologi dalam mengajar dengan metodologi penelitian langsung ke lapangan. Tapi kemajuan teknologi tersebut justru memberi kesempatan para mahasiswa dengan membuka internet untuk mengadakan penelitian apa yang akan diteliti di lapangan tersebut.
"Sehingga nyaris para dosen akan duduk hanya di ruang kelas, dan tidak bisa memberikan metode penelitian di lapangan secara langsung. Karena itu saya harapkan para dosen juga memiliki kemampuan lebih dalam beradaptasi dengan kemajuan iptek itu, sehingga capaian pengajaran ilmu Antropologi bisa diserap oleh mahasiswa," katanya.
Sementara itu, Prof Dr Achmad Fedyani Saifuddin dari Departemen Antropologi Fisip Universitas Indonesia mengatakan, perubahan global akan berpengaruh pada ilmu antropologi, seperti meningkatnya kompleksitas masalah di masyarakat. "Saya melihat kenyataan ini telah terjadi pergeseran akibat perubahan global dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu dalam pengembangan metodologi keilmuan harus mengikuti perkembangan zaman saat ini," katanya.
Dia mengatakan, keberadaan ilmu Antropologi sepanjang masa diperlukan dalam kehidupan masyarakat, tapi pengajar atau dosen harus mampu membedah teori kebudayaan tersebut dengan kekinian. "Para mengajar atau dosen ilmu Antropologi harus lebih kreatif dan aktif sehingga era globalisasi itu memberi kemudahan dalam memberi materi pengajaran ilmu tersebut, salah satunya si dosen harus kreatif mempelajari iptek itu," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Kecenderungan degradasi moral di Indonesia semakin meningkat, terbukti di daerah-daerah di Tanah Air semakin berani melakukan suatu aksi atas ketidakpuasannya dalam menerima kebudayaan melalui pendidikan yang didapat di bangku sekolah maupun di kampus," kata Laksono saat memberi kuliah umum di Jurusan Antopologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Kamis.
Ia mencontohkan pada saat perayaan Hari Pendidikan Nasional, yang semestinya dirayakan dengan upacara untuk memaknai begitu penting pendidikan, malah para pelajar itu melakukan bentuk protes melalui aksi unjuk rasa di jalanan. Seperti kejadian di Yogyakarta baru-baru ini.
"Itu artinya para generasi muda terjadi degradasi moral dan kebudayaan dalam setiap generasi. Dimana semestinya program pendidikan membawa perubahan bagaimana cara belajar lebih baik ke depannya, malah ini dimaknai dalam bentuk kegiatan aksi unjuk rasa," ucapnya.
Oleh karena itu, kata dia, pendidik (dosen) bidang Antropologi saat ini memang menghadapi era kemajuan teknologi, sehingga budaya mengajar juga terjadi pergeseran. Dulunya dosen Antropologi dalam mengajar dengan metodologi penelitian langsung ke lapangan. Tapi kemajuan teknologi tersebut justru memberi kesempatan para mahasiswa dengan membuka internet untuk mengadakan penelitian apa yang akan diteliti di lapangan tersebut.
"Sehingga nyaris para dosen akan duduk hanya di ruang kelas, dan tidak bisa memberikan metode penelitian di lapangan secara langsung. Karena itu saya harapkan para dosen juga memiliki kemampuan lebih dalam beradaptasi dengan kemajuan iptek itu, sehingga capaian pengajaran ilmu Antropologi bisa diserap oleh mahasiswa," katanya.
Sementara itu, Prof Dr Achmad Fedyani Saifuddin dari Departemen Antropologi Fisip Universitas Indonesia mengatakan, perubahan global akan berpengaruh pada ilmu antropologi, seperti meningkatnya kompleksitas masalah di masyarakat. "Saya melihat kenyataan ini telah terjadi pergeseran akibat perubahan global dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu dalam pengembangan metodologi keilmuan harus mengikuti perkembangan zaman saat ini," katanya.
Dia mengatakan, keberadaan ilmu Antropologi sepanjang masa diperlukan dalam kehidupan masyarakat, tapi pengajar atau dosen harus mampu membedah teori kebudayaan tersebut dengan kekinian. "Para mengajar atau dosen ilmu Antropologi harus lebih kreatif dan aktif sehingga era globalisasi itu memberi kemudahan dalam memberi materi pengajaran ilmu tersebut, salah satunya si dosen harus kreatif mempelajari iptek itu," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015